Selasa, 25 Oktober 2022

Misteri Hutan Geometri 28

 Perkelahian tak terelakkan

 

Yasmin hanya menyilangkan lengannya di depan dada. Ditatapnya kedua penjahat itu dengan sikap menantang.

 

Sansan menggeram, siap untuk menyerang begitu ada aba-aba dari tuannya.

 

Tapi Ibra tampaknya tidak takut menghadapi kemungkinan itu. Ia maju terus, menghampiri Yasmin. Yasmin tidak tahu apakah penjahat itu membawa senjata, atau tidak. Jika Ibra membawa pistol, itu berarti nyawa Sansan terancam. Karenanya ia menyuruh Sansan mundur. "Duduk, Sansan! Duduk kataku!"

 

Yakub, penjahat yang salu lagi, tertawa mengejek. "Rupanya kau sudah mau mengerti sekarang, Gadis! Nah, jangan sampai kami harus menunggu. Katakan, di mana batang-batang emas itu kalian sembunyikan! Kalau tidak..."

 

Yakub mengeluarkan sebilah pisau dari kantungnya, lalu mengacungkannya dengan sikap mengancam. Yasmin tertawa menantang.

 

"Aku takkan mengatakan apa-apa!" katanya sambil mencibir. "Jika kalian berani membunuhku, kalian tidak akan tahu dimana kan? jadi baik-baiklah padaku."

 

Sementara itu Saleem, Husna, dan Hasna memperlambat lari mereka, karena kehabisan napas. Mereka kini berada di tengah hutan. Dan sejauh itu, tidak ada yang mengejar mereka!

 

"Berhenti, Yasmin dalam bahaya!" kata Saleem. Saleem sangat cemas. "Kita tidak bisa membiarkan dia sendiri, menghadapi orang-orang itu!"

 

"Betul," kata Husna. "Yuk, kita kembali dan membantunya. Kita sergap Trio penjahat dari belakang! Mereka kan tinggal berdua sekarang. Jika kita menyerang secara tiba-tiba, mungkin saja kita bisa menang!"

 

"Tapi jika tidak, habislah riwayat kita! Tidak aku tahu akal lain. Hasna – kau lari terus, memanggil bala bantuan! Sementara itu aku dan Husna kembali ke Menara lonceng."

 

"Tapi bagaimana jika aku nanti tersesat dalam hutan?" tanya Hasna gugup.

 

Saat itu seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan muncul dari balik suatu semak. Kelihatannya mereka sedang memetik buah plum. Saleem memanggil mereka. "He kalian berdua! Maukah kalian menolong kami?"

 

Anak yang laki-laki datang menghampiri Saleem sambil tersenyum. Dan air mukanya nampak bahwa ia anak baik.

 

"Menolong kalian" Tentu saja mau!" kata anak laki-laki itu. "Namaku Paul, dan ini temanku, Catherine. Apakah yang harus kami lakukan?"

 

"Bisakah kalian mengantar adikku Hasna ini ke kantor polisi di Cuzco" Dalam perjalanan ke sana nanti Ia bisa bercerita kenapa Ia harus menghubungi polisi. Sekarang tidak ada waktu!"

 

"Baik," kata anak yang bernama Paul. "Yuk, Hasna!"

 

Hasna ikut dengan kedua anak itu, setelah menoleh sekali memandang kedua abangnya. "Sekarang tergantung pada kita, Husna!" kata Saleem pada adiknya. "Kita kembali, membantu Yasmin!" Mereka berbalik, lalu lari kembali ke arah kompleks bekas gereja dekat area Maccu Pichu. Di tengah jalan mereka nyaris saja bertubrukan dengan Alois, yang berlari-lari dengan wajah ketakutan. "Llllonceng!" kata anak itu tergagapgagap. "LIIlonceng bbbberbunyi!"

 

Tiba-tiba Husna mendapat akal bagus.

 

"Coba dengar sebentar, Alois!" kata Husna. "Di menara lonceng ada orang-orang jahat! Mereka hendak menyakiti Yasmin! Kau masih ingat pada Yasmin, kan yang menghadiahkan jam yang bagus itu padamu?"

 

"0 ya ak aku ssssuka pada Yasmin!" ucap Alois.

 

"Nah, saat ini Yasmin sedang dalam bahaya. Maukah kau membantu kami menyelamatkannya?" "Yya! Alois mmmmau mmmembantu!"

 

Ternyata Husna sudah mengatur rencana. Ia menjelaskannya dengan cepat pada Alois, yang tampaknya mengerti apa yang harus dilakukan. Ketika sampai di kompleks bekas gereja dekat area Maccu Pichu, Husna dan Saleem berhasil menyelinap masuk ke dalam gereja tanpa ketahuan. Begitu keduanya sudah ada di dalam, Alois lari ke kaki menara tonceng lalu berseruseru dengan suara lantang ke atas, "He! Kkkalian yang ada dddi atas! Halo!" Ibra tertegun, lalu pergi ke jendela untuk melihat ke bawah. Yakub ikut berpaling, sementara pisaunya diturunkan. Yasmin memanfaatkan peluang itu.

 

Dengan cepat ia lari ke tangga lalu menuruninya, diikuti oleh Sansan. Pada pertengahan jalan Ia bertemu dengan kedua temannya yang bergegas-gegas ke atas.

 

Husna dan Saleem menggenggam linggis dan sekop yang mereka temukan di bawah.

 

"Alhamduliillah, lihat kak Yasmin turun!" kata Husna dengan lega.

 

"Memang begitulah harapan kami, kau berusaha melarikan diri, sementara kami mengalihkan perhatian mereka! Yuk kita cepat-cepat lari dari sini!"

 

Beberapa saat setelah Yasmin turun, Ibra dan Yakub langsung mengejar!

 

Yasmin serta kedua temannya cepat-cepat lari dari menara lonceng, lalu melesat bersama Alois ke arah hutan untuk bersembunyi di situ. Tapi Ibra dan Yakub sangat cepat larinya, sehingga kemudian terjadi kejar mengejar dalam hutan. Empat sekawan berusaha menghindar dengan menggunakan berbagai macam siasat – tapi percuma! Trio penjahat masih tetap mengejar.

 

Akhirnya empat sekawan sadar bahwa mau tidak mau, mereka terpaksa berhadapan dengan kedua penjahat itu. Mereka sudah kembali memasuki kompleks bekas gereja. Mereka sampai di dekat sebuah sumur tua, tempat para biarawan di gereja dekat area Maccu Pichu dulu mengambil air. Husna dan Saleem berhenti berlari. Mereka menghadapi kedua penjahat yang mengejar, dengan sekop dan linggis siap di tangan. Yasmin mengambil sebatang ranting. Ia hendak memakainya sebagal alat pemukul. Sansan menggeram, memperlihatkan taring. Sedang Alois menjerit. Suaranya nyaring.

 

"Nah, sekarang kalian tidak bisa lari lagi!" sergah Ibra. Tubuhnya kekar, dan Ia tidak takut pada empat sekawan yang berdiri dengan sikap menantang itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar