Selasa, 08 Maret 2011

Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural

Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural

A. Latar Belakang Masalah
Konflik dan perpecahan antar golongan merupakan masalah klasik yang terjadi hampir di seluruh negara. Bumi yang “terkotak-kotak” menjadi 192 negara dimana lebih dari 6 milyar manusia hidup didalamnya, ternyata penuh dengan konflik. Konflik antar manusia, antar golongan, antar etnis dan antar negara. Steven D. Strauss dalam bukunya yang berjudul World Conflicts (penguin books, 2006) menyatakan bahwa dalam setengah abad terakhir, tidak ada dari 192 negara di dunia ini yang tidak pernah terlibat konflik. Setiap negara pernah mengalami konflik baik dalam negeri maupun luar negeri, satu kali atau bahkan lebih. Pada saat ini, paling tidak telah terjadi 35 pertikaian besar antar etnis di dunia. Lebih dari 38 juta jiwa terusir dari tempat yang mereka diami, paling sedikit 7 juta orang terbunuh dalam konflik etnis berdarah. Pertikaian seperti ini terjadi dari Barat sampai Timur, dari Utara hingga Selatan. Dunia menyaksikan darah mengalir dari Yugoslavia, Cekoslakia, Zaire hingga Rwanda, dari bekas Uni Soviet sampai Sudan, dari Srilangka, India hingga Indonesia (Ismulail, 2007).
Indonesia, sebagai salah satu Negara multikultural terbesar di dunia karena terdiri atas ratusan suku bangsa, Yang Sebagian di antaranya menjadi penduduk terbesar yang mendiami wilayah sebuah provinsi atau lebih, seperti etnik Jawa, namun ada juga etnik yang hanya mendiami beberapa desa atau kecamatan saja, Mereka menganut agama dan kepercayaan yang berbeda-beda pula. Dalam undang-undang PNPS No. 1 Tahun 1965 jo Undang-Undang No. 5 Tahun 1969, agama-agama yang dianut di Indonesia ialah: Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha, dan Konghucu (Pasal 1, Penjelasan), maka keberagaman tersebut juga telah menimbulkan banyak terjadinya konflik antara golongan masyarakat Indonesia. Sebagai contoh, diskriminasi dan kekerasan terhadap minoritas Cina pada masa orde baru dan tahun 1998 telah memicu konflik di kalangan masyarakat Pekalongan dan Jakarta, penggunaan bangunan sebagai gereja di Depok diprotes keras warga Muslim, sebuah gereja di Palu dibom menjelang Natal, kekhawatiran akan praktek adopsi anak korban tsunami di Aceh bermotif kristenisasi, dan workshop Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah dibubarkan paksa oleh kelompok yang mengatasnamakan KOKAM Muhammadiyah Kartasura (Maula, 2005).

Daftar contoh kekerasan dalam interaksi sosial bernuansa intoleransi dan permusuhan terhadap kemajemukan dan perbedaan ini –mulai dari skala inter-faith dan internasional sampai pada skala intra-faith dan lokal— masih bisa dibuat amat panjang. Banyaknya fenomena-fenomena seperti itu kian menegaskan bahwa kita hidup dalam dunia yang sangat majemuk, tetapi sebagian dari kita memiliki toleransi dan respek yang rendah terhadap kemajemukan tersebut. Pemahaman dan pengetahuan masyarakat akan pluralisme nampaknya masih perlu mendapat perhatian khusus. Akibatnya, ketegangan dan bahkan konflik sosial penuh kekerasan yang kerap destruktif pun terjadi.
Terjadinya konflik yang benuansa SARA pada beberapa daerah di Indonesia, dari banyak studi, salah satu penyebabnya adalah, akibat dari lemahnya pemahaman dan pemaknaan tentang konsep kearipan budaya. Konflik akan muncul apabila tidak ada distribusi nilai yang adil kepada masyarakat (Bloomfield dan Reilly, 1942). Terjadinya konflik etnis tersebut juga sesungguhnya merupakan salah satu dampak dari minimnya pemahaman komunitas imajiner kelompok masing-masing etnis terhadap kultur subjektif masyarakat adat yang berbeda-beda. Sehingga, etnis yang hidup dalam wilayah teritorial yang sama tersebut menjadi terisolasi.
Merujuk kepada inilah harus benar-benar diupayakan adanya pendidikan yang berbasis multikulturalisme yang diharapkan dapat menyadarkan masyarakat, anak-anak terutama di daerah konflik ini bahwa mereka hidup di antara berbagai macam budaya yang berbeda dalam satu wadah Negara Republik Indonesia. Bisa dikatakan modus kebersamaan inilah yang tidak akan mereka dapatkan dari orang tua mereka karena orang tua mereka juga tidak pernah mendapatkannya.
Menurut Ainul Yaqin (2007) faktor penting keterpurukan jalinan yang harmonis dalam bingkai keberagaman adalah tidak diterapkan pendidikan berbasis multikulturalisme sejak awal. Bangsa ini sudah lama mengalami pelbagai kecamuk sosial akibat keberagamannya, tapi pemerintah tetap kurang serius menggalakkan pendidikan berbasis multikulturalisme.
Padahal bisa dikatakan pendidikan multikultural adalah salah satu agenda penting yang harus diperhatikan lebih serius. Ketika pemahaman masyarakat akan kultur yang berbeda-beda sangat minim, maka sudah sepantasnya pendidikan multikultur yang mampu mengenalkan setiap kultur yang ada dalam masyarakat diterapkan sehingga dapat mencegah timbulnya konflik dan perpecahan khususnya yang disebabkan oleh SARA. Pendeknya pendidikan multikultural adalah satu alternatif melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemamfaatan keragaman yang ada di masyarakat secara kreatif dan produktif, seperti keragaman etnis, budaya bahasa, agama, status sosial, dan gender.
Tulisan ini menguraikan bagaimana urgensi pendidikan berbasis multikulturalisme (Multiculture Education) dan bagaimana konsep pendidikan tersebut dapat diaplikasikan dalam program pendidikan di Indonesia sebagai upaya untuk mencegah terjadinya berbagai konflik baik etnis, agama, ras, maupun konflik lainnya.

B. Permasalahan :
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang akan dijawab dalam makalah ini, yaitu:
1.Bagaimana hubungan multikulturalisme dengan pendidikan ?
2.Bagaimanakah Urgensi dan Implikasinya Pendidikan Multikultural (Multiculture Education)?
3.Bagaimanakah konsepsi pendidikan multikultural (Multiculture Education) dapat diaplikasikan dalam dunia pendidikan di Indonesia?

C.Tujuan dan Manfaat Penulisan
1.Tujuan Penulisan
- Menjelaskan arti multikulturalisme dan hubungan multikulturalisme dengan pendidikan sehingga dapat diperoleh pengetahuan yang utuh.
- Menguraikan urgensi Pendidikan Multikultural (Multiculture Education) dalam dunia pendidikan.
- Menjelaskan bagaimana Pendidikan Multikultural (Multiculture Education) dapat diaplikasikan dalam dunia pendidikan di Indonesia sehingga dapat menekan intensitas konflik yang terjadi di Indonesia.
2. Manfaat Penulisan
 Manfaat Teoritis
Memberikan kontribusi positif berupa wacana tentang pendidikan multikultur yang ideal dan efektif bagi masyarakat luas terutama para praktisi pendidikan dan pengambil kebijakan khususnya bidang pendidikan dalam membangun pemahaman anak tentang keberagaman budaya yang ada di indonesia.
 Manfaat Praktis
Menjadi satu dasar atau acuan atas realisasi pendidikan multikultur di Indonesia sehingga dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat akan keragaman budaya yang ada di Indonesia. Selain itu pada akhirnya juga makalah ini diharapkan mampu memberi kontribusi positif terhadap pelestarian budaya di Indonesia.

D. Pembahasan
Untuk menjawab permasalahan diatas maka, perlu diperinci sebagai berikut :
1. Arti multikulturalisme dan hubungannya dengan pendidikan
Makna Multikulturalisme
Secara etimologi multikulturalisme berasal dari kata “multi” yang berarti plural, dan “Kultural” berarti kultur atau budaya, sedangkan “isme” berarti paham atau aliran. Jadi multikulturalisme secara sederhana adalah paham atau aliran tentang budaya yang plural. Dalam pengertian yang lebih mendalam istilah multikulturalisme bukan hanya sekedar pengakuan terhadap budaya (kultur) yang beragam, melainkan pengakuan yang memiliki implikasi-implikasi politis, sosial, ekonomi dan lainnya. Dalam perkembangannya gagasan multikulturalisme menjadi sebuah gagasan yang dipandang perlu untuk dipromosikan sehingga menjadi bagian dalam tradisi masyarakat global. Tak heran jika berikutnya gagasan ini menggelinding pada arah munculnya gagasan baru yaitu “pendidikan multikulturalisme” dengan berbagai variannya. Rob Reich memberikan rumusan tentang multikulturalisme ke dalam “multikulturalisme deskriptif” dan “multikulturalisme normatif”. Multikulturalisme deskriftif yaitu kenyataan sosial yang dikenal dalam prspektif politik sebagai kenyataan pluralistik. Multikulturalisme deskriptif tidak mengakui adanya satu konsep mengenai yang disebut sesuatu yang baik. Sesuatu yang baik tergantung kepada nilai pluralistik
dalam masyarakat. Dengan demikian kebenaran yang disebut tunggal tidak dikenal dalam konsep multikulturalisme. Yang baik adalah yang dianggap benar oleh suatu masyarakat.
Sedangkan multikulturalisme normatif berkaitan dengan dasar-dasar moral antara keterkaitan seseorang dalam suatu negara bangsa. Artinya terdapat suatu ikatan moral dari anggota-anggotanya dalam batas-batas negara bangsa untuk melakukan sesuatu sebagaimana yang telah menjadi kesepakatan bersama. Dalam kaitan ini multikultural normatif merupakan suatu kritik sosial dalam membangun keinginan bersama dari suatu kelompok, membangun suatu wadah di dalam pluralitas budaya yang ada dalam komunitas tersebut.
Hubungan multikulturalisme dengan pendidikan
Pendidikan dan masyarakat multikultural itu memiliki hubungan yang bersifat timbalbalik (reciprocal relationship); artinya, kalau pada satu sisi pendidikan memiliki peran yang signifikan untuk membangun masyarakat multikultural maka di sisi yang lain masyarakat multikultural dengan segala karakternya itu memiliki potensi yang signifikan untuk memberhasilkan fungsi dan peranan pendidikan pada umumnya. Hal itu berarti bahwa penguatan di satu sisi secara langsung maupun tidak langsung akan memberikan penguatan pada sisi yang lain. Penguatan terhadap pendidikan, misalnya dengan memperbaiki sistem, mengefektif-kan kegiatan belajar, dsb, akan menambah keberhasilan dalam membangun masyarakat multikultural. Di sisi lain penguatan pada masyarakat multikultural, yaitu dengan mengelola potensi yang dimilikinya secara benar akan menambah keberhasilan fungsi dan peranan pendidikan pada umumnya. Implikasinya, dilakukannya penguatan pada kedua sisi secara simultan akan memberikan hasil yang optimal, baik dari sisi peranan pendidikan maupun sisi pembangunan masyarakat multicultural itu sendiri.
Peranan Pendidikan
Di dalam konteks membangun masyarakat multikultural, di samping berperan meningkatkan mutu bangsa agar dapat duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan bangsa-bangsa yang lainnya, pendidikan juga berperan memberikan perekat antara perbedaan-perbedaan di antara komunitas kultural atau kelompok masyarakat yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda-beda agar supaya lebih meningkat komitmennya dalam berbangsa dan bernegara.
Jenis perekat yang dipakai ialah pembangunan karakter dan semangat kebangsaan atau nation and character building (NCB). Di dalam hal ini karakter kebangsaan merupakan pengembangan jati diri bangsa Indonesia 3 yang (pernah) dikenal sebagai bangsa yang ramah, sopan, toleran, dsb, itu. Sedangkan semangat kebangsaan adalah keinginan yang sangat mendasar dari setiap komponen masyarakat untuk berbangsa.

Karakter dan semangat kebangsaan seperti itu akan berkembang baik secara natural maupun kultural menuju tercapainya persatuan dan kesatuan bangsa itu sendiri. Dalam konteks NCB, bangsa itu adalah satu dan tidak terpisah-pisahkan. Persatuan dan kesatuan merupakan konsekuensi logis dari pengembangan jati diri dan keinginan mendasar untuk berbangsa.
Dalam konteks NCB, setiap komponen bangsa memiliki kedudukan, hak dan kewajiban yang sama. Etnis Melayu memiliki kedudukan yang sama dengan etnis Cina dan etnis-etnis lainnya; suku Aceh memiliki hak yang sama dengan suku Sunda dan suku-suku lainnya; demikian pula pemeluk agama Islam mempunyai kewajiban yang sama dengan pemeluk agama Katolik dan agama-agama yang lain dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Semua komponen bangsa mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama untuk mengembangkan bangsa itu sendiri.
Khusus dalam hal nation building, nampaknya hal ini perlu dibenahi kembali dalam tata kehidupan bangsa Indonesia. Anak-anak remaja dan pemuda sekarang banyak yang asing dengan sejarah nasional; begitu pula dengan siswa SD, SLTP, SMU dan SMK, bahkan juga mahasiswa di PT. Pada hal sejarah nasional itu sarat dengan muatan kebangsaan, baik nilai maupun pesan untuk senantiasa disiplin dalam berbangsa. Itulah sebabnya semangat kebangsaan perlu dikembangkan secara terus menerus.
2. Urgensi dan Implikasinya Pendidikan Multikulturalisme
Dengan pendidikan multikultural, karakter siswa akan dilatih dan dibangun untuk mampu bersikap demokratis, humanis dan menerima keragaman. Atau dalam bahasa lain, “sambil menyelam minum air”. Artinya, selain mudah memahami, menguasai dan mempunyai kompetensi yang baik terhadap mata pelajaran, siswa juga diharapkan mampu untuk selalu bersikap dan menerapkan nilai-nilai demokrasi, humanisme dan keragaman di dalam maupun luar sekolah.
Di Eropa, Amerika dan negara-negara maju lainnya, strategi pendidikan multikultural telah berkembang sejak lama. Strategi ini merupakan pengembangan dari studi interkulturalisme. Dalam perkembangannya, studi ini menjadi sebuah studi khusus tentang pendidikan multikulturalisme, yang awalnya bertujuan agar populasi mayoritas dapat bersikap toleran terhadap para imigran baru. Studi ini juga memiliki tujuan politis, sebagai alat kontrol sosial penguasa terhadap warganya, agar kondisi negara aman dan stabil (Montalto, 1978; Gollnick dan Chinn, 1998). Penerapan strategi pendidikan multikultural menjadi kian penting, khususnya dalam upaya memberantas diskriminasi dan meminimalisasi konflik. Sebab secara inheren, dalam diri setiap individu terdapat “hasrat” atau “keinginan” (ambisi), yang dengannya manusia cenderung berdaya upaya mewujudkannya. Dalam perspektif sosial, kepentingan ini menjadi communal consciousness atau kesadaran komunal untuk meraih keinginan bersama dalam sebuah lokus. Masalahnya, banyak cara negatif yang dilakukan demi menggapai kepentingan itu. Strategi dan intrik yang tidak beradab (uncivilized) pun digunakan. Hasilnya, tujuan-tujuan universal dari organisasi sebagai wider zone target, seperti pengembangan masyarakat (society empowerment) yang demokratis dan terwujudnya keadilan menuju kemaslahatan bersama (mashlahat al-‘âmmah) pun terkikis. Akibatnya, muncullah group empowerment, yang hanya menguntungkan kelompoknya sendiri. Dalam upaya meminimalisasi konflik, peran pendidikan multikultural menjadi urgen. Tapi masih diperlukan dukungan penanaman kesadaran kepada masyarakat terhadap keragaman (plurality), kesetaraan (equality), kemanusiaan (humanity), keadilan (justice), dan nilai-nilai demokrasi (democration values) dalam beragam aktivitas sosial. Secara garis besar, wacana multikulturalisme berupaya untuk memahami perbedaan yang ada pada sesama manusia. Serta bagaimana agar perbedaan itu diterima sebagai hal yang alamiah (natural/Sunnatullâh), dan tidak menimbulkan tindakan diskriminatif. Sebab diskriminasi adalah cermin dari buah pola perilaku dan sikap hidup masyarakat yang suka iri hati, dengki, dan buruk sangka (su’udz-dzan).
Penerapan pendidikan multikultural sangat penting untuk meminimalisasi dan mencegah terjadinya konflik di beberapa daerah. Melalui pendidikan berbasis multikultural, sikap dan mindset (pemikiran) siswa akan lebih terbuka untuk memahami dan menghargai keberagaman."Dengan pengembangan model pendidikan berbasis multikultural diharapkan mampu menjadi salah satu metode efektif meredam konflik. Selain itu, pendidikan multikultural bisa menanamkan sekaligus mengubah pemikiran peserta didik untuk benar-benar tulus menghargai keberagaman etnis, agama, ras, dan antargolongan," kata pengamat pendidikan prof Dr HAR Tilaar, kepada Pembaruan, di sela-sela seminar pendidikan multikultural, yang digelar di Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta, Kamis (16/11). Guru Madrasah Ibtidaiyah Universitas Islam Negeri (UIN) Yon Sugiono, dan Kepala Proyek Pengembangan Model Pendidikan Multikultural Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat (PKPM) Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta Murniati Agustina Tilaar tampil sebagai pembicara dalam seminar tersebut selain HAR Tilaar, menjelaskan, banyak kesalahan program pendidikan yang diterapkan dalam sekolah.

Dijelaskan, sekolah yang baik adalah sekolah yang belajar. Sekolah bukan saja tempat bagi siswa untuk belajar melainkan sekolah justru ikut berkembang, karena sekolah juga belajar. Sekolah adalah bagian dari masyarakat. Karena itu, sekolah perlu mengembangkan diri dan belajar tiada berkesudahan.
Hapus Diskriminasi
Sikap menghargai keberagaman, juga harus ditanamkan di sekolah. Sebenarnya, sekolah adalah tempat menghapuskan berbagai jenis prasangka yang bertujuan membuat siswa terkotak-kotak. Sekolah harus bebas diskriminasi," katanya.Yon Sugiono menjelaskan, untuk menghindari konflik seperti kasus yang pernah terjadi di beberapa daerah di Indonesia, sudah saatnya dicarikan solusi preventif yang tepat dan efektif. Salah satunya adalah melalui pendidikan multikultural. Model pendidikan ini, jelasnya, pengenalan dan sosialisasi program pengembangan model pendidikan multikultural dapat dilakukan dengan menggunakan film semi dokumenter. "Mengapa? Karena pembelajaran ini menawarkan metodologi dan pendekatan yang berbeda dari model-model pembelajaran konvensional yang selama ini dicekoki ke siswa," katanya.
Sugiono menerangkan, metodologi dan strategi pembelajaran multikultural dengan menggunakan sarana audio visual telah cukup menarik minat belajar anak serta sangat menyenangkan bagi siswa dan guru. Karena, siswa secara sekaligus dapat mendengar, melihat, dan melakukan praktik selama proses pembelajaran berlangsung.
Sugiono menambahkan, program pendidikan multikultural dalam penerapannya saat ini bukanlah mata pelajaran yang berdiri sendiri, namun terintegrasi ke dalam mata-mata pelajaran, sehingga dalam implementasinya perlu dilakukan oleh guru-guru yang kreatif dan inovatif. "Guru-guru dituntut kreatif dan inovatif sehingga mampu mengolah dan menciptakan desain pembelajaran yang sesuai. Termasuk memberikan dan
membangkitkan motivasi belajar," katanya.
Sementara itu, Kepala Proyek Pengembangan Model Pendidikan Multikultural untuk Anak Usia Sekolah PKPM Unika Atma Jaya Jakarta Muniarti Agustina menjelaskan, melalui model pembelajaran berbasis multikultural, siswa diperkenalkan dan diajak megembangkan nilai-nilai dan sikap toleransi, solidaritas, empati, musyawarah, dan egaliter.
3. Konsepsi Pendidikan Multikultural dalam Dunia Pendidikan di Indonesia
Pendidikan multikultural sebagai sebuah konsep muncul karena ada interes politik, sosial, ekonomi, dan intelektual yang mendorong. Wacana pendidikan multikultural pada awalnya muncul di Amerika karena punya akar sejarah dengan gerakan hak asasi manusia (HAM) dari berbagai kelompok yang tertindas di negeri tersebut. Banyak pendidikan multikultural yang merujuk pada gerakan sosial orang Amerika keturunan Afrika dan kelompok kulit berwarna lain yang mengalami praktik diskriminasi di lembaga-lembaga publik pada masa perjuangan hak asasi pada tahun 1960-an. Di antara lembaga yang secara khusus disorot karena bermusuhan dengan ide persamaan ras pada saat itu adalah lembaga pendidikan. Pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, suara-suara yang menuntut lembaga-lembaga pendidikan agar konsisten dalam menerima dan menghargai perbedaan semakin gencar dikumandangkan oleh para aktivis, para tokoh, dan orang tua. Mereka menuntut adanya persamaan kesempatan di bidang pekerjaan dan pendidikan. Momentum inilah yang dianggap sebagai awal mula dari konseptualisasi pendidikan multikultural.
Tahun 1980-an dianggap sebagai kemunculan lembaga sekolah yang berlandaskan pendidikan multikultural yang didirikan oleh para peneliti dan aktivis pendidikan progresif. James Bank adalah salah seorang pioner dari pendidikan multikultural. Dia yang membumikan konsep pendidikan multikultural menjadi ide persamaan pendidikan. Pada pertengahan dan akhir 1980-an, muncul kelompok sarjana di antaranya Carl Grant, Christine Sleeter, Geneva Gay dan Sonia Nieto yang memberikan wawasan lebih luas soal pendidikan multikultural, memperdalam kerangka kerja yang membumikan ide persamaan pendidikan dan menghubungkannya dengan transformasi dan perubahan sosial.
Didorong oleh tuntutan warga Amerika keturunan Afrika, Latin/Hispanic, warga pribumi dan kelompok marjinal lain terhadap persamaan kesempatan pendidikan serta didorong oleh usaha komunitas pendidikan profesional untuk memberikan solusi terhadap masalah pertentangan ras dan rendahnya prestasi kaum minoritas di sekolah menjadikan pendidikan multikultural sebagai slogan yang sangat populer pada tahun 1990-an. Selama dua dekade konsep pendidikan multikultural menjadi slogan yang sangat populer di sekolah-sekolah AS. Secara umum, konsep ini diterima sebagai strategi penting dalam mengembangkan toleransi dan sensitivitas terhadap sejarah dan budaya dari kelompok etnis yang beraneka macam di negara ini.
Ide pendidikan multikulturalisme akhirnya menjadi komitmen global sebagaimana direkomendasi UNESCO pada bulan Oktober 1994 di Jenewa. Rekomendasi itu di antaranya memuat empat pesan. Pertama, pendidikan hendaknya mengembangkan kemampuan untuk mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada dalam kebhinnekaan pribadi, jenis kelamin, masyarakat dan budaya serta mengembangkan kemampuan untuk berkomunikasi, berbagi dan bekerja sama dengan yang lain. Kedua, pendidikan hendaknya meneguhkan jati diri dan mendorong konvergensi gagasan dan penyelesaian-penyelesaian yang memperkokoh perdamaian, persaudaraan dan solidaritas antara pribadi dan masyarakat. Ketiga, pendidikan hendaknya meningkatkan kemampuan menyelesaikan konflik secara damai tanpa kekerasan. Karena itu, pendidikan hendaknya juga meningkatkan pengembangan kedamaian dalam pikiran peserta didik sehingga dengan demikian mereka mampu membangun secara lebih kokoh kualitas toleransi, kesabaran, kemauan untuk berbagi dan memelihara.
Konsep pendidikan multikultural dalam perjalanannya menyebar ke kawasan di luar Amerika Serikat, khususnya di negara-negara yang memiliki keragaman etnis, ras, agama, dan budaya. Sekarang, pendidikan multikultural secara umum mencakup ide pluralisme budaya. Tema umum yang dibahas meliputi pemahaman budaya, penghargaan budaya dari kelompok yang beragam dan persiapan untuk hidup dalam masyarakat pluralistik.
Paradigma pendidikan multikulturalisme sangat bermanfaat untuk membangun kohesifitas, soliditas, dan intimitas di antara keragaman etnik, ras, agama, budaya, dan kebutuhan. Lewat penanaman semangat multikulturalisme di sekolah-sekolah, akan menjadi medium pelatihan dan penyadaran bagi generasi muda untuk menerima perbedaan budaya, agama, ras, etnis dan kebutuhan di antara sesama dan mau hidup bersama secara damai. Agar proses ini berjalan sesuai dengan harapan, seyogianya kita mau menerima jika pendidikan multikultural disosialisasikan dan didiseminasikan melalui lembaga pendidikan serta ditetapkan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan di berbagai jenjang, baik di lembaga pendidikan pemerintah maupun swasta. Paradigma pendidikan multikultural secara implisit juga menjadi salah satu concern dari Pasal 4 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal itu dijelaskan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif, dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
Pendidikan multikultural sebagai wacana baru di Indonesia dapat diimplementasikan tidak hanya melalui pendidikan formal, tetapi juga dapat dimplementasikan melalui pendidikan nonformal. Dalam pendidikan formal, pendidikan multikultural tidak harus dirancang khusus sebagai muatan substansi tersendiri, tetapi dapat diintegrasikan dalam kurikulum yang sudah ada melalui bahan ajar atau model pembelajaran. Di perguruan tinggi misalnya, dari segi substansi, pendidikan multikultural dapat diintegrasikan misalnya melalui mata kuliah umum, seperti kewarganegaraan, agama, dan bahasa. Pada tingkat SD, SLTP, atau sekolah menengah, pendidikan multikultural dapat diintegrasikan dalam bahan ajar seperti agama, sosiologi, dan antropologi, dan dapat melalui model pembelajaran, seperti diskusi kelompok atau kegiatan ekstrakurikuler. Dalam pendidikan nonformal, pendidikan multikultural dapat disosialisasikan melalui pelatihan-pelatihan dengan model pembelajaran yang responsif multikultural dengan mengedepankan penghormatan terhadap perbedaan, baik ras, suku, maupun agama antaranggota masyarakat.Model pendidikan di Indonesia maupun di negara-negara lain menunjukkan keragaman tujuan yang menerapkan strategi dan sarana yang dipakai untuk mencapainya. Sejumlah kritikus melihat bahwa revisi kurikulum sekolah yang dilakukan dalam program pendidikan multikultural di Inggris dan beberapa tempat di Australia dan Kanada, terbatas pada keragaman budaya yang ada, jadi terbatas pada dimensi kognitif. Penambahan informasi tentang keragaman budaya merupakan model pendidikan multikultural yang mencakup revisi atau materi pembelajaran, termasuk revisi buku-buku teks. Terlepas dari kritik atas penerapnnya di beberapa tempat, revisi pembelajaran seperti di Amerika Serikat merupakan strategi yang dianggap paling penting dalam reformasi pendidikan dan kurikulum. Penulisan kembali sejarah Amerika dari perspektif yang lebih beragam meruapakan suatu agenda pendidikan yang diperjuangkan intelektual, aktivis dan praktisi pendidikan. Di Jepang aktivis kemanusiaan melakukan advokasi serius untuk merevisi buku sejarah, terutama yang menyangkut peran Jerpang pada perang dunia II di Asia. Walaupun belum diterima, usaha ini sudah mulai membuka mata sebagian masyarakat akan pentingnya perspektif baru tentang perang, agar tragedi kemanusiaan tidak terulang kembali. Sedangkan di Indonesia masih diperlukan usaha yang panjang dalam merevisi buku-buku teks agar mengakomodasi kontribusi dan partisipasi yang lebih inklusif bagi warga dari berbagai latarbelakang dalam pembentukan Indonesia. Indonesia juga memerlukan pula materi pembelajaran yang bisa mengatasi "dendam sejarah" di berbagai wilayah. Model lainnya adalah pendidikan multikultural tidak sekedar merevisi materi pembelajaran tetapi melakukan reformasi dalam sistem pembelajaran itu sendiri. Affirmative action dalam seleksi siswa sampai rekrutmen pengajar di Amerika adalah salah satu strategi untuk membuat perbaikan ketimpangan struktural terhadap kelompok minoritas. Contoh yang lain adalah model "sekolah pembauran" Iskandar Muda di Medan yang memfasilitasi interaksi siswa dari berbagai latar belakang budaya dan menyusun program anak asuh lintas kelompok. Di Amerika Serikat bersamaan dengan amsuknya wacana multikulturalisme, dilakukan berbagai lokakarya di sekolah-sekolah maupun di masyarakt luas untuk meningkatkan kepekaan sosial, toleransi dan mengurangi prasangka antar kelompok.
Untuk mewujudkan model-model tersebut, pendidikan multikultural di Indonesia perlu memakai kombinasi model yang ada, agar seperti yang diajukan Gorski, pendidikan multikultural dapat mencakup tiga hal jenis transformasi, yakni: (1) transformasi diri; (2) transformasi sekolah dan proses belajar mengajar, dan (3) transformasi masyarakat. Menyusun pendidikan multikultural dalam tatanan masyarakat yang penuh permasalahan anatar kelompok mengandung tantangan yang tidak ringan. Pendidikan multikultural tidak berarti sebatas "merayakan keragaman" belaka. Apalagi jika tatanan masyarakat yang ada masih penuh diskriminasi dan bersifat rasis. Dapat pula dipertanyakan apakah mungkin meminta siswa yang dalam kehidupan sehari-hari mengalami diskriminasi atau penindasan karena warna kulitnya atau perbedaannya dari budaya yang dominan tersebut? Dalam kondisi demikian pendidikan multikultural lebih tepat diarahkan sebagai advokasi untuk menciptakan masyarakat yang toleran dan bebas toleransi. Ada beberapa pendekatan dalam proses pendidikan multikultural, yaitu: Pertama, tidak lagi terbatas pada menyamakan pandangan pendidikan (education) dengan persekolahan (schooling) atan pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal. Pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan sebagai transmisi kebudayaan membebaskan pendidik dari asumsi bahwa tanggung jawab primer mengembangkan kompetensi kebudayaan di kalangan anak didik semata-mata berada di tangan mereka dan justru semakin banyak pihak yang bertanggung jawab karena program-program sekolah seharusnya terkait dengan pembelajaran informal di luar sekolah. Kedua, menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan kebudayaan dengan kelompok etnik adalah sama. Artinya, tidak perlu lagi mengasosiasikan kebudayaan semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini. secra tradisional, para pendidik mengasosiasikan kebudayaan hanya dengan kelompok-kelompok sosial yang relatif self sufficient, ketimbang dengan sejumlah orang yang secara terus menerus dan berulang-ulang terlibat satu sama lain dalam satu atau lebih kegiatan. Dalam konteks pendidikan multikultural, pendekatan ini diharapkan dapat mengilhami para penyusun program-program pendidikan multikultural untuk melenyapkan kecenderungan memandang anak didik secara stereotip menurut identitas etnik mereka dan akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan anak didik dari berbagai kelompok etnik. Ketiga, karena pengembangan kompetensi dalam suatu "kebudayaan baru" biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, bahkan dapat dilihat lebih jelas bahwa uapaya-upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik adalah antitesis terhadap tujuan pendidikan multikultural. Mempertahankan dan memperluas solidarits kelompok adalah menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru. Pendidikan bagi pluralisme budaya dan pendidikan multikultural tidak dapat disamakan secara logis. Keempat, pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadopsi ditentukan oleh situasi. Kelima, kemungkinan bahwa pendidikan bahwa pendidikan (baik dalam maupun luar sekolah) meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini kemudian akan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya atau dikhotomi antara pribumi dan non-pribumi. Dikotomi semacam ini bersifat membatasi individu untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai pengalaman normal manusia. Kesadaran ini mengandung makna bahwa pendidikan multikultural berpotensi untuk menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada diri anak didik. Dalam konteks keindonesiaan dan kebhinekaan, kelima pendekatan tersebut haruslah diselaraskan dengan kondisi masyarakat Indonesia. Masyarakat adalah kumpulan manusia atau individu-individu yang terjewantahkan dalam kelompok sosial dengan suatu tantangan budaya atau tradisi tertentu. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Zakiah Darajat yang menyatak bahwa masyarakat secara sederhana diartikan sebagai kumpulan individu dan kelompok yang diikat oleh kesatuan negara, kubudayaan dan agama. Jadi dapat dipahami inti masyarakat adalah kumpulan besar individu yang hidup dan bekerja sama dalam masa relatif lama, sehingga individu-individu dapat memenuhi kebutuhan mereka dan menyerap watak sosial. Kondisi itu selanjutnya membuat sebagian mereka menjadi komunitas terorganisir yang berpikir tentang dirinya dan membedakan ekstensinya dari ekstensi komunitas. Dari sisi lain, apabila kehidupan di dalam masyarakat berarti interaksi antara individu dan lingkungan sosialnya. Maka yang menjadikan pembentukan individu tersebut adalah pendidikan atau dengan istilah lain masyarakat pendidik. Oleh karena itu, dalam melakukan kajian dasar kependidikan terhadap masyarakat. Secara garis besar dasar-dasar yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1).Masyarakat tidak ada dengan sendirinya. Masyarakat adalah ekstensi yang hidup, dinamis, dan selalu berkembang.
2). Masyarakat bergantung pada upaya setiap individu untuk memenuhi kebutuhan melalui hubungan dengan individu lain yang berupaya memenuhi kebutuhan.
3).Individu-individu, di dalam berinteraksi dan berupaya bersama guna memenuhi kebutuhan, melakukan penataan terhadap upaya tersebut dengan jalan apa yang disebut tantangan sosial.
4).Setiap masyarakat bertanggung jawab atas pembentukan pola tingkah laku antara individu dan komunitas yang membentuk masyarakat.
5).Pertumbuhan individu di dalam komunitas, keterikatan dengannya, dan perkembangannya di dalam bingkai yang memnuntunya untuk bertanggung jawab terhadap tingkah lakunya. Bila penjelasan di atas ditarik di dalam dunia pendidikan, maka masyarakat sangat besar peranan dan pengaruhnya terhadap perkembangan intelektual dan kepribadian individu peserta didik. Sebab keberadaan masyarakat merupakan laboratorium dan sumber makro yang penuh alternatif untuk memperkaya pelaksanaan proses pendidikan. Untuk itu, setiap anggota masyarakat memiliki peranan dan tanggung jawab moral terhadap terlaksananya proses pendidikan. Hal ini disebabkan adanya hubungan timbal balik antara masyarakat dan pendidikan. Dalam upaya memberdayakan masyarakat dalam dunia pendidikan merupakan satu hal penting untuk kemajuan pendidikan

Strategi dan Manejemen Pendidikan Multikultural
Dari aspek metodik, strategi dan manajemen pembelajaran merupakan aspek penting dalam pendidikan multikultural. Harry K. Wong, penulis buku How to be an Active Teacher the First Days of School, sebagaimana dikutip Linda Starr (2004: 2) mendefinisikan manajemen pembelajaran sebagai “praktik dan prosedur yang memungkinkan guru mengajar dan siswa belajar.” Terkait dengan praktik dan prosedur ini, Ricardo L. Garcia (1982: 146) menyebutkan 3 (tiga) faktor dalam manajemen pembelajaran, yaitu: (a) lingkungan fisik (physical environment), (b) lingkungan sosial (human environment), dan (c) gaya pengajaran guru (teaching style). Dalam pembelajaran siswa memerlukan lingkungan fisik dan sosial yang aman dan nyaman. Untuk menciptakan lingkungan fisik yang aman dan nyaman, guru dapat mempertimbangkan aspek pencahayaan, warna, pengaturan meja dan kursi, tanaman, dan musik. Guru yang memiliki pemahaman terhadap latar belakang budaya siswanya, akan menciptakan lingkungan fisik yang kondusif untuk belajar. Sementara itu, lingkungan sosial yang aman dan nyaman dapat diciptakan oleh guru melalui bahasa yang dipilih, hubungan simpatik antar siswa, dan perlakuan adil terhadap siswa yang beragam budayanya (Linda Starr, 2004: 4). Selain lingkungan fisik dan sosial, siswa juga memerlukan gaya pengajaran guru yang menggembirakan. Menurut Garcia (1982: 146), gaya pengajaran guru merupakan gaya kepemimpinan atau teknik pengawalan yang digunakan guru dalam proses pembelajaran (the kind of leadership or governance techniques a teacher uses). Dalam proses pembelajaran, gaya kepemimpinan guru sangat berpengaruh bagi ada-tidaknya peluang siswa untuk berbagi pendapat dan membuat keputusan. Gaya kepemimpinan guru berkisar pada otoriter, demokratis, dan bebas (laizzes faire). Gaya kepemimpinan otoriter tidak memberikan peluang kepada siswa untuk saling berbagi pendapat. Apa yang diajarkan guru kepada siswa ditentukan sendiri oleh sang guru. Sebaliknya, gaya kepemimpinan guru yang demokratis memberikan peluang kepada siswa untuk menentukan materi yang perlu dipelajari siswa. Selanjutnya, guru yang menggunakan gaya kepemimpinan bebas (laizzes faire) menyerahkan sepenuhnya kepada siswa untuk menentukan materi pembelajaran di kelas. Untuk kelas yang beragam latar belakang budaya siswanya, agaknya, lebih cocok dengan gaya kepemimpinan guru yang demokratis (Donna Styles, 2004: 3). Melalui pendekatan demokratis ini, para guru dapat menggunakan beragam strategi pembelajaran, seperti dialog, simulasi, bermain peran, observasi, dan penanganan kasus (Abdullah Aly, 2003: 70-1). Melalui dialog para guru, misalnya, mendiskusikan sumbangan aneka budaya dan orang dari suku lain dalam hidup bersama sebagai bangsa. Selain itu, melalui dialog para guru juga dapat mendiskusikan bahwa semua orang dari budaya apa pun ternyata juga menggunakan hasil kerja orang lain dari budaya lain. Sementara itu, melalui simulasi dan bermain peran, para siswa difasilitasi untuk memerankan diri sebagai orang-orang yang memiliki agama, budaya, dan etnik tertentu dalam pergaulan sehari-hari. Dalam momen-momen tertentu, diadakan proyek dan kepanitiaan bersama, dengan melibatkan aneka macam siswa dari berbagai agama, etnik, budaya, dan bahasa yang beragam. Sedangkan melalui observasi dan penanganan kasus, siswa dan guru difasilitasi untuk tinggal beberapa hari di masyarakat multikultural. Mereka diminta untuk mengamati proses sosial yang terjadi di antara individu dan kelompok yang ada, sekaligus untuk melakukan mediasi bila ada konflik di antara mereka.Dengan strategi pembelajaran tersebut para siswa diasumsikan akan memiliki wawasan dan pemahaman yang mendalam tentang adanya keragaman dalam kehidupan sosial. Bahkan, mereka akan memiliki pengalaman nyata untuk melibatkan diri dalam mempraktikkan nilai-nilai dari pendidikan multikultural dalam kehidupan sehari-hari. Sikap dan perilaku yang toleran, simpatik, dan empatik pun pada gilirannya akan tumbuh pada diri masing-masing siswa. Dengan demikian, proses pembelajaran yang difasilitasi guru tidak sekadar berorientasi pada ranah kognitif, melainkan pada ranah afektif dan psikomotorik sekaligus. Selanjutnya, pendekatan demokratis dalam proses pembelajaran dengan beragam strategi pembelajaran tersebut menempatkan guru dan siswa memiliki status yang setara (equal status), karena masing-masing dari mereka merupakan anggota komunitas kelas yang setara juga. Setiap anggota memiliki hak dan kewajiban yang absolut. Perilaku guru dan siswa harus diarahkan oleh kepentingan individu dan kelompok secara seimbang. Aturan-aturan dalam kelas harus dibagi untuk melindungi hak-hak guru dan siswa. Adapun hak-hak guru dalam proses pembelajaran meliputi: (a) guru berhak menilai para siswa sebagai manusia dan hak mereka sebagai manusia, (b) guru berhak mengetahui kapan menerapkan gaya pengajaran yang berbeda—otoriter, demokratis, dan bebas—untuk meningkatkan hak-hak siswa, (c) guru berhak mengetahui kapan dan bagaimana menerapkan ketidakpatuhan sipil, dan (d) guru berhak memahami kompleksitas aturan bagi mayoritas dan melindungi hak-hak minoritas. Di pihak lain, para siswa memiliki hak-hak sebagai berikut: (a) siswa berhak mengetahui hak sipil dan kewajibannya, dan (b) siswa berhak mengetahui bagaimana menggunakan hak dan kewajibannya (Garcia, 1982: 160). Lebih jauh, pendekatan demokratis dalam pembelajaran ini menuntut guru memiliki kompetensi multikultural. Farid Elashmawi dan Philip P. Harris (1994: 6-7) menawarkan 6 (enam) kompetensi multikultural guru, yaitu: (a) memiliki nilai dan hubungan sosial yang luas, (b) terbuka dan fleksibel dalam mengelola keragaman siswa, (c) siap menerima perbedaan disiplin ilmu, latar belakang, ras, dan gender; (d) memfasilitasi pendatang baru dan siswa yang minoritas, (e) mau berkolaborasi dan koalisi dengan pihak mana pun, dan (f) berorientasi pada program dan masa depan. Selain itu, James A. Bank (1989: 104-5) menambahkan kompetensi multikultural lain yang harus dimiliki oleh guru, yaitu: (a) sensitif terhadap perilaku etnik para siswa, (b) sensitif terhadap kemungkinan adanya kontroversi tentang materi ajar, dan (c) menggunakan teknik pembelajaran kelompok untuk mempromosikan integrasi etnik dalam pembelajaran.
E. Penutup
Pendidikan multikultural adalah suatu pendekatan progresif untuk melakukan transformasi pendidikan yang secara menyeluruh membongkar kekurangan, kegagalan dan praktik-praktik diskriminatif dalam proses pendidikan. Pendidikan multikultural menemukan relevansinya untuk konteks Indonesia. Pendidikan multikultural yang selama ini baru diwacanakan oleh para pemerhati pendidikan, sudah saatnya untuk disambut oleh para pengambil kebijakan dan para praktisi pendidikan. Sebagai sebuah konsep, pendidikan multikultural sejalan dengan semangat semboyan bangsa Indonesia: “Bhinneka Tunggal Ika”. Semboyan yang sangat adil dan demokratis ini memiliki pengertian bahwa Indonesia merupakan salah satu bangsa di dunia yang terdiri dari beragam suku dan ras, yang mempunyai budaya, bahasa, dan agama yang berbeda-beda tetapi dalam kesatuan Indonesia. Semboyan ini mengandung seni manajemen untuk mengatur keragaman Indonesia (the art of managing diversity), yang terdiri dari 250 kelompok suku, 250 lebih bahasa lokal (lingua francka), 13.000 pulau, 5 agama resmi, dan latar belakang kesukuan yang sangat beragam. Dengan semboyan ini diharapkan masing-masing individu dan kelompok yang berbeda suku, bahasa, budaya, dan agama dapat bersatu dan bekerjasama untuk membangun bangsanya secara lebih kuat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar