Curhat
Siang ini aku rencana mau curhat ke Marwa,
sudah pusing tujuh keliling nih, kepala sudah mau meletus aja. Mengalirlah
cerita dari mulut ceriwisku ini mulai dari perubahan A sampai Z dalam diri kak
Rayhanku, aku sampaikan semua unek-unek yang ada dalam pikiran ini.
“Subhanallah, berarti Kakak kamu itu
seorang ikhwan!" seru Marwa setengah histeris mendengar ceritaku.
"Ikhwan?" ulangku. "Makanan
apaan tuh? Saudaranya tekwan apa bakwan, bala-bala orang sunda?"
"Huss! Untuk laki-laki ikhwan, untuk
perempuan akhwat. Artinya saudara.”
"Kamu tahu Udin atau Amir, kan? Aktivis
Rohis kita itu contoh ikhwan paling nyata di sekolah ini." manggut-manggutlah
Asma. Perilaku Amir dan Udin memang mirip Kakak Rayhan.
"Udah deh, Asma. tidak usah bingung.
Banyak baca tulisan Islam. Ngaji! Orang-orang seperti Udin, Amir, atau Kakak
Rayhan bukanlah orang-orang yang error.
Aku diam. Kulihat kesungguhan di wajah bening
Marwa, sahabat dekatku yang dahulu tukang ngocol ini. Tiba-tiba di mataku
menjelma begitu dewasa.
Aku diam. Kulihat kesungguhan di wajah bening Marwa, sahabat dekatku yang
dahulu tukang ngocol ini. Tiba-tiba di mataku menjelma begitu dewasa.
"Eh, kapan main ke rumahku? Mama udah kangen tuh! Asma ingin kita tetap
dekatkan? Asma, apapun yang terjadi, kamu adalah sahabatku, walau kita kini
punya pandangan yang berbeda," ujar Marwa tiba-tiba, sambil melepas masker
penutup muka.
"Marwa, Asma kehilangan kamu. Asma juga kehilangan Kakak Rayhan,"
kataku jujur, tercekat ucapanku di tenggorokan, berlinang airmataku di pelupuk
mata, dan akhirnya jebol air mata membasahi pipiku. "Selama ini Asma
pura-pura cuek tidak peduli. Sebenarnya aku sedih tahu"
Marwa menepuk pundakku. Jilbab putihnya bergerak ditiup angin. “Nginap di
rumah, yuk. Biar kita bisa cerita banyak. Sekalian kukenalkan pada Kak
Nurma."
"Kak Nurma?"
"Kakakku yang diasuh nenek dan kuliah di Amerika! Kamu akan dengar
cerita serunya seputar hidayah yang baru dia dapat. Kalau kakak angkatku, kak
Naufal, sering kerumahmu kan? "
"Hidayah? Apaan tuh, merek baju atau jilbab baru apa sejenis makanan?
Eh sebentar, kak Naufal, sering kerumahku ya?" berondong Asma yang kepo banget
dengan kosa kata yang baru didengar di telinganya itu.
"Nginap, ya! Kita ngobrol sampai malam sama Kak Nurma! Nanti aku
jelaskan deh, Aku juga pingin curhat tentang kak Naufalku." ucap Marwa
tetap keukeuh tak mau menerangkan apa yang membuat Asma penasaran. Jiwa
penasaran Asma meronta, ingin mendapatkan haknya.
“Nanti, Aku izin Bunda dahulu deh, tega banget kamu tidak mau jawab
kekepoanku ini sih,” ucap Asma sambil merapihkan tas punggungnya. “Aku pulang
dahulu ya?”
“Ya, hati-hati di jalan, maskernya dipakai Asma sayang.”
“Ya, masih bawel aja kamu sih,”
“Ngangeni kan?”
“Ha ha ha ha.”
“Jangan lupa salam buat Bundamu ya, itu jangan lupa krupuk sama pempek
Palembang yang sudah kutaruh di motormu, sampaikan Bunda ya, itu oleh-oleh dari
Abahku kemarin habis dari Palembang,”
“Eh Marwa, kamu ikutan telepon ke Bundaku dong, biar aku mudah dapat izin
menginap dirumahmu, oke?” pinta Asma saat memakai helm kitty kesayangannya.
“Nomor WA Bunda belum ganti kan? Masih yang nomor belakang 002 itu?”
“Ya masihlah, beneran bantu ya.”
“Oke, bentar lagi ku telepon.”
Persahabatan Asma dan Marwa yang terjalin sejak usia balita hingga kuliah,
memang membuat dua keluarga itu menjalani ukhuwwah yang erat, kadang saling
mengunjungi, dan saling memberi sekadar jajanan atau suvenir jika salah satu
dari mereka habis bepergian.
***
"Assalaamu’alaikum, Kak Ikhwan, eh Kak
Rayhan!" tegurku ramah.
"Eh adik kesayangan Kak Rayhan! Dari mana
aja? Bubar sekolah bukannya langsung pulang!"
"Dari rumah Marwa, teman sekolah,"
jawabku pendek.
"Lagi ngapain, Kak?" tanyaku sambil
mengitari kamarnya. Kuamati beberapa poster, kaligrafi, gambar-gambar pejuang
Palestina, dan Bosnia. Puisi-puisi yang tertempel rapi di dinding kamar. Lalu
rak buku koleksi tulisan ke-Islaman.
"Hanya lagi baca!"
"Tulisan
apa Kak Ray?" sahutku merasakan jiwa kepoku meronta ingin segera
mendapatkan jawaban pasti.
“Tumben kamu pengin tahu?"
“Tunjukan, Kakaktulisan apa sih?" desakku.
"Eit, Eiiit!" Kakak Rayhan berusaha
menyembunyikan tulisannya.
Kugelitik kakinya, dia tertawa dan menyerah.
"Hahahah, ampun Met, ya sudah nih!" serunya memperlihatkan tulisan
yang sedang dibacanya dengan wajah setengah memerah. “Kupinang kau dengan
basmallah”
"Nah yaaaa! Jiaaahaaahaaha" Asma tertawa.
Kakak Rayhan juga.
"Kaaak" kataku
"Apa Adik kakak tersayang?"
"Asma akhwat bukan sih?"
"Memangnya mengapa?"
"Asma akhwat apa bukan? Ayo jawab,"
tanyaku manja, sementara tangan Asma memukul pelan pundak kak Rayhan.
Kakak Rayhan tertawa. Sore itu dengan sabar dan
panjang lebar, dia berbicara kepadaku. Tentang Allah, Rasulullah. Lihatlah, apa
yang terjadi dengan kaum muslim di Palestina, Lihat pula ajaran Islam yang
semakin lama semakin asing bahkan oleh ummatnya sendiri dan untuk
pertamakalinya setelah sekian lama, Asma merasa kembali menemukan Kakak
Rayhannya yang dahulu.
Kakak Rayhan dengan semangat terus berbicara.
Terkadang dia tersenyum, sesaat sambil menitikkan air mata. Hal yang Tidak pernah
kulihat sebelumnya!
"Kakak kok nangis?"
"Kakak sedih karena umat yang banyak
meninggalkan Al quran dan sunnah, juga berpecah belah.
Sesaat kami terdiam. Ah, Kakakku yang keren dan
tegar ini ternyata sangat perasa. Sangat peduli
"Koktumben Asma mau denger Kakak
ngomong?" tanya Kakak Rayhan tiba-tiba, alisnya berkerut meski sambill
senyum.
"Asma capai marahan sama Kakak
Rayhan!" Ujarku sekenanya, “Lagian, lihat tuh dinding kamar Kak Ray yang
sekarang, penuh tuh sama poster palestina, bosnia, kaligrafi, itu kan membuat
jiwa kekepoanku bangkit dan meronta, hehehe.”
"Emangnya Asma ngerti yang Kakak
katakan?"
“Tenang aja, Asma nyambung kok!" kataku
jujur. Ya, Kak Nurma juga pernah menerangkan hal demikian. Asma ngerti deh walau
tidak mendalam.
Malam itu Asma tidur ditemani tumpukan tulisan-tulisan
Islam milik Kakak Rayhan. Kayaknya Asma dapat hidayah!
***
Hari-hari terasa begitu
cepat berlalu. Asma dan Kakak Rayhan mulai dekat lagi seperti dahulu kembali,
setiap hari ada saja yang dibahas oleh mereka, kadang tentang tata Bahasa arab,
seperti Nahwu dan Shorof, kadang tentang perbedaan pendapat di antara para Fuqaha,
terkadang tentang perbedaan di antara empat mazhab yang berkembang hingga saat
ini, yaitu Syafi’i, Malik, Hambali, dan Hanafi.
Kini tiap Ahad kami ke
tempat taklim, mendengarkan ceramah umum dari Asatidz atau ke tempat-tempat
tablig Akbar digelar. Kadang cuma Asma dan Kakak Rayhan, kadang-kadang Aku
paksa Bunda dan Ayah juga ikut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar