Selasa, 08 Maret 2011

Kelas Unggulan yang Tidak Unggul

Kelas Unggulan yang Tidak Unggul
Kualitas manusia Indonesia rendah telah menjadi berita rutin. Setiap keluar laporan Human Development Index, posisi kualitas SDM kita selalu berada di bawah. Salah satu penyebab dan sekaligus kunci utama rendahnya kualitas manusia Indonesia adalah kualitas pendidikan yang rendah. Kualitas sosial-ekonomi dan kualitas gizi-kesehatan yang tinggi tidak akan dapat bertahan tanpa adanya manusia yang memiliki pendidikan berkualitas.
Negeri ini sedang berjuang keras untuk meningkatkan kualitas pendidikan, namun hasilnya belum memuaskan. Kini upaya meningkatkan kualitas pendidikan ditempuh dengan membuka kelas-kelas unggulan, misal Kelas Taruna Nusantara. Kelas unggulan dipandang sebagai salah satu alternatif yang efektif untuk meningkatkan kualitas pendidikan sekaligus kualitas SDM. Kelas unggulan diharapkan melahirkan manusia-manusia unggul yang amat berguna untuk membangun negeri yang kacau balau ini. Tak dapat dipungkiri setiap orang tua menginginkan anaknya menjadi manusia unggul. Hal ini dapat dilihat dari animo masyarakat untuk mendaftarkan anaknya ke kelas-kelas unggulan. Setiap tahun ajaran baru kelas-kelas unggulan dibanjiri calon siswa, karena adanya keyakinan bisa melahirkan manusia-masnusia unggul. Benarkan kelas-kelas unggulan kita mampu melahirkan manusia-manusia unggul?
Sebutan kelas unggulan itu sendiri kurang tepat. Kata “unggul” menyiratkan adanya superioritas dibanding dengan yang lain. Kata ini menunjukkan adanya “kesombongan” intelektual yang sengaja ditanamkan di lingkungan kelas. Di negara-negara maju, untuk menunjukkan kelas yang baik tidak menggunakan kata unggul (excellent) melainkan effective, develop, accelerate, dan essential (Susan Albers Mohrman, et.al., School Based Management: Organizing for High Performance, San Francisco, 1994, h. 81).
Dari sisi ukuran muatan keunggulan, kelas unggulan di Indonesia juga tidak memenuhi syarat. Kelas unggulan di Indonesia hanya mengukur sebagian kemampuan akademis. Dalam konsep yang sesungguhnya, kelas unggul adalah kelas yang secara terus menerus meningkatkan kinerjanya dan menggunakan sumberdaya yang dimilikinya secara optimal untuk menumbuh-kembangkan prestasi siswa secara menyeluruh. Berarti bukan hanya prestasi akademis saja yang ditumbuh-kembangkan, melainkan potensi psikis, fisik, etik, moral, religi, emosi, spirit, adversity dan intelegensi.
Konsep Kelas Unggulan
Kelas unggulan yang sebenarnya dibangun secara bersama-sama oleh seluruh warga kelas, bukan hanya oleh pemegang otoritas pendidikan. Dalam konsep kelas unggulan yang saat ini diterapkan, untuk menciptakan prestasi siswa yang tinggi maka harus dirancang kurikulum yang baik yang diajarkan oleh guru-guru yang berkualitas tinggi. Padahal kelas unggulan yang sebenarnya, keunggulan akan dapat dicapai apabila seluruh sumber daya kelas dimanfaatkan secara optimal. Berati tenaga administrasi, pengembang kurikulum di kelas, kepala kelas, dan penjaga kelas pun harus dilibatkan secara aktif. Karena semua sumber daya tersebut akan menciptakan iklim kelas yang mempu membentuk keunggulan kelas.
Keunggulan kelas terletak pada bagaimana cara kelas merancang-bangun kelas sebagai organisasi. Maksudnya adalah bagaimana struktur organisasi pada kelas itu disusun, bagaimana warga kelas berpartisipasi, bagaimana setiap orang memiliki peran dan tanggung jawab yang sesuai dan bagaimana terjadinya pelimpahan dan pendelegasian wewenang yang disertai tangung jawab. Semua itu bermuara kepada kunci utama kelas unggul adalah keunggulan dalam pelayanan kepada siswa dengan memberikan kesempatan untuk mengembangkan potensinya. Menurut Profesor Suyanto, program kelas (baca: kelas) unggulan di Indonesia secara pedagogis menyesatkan, bahkan ada yang telah memasuki wilayah malpraktik dan akan merugikan pendidikan kita dalam jangka panjang. Kelas-kelas unggulan diciptakan dengan cara mengelompokkan siswa menurut kemampuan akademisnya tanpa didasari filosofi yang benar. Pengelompokan siswa ke dalam kelas-kelas menurut kemampuan akademis tidak sesuai dengan hakikat kehidupan di masyarakat. Kehidupan di masyarakat tak ada yang memiliki karakteristik homogen (Kompas, 29-4-2002, h.4).
Bila boleh mengkritisi, pelaksanaan kelas unggulan di Indonesia memiliki banyak kelemahan selain yang dikemukakan Rektor Universitas Negeri Yogyakarta di atas. Pertama, kelas unggulan di sini membutuhkan legitimasi dari pemerintah bukan atas inisiatif masyarakat atau pengakuan masyarakat. Sehingga penetapan kelas unggulan cenderung bermuatan politis dari pada muatan edukatifnya. Apabila kelas unggulan didasari atas pengakuan masyarakat maka pemerintah tidak perlu mengucurkan dana lebih kepada kelas unggulan, karena masyarakat akan menanggung semua biaya atas keunggulan kelas itu.
Kedua, kelas unggulan hanya melayani golongan kaya, sementara itu golongan miskin tidak mungkin mampu mengikuti kelas unggulan walaupun secara akademis memenuhi syarat. Untuk mengikuti kelas unggulan, selain harus memiliki kemampuan akademis tinggi juga harus menyediakan uang jutaan rupiah. Artinya penyelenggaraan kelas unggulan bertentangan dengan prinsip equity yaitu terbukanya akses dan kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk menikmati pendidikan yang baik. Keadilan dalam penyelenggaraan pendidikan ini amat penting agar kelak melahirkan manusia-manusia unggul yang memiliki hati nurani yang berkeadilan.
Ketiga, profil kelas unggulan kita hanya dilihat dari karakteristik prestasi yang tinggi berupa NEM, input siswa yang memiliki NEM tinggi, ketenagaan berkualitas, sarana prasarana yang lengkap, dana kelas yang besar, kegiatan belajar mengajar dan pengelolaan kelas yang kesemuanya sudah unggul. Wajar saja bila bahan masukannya bagus, diproses di tempat yang baik dan dengan cara yang baik pula maka keluarannya otomatis bagus. Yang seharusnya disebut unggul adalah apabila masukan biasa-biasa saja atau kurang baik tetapi diproses ditempat yang baik dengan cara yang baik pula sehingga keluarannya bagus.
Oleh karena itu penyelenggaraan kelas unggulan harus segera direstrukturisasi agar benar-benar bisa melahirkan manusia unggul yang bermanfaat bagi negeri ini. Bibit-bibit manusia unggul di Indonesia cukup besar karena prefalensi anak berbakat sekitar 2 %, artinya setiap 1.000 orang terdapat 20 anak berbakat (Daniel P. Hallahan dan James M. Kauffman, Exceptional Children: Introduction To Special Education, New Jersey: Prentice-Hall international, Inc., 1991), hh. 6-7). Berdasarkan prakiraan Lembaga Demografi UI (1991) penduduk usia kelas di Indonesia tahun 2000 diperkirakan sebesar 76.478.249, maka kita akan memiliki anak berbakat (baca: unggul) sebanyak 1.529.565 orang. Jumlah ini cukup untuk memenuhi kebutuhan pimpinan dari tingkat nasional, propinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan.
Restrukturisasi Kelas Unggulan
Maka konsep kelas unggulan yang tidak unggul ini harus segera direstrukturisasi. Restrukrutisasi kelas unggulan yang ditawarkan adalah sebagai berikut: pertama, program kelas unggulan tidak perlu memisahkan antara anak yang memiliki bakat keunggulan dengan anak yang tidak memiliki bakat keunggulan. Kelas harus dibuat heterogen sehingga anak yang memiliki bakat keunggulan bisa bergaul dan bersosialisasi dengan semua orang dari tingkatan dan latar berlakang yang beraneka ragam. Pelaksanaan pembelajaran harus menyatu dengan kelas biasa, hanya saja siswa yang memiliki bakat keunggulan tertentu disalurkan dan dikembangkan bersama-sama dengan anak yang memiliki bakat keunggulan serupa. Misalnya anak yang memiliki bakat keunggulan seni tetap masuk dalam kelas reguler, namun diberi pengayaan pelajaran seni.
Kedua, dasar pemilihan keunggulan tidak hanya didasarkan pada kemampuan intelegensi dalam lingkup sempit yang berupa kemampuan logika-matematika seperti yang diwujudkan dalam test IQ. Keunggulan seseorang dapat dijaring melalui berbagai keberbakatan seperti yanag hingga kini dikenal adanya 8 macan.
Ketiga, kelas unggulan jangan hanya menjaring anak yang kaya saja tetapi menjaring semua anak yang memiliki bakat keunggulan dari semua kalangan. Berbagai kelas unggulan yang dikembangkan di Amerika justru untuk membela kalangan miskin. Misalnya Effectif School yang dikembangkan awal 1980-an oleh Ronald Edmonds di Harvard University adalah untuk membela anak dari kalangan miskin karena prestasinya tak kalah dengan anak kaya. Demikian pula dengan School Development Program yang dikembangkan oleh James Comer ditujukan untuk meningkatkan pendidikan bagi siswa yang berasal dari keluarga miskin. Accellerated School yang diciptakan oleh Henry Levin dari Standford University juga memfokuskan untuk memacu prestasi yang tinggi pada siswa kurang beruntung atau siswa beresiko. Essential school yang diciptakan oleh Theodore Sizer dari Brown University, ditujukan untuk memenuhi kebutuhan siswa kurang mampu.
Keempat, kelas unggulan harus memiliki model manajemen kelas yang unggul yaitu yang melibatkan partisipasi semua stakeholder kelas, memiliki kepemimpinan yang kuat, memiliki budaya kelas yang kuat, mengutamakan pelayanan pada siswa, menghargasi prestasi setiap siswa berdasar kondisinya masing-masing, terpenuhinya harapan siswa dan berbagai pihak terkait dengan memuaskan.
Itu semua akan tercapai apabila pengelolaan kelas telah mandiri di atas pundak kelas sendiri bukan ditentukan oleh birokrasi yang lebih tinggi. Saat ini amat tepat untuk mengembangkan kelas unggulan karena terdapat dua suprastruktur yang mendukung. Pertama, UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dimana pendidikan termasuk salah satu bidang yang didesentralisasikan. Dengan adanya kedekatan birokrasi antara kelas dengan Kabupaten/Kota diharapkan perhatian pemerintah daerah terhadap pengembangan kelas unggulan semakin serius.
Kedua, adanya UU No. 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004 yang didalamnya memuat bahwa salah satu program pendidikan pra-kelas, pendidikan dasar dan pendidikan menengah adalah terwujudnya pendidikan berbasis masyarakat/kelas. Melalui pendidikan berbasis masyarakat/kelas inilah warga kelas akan memiliki kekuasaan penuh dalam mengelola kelas. Setiap kelas akan menjadi kelas unggulan apabila diberi wewenang untuk mengelola dirinya sendiri dan diberi tanggung jawab penuh. Selama kelas-kelas hanya dijadikan alat oleh birokrasi di atasnya (baca: dinas pendidikan) maka kelas tidak akan pernah menjadi kelas unggulan. Bisa saja semua kelas menjadi kelas unggulan yang berbeda-beda berdasarkan pontensi dan kebutuhan warganya. Apabila semua kelas telah menjadi kelas unggulan maka tidak sulit bagi negeri ini untuk bangkit dari keterpurukannya. Nurkolis, Dosen Akademi Pariwisata Nusantara Jaya di Jakarta

1 komentar: