Minggu, 23 Oktober 2022

Dandelion and you part 3

 

 

Curhat

Siang ini aku rencana mau curhat ke Marwa, sudah pusing tujuh keliling nih, kepala sudah mau meletus aja. Mengalirlah cerita dari mulut ceriwisku ini mulai dari perubahan A sampai Z dalam diri kak Rayhanku, aku sampaikan semua unek-unek yang ada dalam pikiran ini.

 

Subhanallah, berarti Kakak kamu itu seorang ikhwan!" seru Marwa setengah histeris mendengar ceritaku.

 

"Ikhwan?" ulangku. "Makanan apaan tuh? Saudaranya tekwan apa bakwan, bala-bala orang sunda?"

 

"Huss! Untuk laki-laki ikhwan, untuk perempuan akhwat. Artinya saudara.”

 

"Kamu tahu Udin atau Amir, kan? Aktivis Rohis kita itu contoh ikhwan paling nyata di sekolah ini." manggut-manggutlah Asma. Perilaku Amir dan Udin memang mirip Kakak Rayhan.

 

"Udah deh, Asma. tidak usah bingung. Banyak baca tulisan Islam. Ngaji! Orang-orang seperti Udin, Amir, atau Kakak Rayhan bukanlah orang-orang yang error.

 

Aku diam. Kulihat kesungguhan di wajah bening Marwa, sahabat dekatku yang dahulu tukang ngocol ini. Tiba-tiba di mataku menjelma begitu dewasa.

 

Aku diam. Kulihat kesungguhan di wajah bening Marwa, sahabat dekatku yang dahulu tukang ngocol ini. Tiba-tiba di mataku menjelma begitu dewasa.

 

"Eh, kapan main ke rumahku? Mama udah kangen tuh! Asma ingin kita tetap dekatkan? Asma, apapun yang terjadi, kamu adalah sahabatku, walau kita kini punya pandangan yang berbeda," ujar Marwa tiba-tiba, sambil melepas masker penutup muka.

 

"Marwa, Asma kehilangan kamu. Asma juga kehilangan Kakak Rayhan," kataku jujur, tercekat ucapanku di tenggorokan, berlinang airmataku di pelupuk mata, dan akhirnya jebol air mata membasahi pipiku. "Selama ini Asma pura-pura cuek tidak peduli. Sebenarnya aku sedih tahu"

 

Marwa menepuk pundakku. Jilbab putihnya bergerak ditiup angin. “Nginap di rumah, yuk. Biar kita bisa cerita banyak. Sekalian kukenalkan pada Kak Nurma."

 

"Kak Nurma?"

 

"Kakakku yang diasuh nenek dan kuliah di Amerika! Kamu akan dengar cerita serunya seputar hidayah yang baru dia dapat. Kalau kakak angkatku, kak Naufal, sering kerumahmu kan? "

 

"Hidayah? Apaan tuh, merek baju atau jilbab baru apa sejenis makanan? Eh sebentar, kak Naufal, sering kerumahku ya?" berondong Asma yang kepo banget dengan kosa kata yang baru didengar di telinganya itu.

 

"Nginap, ya! Kita ngobrol sampai malam sama Kak Nurma! Nanti aku jelaskan deh, Aku juga pingin curhat tentang kak Naufalku." ucap Marwa tetap keukeuh tak mau menerangkan apa yang membuat Asma penasaran. Jiwa penasaran Asma meronta, ingin mendapatkan haknya.

 

“Nanti, Aku izin Bunda dahulu deh, tega banget kamu tidak mau jawab kekepoanku ini sih,” ucap Asma sambil merapihkan tas punggungnya. “Aku pulang dahulu ya?”

 

“Ya, hati-hati di jalan, maskernya dipakai Asma sayang.”

 

“Ya, masih bawel aja kamu sih,”

 

“Ngangeni kan?”

 

“Ha ha ha ha.”

 

“Jangan lupa salam buat Bundamu ya, itu jangan lupa krupuk sama pempek Palembang yang sudah kutaruh di motormu, sampaikan Bunda ya, itu oleh-oleh dari Abahku kemarin habis dari Palembang,”

 

“Eh Marwa, kamu ikutan telepon ke Bundaku dong, biar aku mudah dapat izin menginap dirumahmu, oke?” pinta Asma saat memakai helm kitty kesayangannya.

 

“Nomor WA Bunda belum ganti kan? Masih yang nomor belakang 002 itu?”

 

“Ya masihlah, beneran bantu ya.”

 

“Oke, bentar lagi ku telepon.”

 

Persahabatan Asma dan Marwa yang terjalin sejak usia balita hingga kuliah, memang membuat dua keluarga itu menjalani ukhuwwah yang erat, kadang saling mengunjungi, dan saling memberi sekadar jajanan atau suvenir jika salah satu dari mereka habis bepergian.

 

***

"Assalaamu’alaikum, Kak Ikhwan, eh Kak Rayhan!" tegurku ramah.

 

"Eh adik kesayangan Kak Rayhan! Dari mana aja? Bubar sekolah bukannya langsung pulang!"

 

"Dari rumah Marwa, teman sekolah," jawabku pendek.

 

"Lagi ngapain, Kak?" tanyaku sambil mengitari kamarnya. Kuamati beberapa poster, kaligrafi, gambar-gambar pejuang Palestina, dan Bosnia. Puisi-puisi yang tertempel rapi di dinding kamar. Lalu rak buku koleksi tulisan ke-Islaman.

 

"Hanya lagi baca!"

 

 "Tulisan apa Kak Ray?" sahutku merasakan jiwa kepoku meronta ingin segera mendapatkan jawaban pasti.

 

“Tumben kamu pengin tahu?"

 

“Tunjukan, Kakaktulisan apa sih?" desakku.

 

"Eit, Eiiit!" Kakak Rayhan berusaha menyembunyikan tulisannya.

 

Kugelitik kakinya, dia tertawa dan menyerah. "Hahahah, ampun Met, ya sudah nih!" serunya memperlihatkan tulisan yang sedang dibacanya dengan wajah setengah memerah. “Kupinang kau dengan basmallah”

 

"Nah yaaaa! Jiaaahaaahaaha" Asma tertawa. Kakak Rayhan juga.

 

"Kaaak" kataku

 

"Apa Adik kakak tersayang?"

 

"Asma akhwat bukan sih?"

 

"Memangnya mengapa?"

 

"Asma akhwat apa bukan? Ayo jawab," tanyaku manja, sementara tangan Asma memukul pelan pundak kak Rayhan.

 

Kakak Rayhan tertawa. Sore itu dengan sabar dan panjang lebar, dia berbicara kepadaku. Tentang Allah, Rasulullah. Lihatlah, apa yang terjadi dengan kaum muslim di Palestina, Lihat pula ajaran Islam yang semakin lama semakin asing bahkan oleh ummatnya sendiri dan untuk pertamakalinya setelah sekian lama, Asma merasa kembali menemukan Kakak Rayhannya yang dahulu.

 

Kakak Rayhan dengan semangat terus berbicara. Terkadang dia tersenyum, sesaat sambil menitikkan air mata. Hal yang Tidak pernah kulihat sebelumnya!

 

"Kakak kok nangis?"

 

"Kakak sedih karena umat yang banyak meninggalkan Al quran dan sunnah, juga berpecah belah.

 

Sesaat kami terdiam. Ah, Kakakku yang keren dan tegar ini ternyata sangat perasa. Sangat peduli

 

"Koktumben Asma mau denger Kakak ngomong?" tanya Kakak Rayhan tiba-tiba, alisnya berkerut meski sambill senyum.

 

 

 

"Asma capai marahan sama Kakak Rayhan!" Ujarku sekenanya, “Lagian, lihat tuh dinding kamar Kak Ray yang sekarang, penuh tuh sama poster palestina, bosnia, kaligrafi, itu kan membuat jiwa kekepoanku bangkit dan meronta, hehehe.”

 

"Emangnya Asma ngerti yang Kakak katakan?"

 

“Tenang aja, Asma nyambung kok!" kataku jujur. Ya, Kak Nurma juga pernah menerangkan hal demikian. Asma ngerti deh walau tidak mendalam.

 

Malam itu Asma tidur ditemani tumpukan tulisan-tulisan Islam milik Kakak Rayhan. Kayaknya Asma dapat hidayah!

 

***

Hari-hari terasa begitu cepat berlalu. Asma dan Kakak Rayhan mulai dekat lagi seperti dahulu kembali, setiap hari ada saja yang dibahas oleh mereka, kadang tentang tata Bahasa arab, seperti Nahwu dan Shorof, kadang tentang perbedaan pendapat di antara para Fuqaha, terkadang tentang perbedaan di antara empat mazhab yang berkembang hingga saat ini, yaitu Syafi’i, Malik, Hambali, dan Hanafi.

 

Kini tiap Ahad kami ke tempat taklim, mendengarkan ceramah umum dari Asatidz atau ke tempat-tempat tablig Akbar digelar. Kadang cuma Asma dan Kakak Rayhan, kadang-kadang Aku paksa Bunda dan Ayah juga ikut.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar