Perkelahian tak terelakkan
Yasmin hanya menyilangkan lengannya di depan dada.
Ditatapnya kedua penjahat itu dengan sikap menantang.
Sansan menggeram, siap untuk menyerang begitu ada aba-aba
dari tuannya.
Tapi Ibra tampaknya tidak takut menghadapi kemungkinan itu.
Ia maju terus, menghampiri Yasmin. Yasmin tidak tahu apakah penjahat itu
membawa senjata, atau tidak. Jika Ibra membawa pistol, itu berarti nyawa Sansan
terancam. Karenanya ia menyuruh Sansan mundur. "Duduk, Sansan! Duduk
kataku!"
Yakub, penjahat yang salu lagi, tertawa mengejek.
"Rupanya kau sudah mau mengerti sekarang, Gadis! Nah, jangan sampai kami
harus menunggu. Katakan, di mana batang-batang emas itu kalian sembunyikan!
Kalau tidak..."
Yakub mengeluarkan sebilah pisau dari kantungnya, lalu
mengacungkannya dengan sikap mengancam. Yasmin tertawa menantang.
"Aku takkan mengatakan apa-apa!" katanya sambil
mencibir. "Jika kalian berani membunuhku, kalian tidak akan tahu dimana
kan? jadi baik-baiklah padaku."
Sementara itu Saleem, Husna, dan Hasna memperlambat lari
mereka, karena kehabisan napas. Mereka kini berada di tengah hutan. Dan sejauh
itu, tidak ada yang mengejar mereka!
"Berhenti, Yasmin dalam bahaya!" kata Saleem.
Saleem sangat cemas. "Kita tidak bisa membiarkan dia sendiri, menghadapi
orang-orang itu!"
"Betul," kata Husna. "Yuk, kita kembali dan
membantunya. Kita sergap Trio penjahat dari belakang! Mereka kan tinggal berdua
sekarang. Jika kita menyerang secara tiba-tiba, mungkin saja kita bisa
menang!"
"Tapi jika tidak, habislah riwayat kita! Tidak aku tahu
akal lain. Hasna – kau lari terus, memanggil bala bantuan! Sementara itu aku
dan Husna kembali ke Menara lonceng."
"Tapi bagaimana jika aku nanti tersesat dalam
hutan?" tanya Hasna gugup.
Saat itu seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan
muncul dari balik suatu semak. Kelihatannya mereka sedang memetik buah plum.
Saleem memanggil mereka. "He kalian berdua! Maukah kalian menolong
kami?"
Anak yang laki-laki datang menghampiri Saleem sambil
tersenyum. Dan air mukanya nampak bahwa ia anak baik.
"Menolong kalian" Tentu saja mau!" kata anak
laki-laki itu. "Namaku Paul, dan ini temanku, Catherine. Apakah yang harus
kami lakukan?"
"Bisakah kalian mengantar adikku Hasna ini ke kantor
polisi di Cuzco" Dalam perjalanan ke sana nanti Ia bisa bercerita kenapa
Ia harus menghubungi polisi. Sekarang tidak ada waktu!"
"Baik," kata anak yang bernama Paul. "Yuk,
Hasna!"
Hasna ikut dengan kedua anak itu, setelah menoleh sekali
memandang kedua abangnya. "Sekarang tergantung pada kita, Husna!"
kata Saleem pada adiknya. "Kita kembali, membantu Yasmin!" Mereka
berbalik, lalu lari kembali ke arah kompleks bekas gereja dekat area Maccu
Pichu. Di tengah jalan mereka nyaris saja bertubrukan dengan Alois, yang
berlari-lari dengan wajah ketakutan. "Llllonceng!" kata anak itu
tergagapgagap. "LIIlonceng bbbberbunyi!"
Tiba-tiba Husna mendapat akal bagus.
"Coba dengar sebentar, Alois!" kata Husna.
"Di menara lonceng ada orang-orang jahat! Mereka hendak menyakiti Yasmin!
Kau masih ingat pada Yasmin, kan yang menghadiahkan jam yang bagus itu
padamu?"
"0 ya ak aku ssssuka pada Yasmin!" ucap Alois.
"Nah, saat ini Yasmin sedang dalam bahaya. Maukah kau
membantu kami menyelamatkannya?" "Yya! Alois mmmmau mmmembantu!"
Ternyata Husna sudah mengatur rencana. Ia menjelaskannya
dengan cepat pada Alois, yang tampaknya mengerti apa yang harus dilakukan. Ketika
sampai di kompleks bekas gereja dekat area Maccu Pichu, Husna dan Saleem
berhasil menyelinap masuk ke dalam gereja tanpa ketahuan. Begitu keduanya sudah
ada di dalam, Alois lari ke kaki menara tonceng lalu berseruseru dengan suara
lantang ke atas, "He! Kkkalian yang ada dddi atas! Halo!" Ibra
tertegun, lalu pergi ke jendela untuk melihat ke bawah. Yakub ikut berpaling,
sementara pisaunya diturunkan. Yasmin memanfaatkan peluang itu.
Dengan cepat ia lari ke tangga lalu menuruninya, diikuti
oleh Sansan. Pada pertengahan jalan Ia bertemu dengan kedua temannya yang
bergegas-gegas ke atas.
Husna dan Saleem menggenggam linggis dan sekop yang mereka
temukan di bawah.
"Alhamduliillah, lihat kak Yasmin turun!" kata
Husna dengan lega.
"Memang begitulah harapan kami, kau berusaha melarikan
diri, sementara kami mengalihkan perhatian mereka! Yuk kita cepat-cepat lari
dari sini!"
Beberapa saat setelah Yasmin turun, Ibra dan Yakub langsung
mengejar!
Yasmin serta kedua temannya cepat-cepat lari dari menara
lonceng, lalu melesat bersama Alois ke arah hutan untuk bersembunyi di situ.
Tapi Ibra dan Yakub sangat cepat larinya, sehingga kemudian terjadi kejar
mengejar dalam hutan. Empat sekawan berusaha menghindar dengan menggunakan
berbagai macam siasat – tapi percuma! Trio penjahat masih tetap mengejar.
Akhirnya empat sekawan sadar bahwa mau tidak mau, mereka
terpaksa berhadapan dengan kedua penjahat itu. Mereka sudah kembali memasuki
kompleks bekas gereja. Mereka sampai di dekat sebuah sumur tua, tempat para
biarawan di gereja dekat area Maccu Pichu dulu mengambil air. Husna dan Saleem
berhenti berlari. Mereka menghadapi kedua penjahat yang mengejar, dengan sekop
dan linggis siap di tangan. Yasmin mengambil sebatang ranting. Ia hendak
memakainya sebagal alat pemukul. Sansan menggeram, memperlihatkan taring.
Sedang Alois menjerit. Suaranya nyaring.
"Nah, sekarang kalian tidak bisa lari lagi!"
sergah Ibra. Tubuhnya kekar, dan Ia tidak takut pada empat sekawan yang berdiri
dengan sikap menantang itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar