Ups, hampir ketahuan!
"Maksudmu, kita memindahkan semuanya dari peti-peti
batu ini?" kata Husna. "Itu gagasan yang baik! Tapi lalu kita
sembunyikan di mana?"
Yasmin langsung mendapat akal.
"Kita angkut ke parit terdekat. Cepat!" seru
Yasmin. "Di sana karung-karung kita timbun dengan tanah! Trio penjahat itu
nanti takkan mengira bahwa hasil rampokan mereka kita sembunyikan begitu
dekat!"
Ketiga saudara sepupunya langsung setuju.
"Ayo – bismillah,kita lakukan saja sekarang!" kata
Saleem. Beberapa saat kemudian keempat sekawan itu sudah sibuk bekerja. Mereka
menyeret ketiga karung berat itu ke salah satu parit dalam yang ada di dekat
situ. Setelah itu dilakukan, mereka
tinggal menimbuni dengan tanah yang teronggok di tepi parit lalu menghapus
bekas-bekas yang nampak.
"Sekarang tinggal menggeser tutup peti-peti kembali ke
tempat semula" kata Yasmin. "Ayo, cepat-cepat saja kita
lakukan!" kata Hasna dengan kecut. "Perasaanku tidak enak!"
"Aku juga" kata Saleem mengaku. "Jadi mereka takkan memerlukan
waktu lama untuk sampai di sini, jika naik mobil."
Tidak lama kemudian tutup ketiga peti makam dari batu itu
sudah dikembalikan ke posisi semula. Kini tidak tampak lagi bahwa peti-peti itu
pernah dibuka.
"Sekarang kita cepat-cepat kembali ke desa!" kata
Yasmin.
Namun kemudian terjadi sesuatu yang luar biasa Yasmin mulai
melangkah mendahului ketiga saudaranya, mengarah ke jalan yang menuju desa.
Tapi Sansan merintangi. Kucing itu menggeram-geram pelan, sambil pura-pura
hendak menggigit pergelangan kaki tuannya. Yasmin tertegun. Dipandangnya Sansan
dengan heran.
"Kenapa kau tahu-tahu begini sama Yasmin, Sansan,"
gumam Saleem.
“Kenapa aku tidak boleh lewat?" seru Yasmin.
Sansan menarik-narik tangan Yasmin, berusaha memaksanya agar
kembali.
"Sansan tidak menghendaki kita pergi ke desa,"
kata Husna dengan nada heran.
Sansan melepaskan tangan tuannya, menuju arah yang
berlawanan. Ia menoleh belakang, untuk melihat apakah Yasmin mengikutinya.
"Coba kita turuti saja kemauannya" kata Yasmin.
Begitu melihat bahwa empat sekawan mengikuti, dengan segera kucing cerdik itu
melesat lari, masuk ke dalam semak lebat. Empat sekawan lari mengikuti, dengan
perasaan ingin tahu. Mereka menjumpai Sansan dalam keadaan merunduk di tengah
semak, menunggu mereka. Tapi saat itu juga mereka mendengar deru mesin
kendaraan yang sangat berisik.
"Ada orang datang dari arah desa," kata Saleem.
"Kalau mendengar bunyinya, datangnya dengan kendaraan bobrok! Dan Sansan
mendengar bunyi itu tadi, jauh lebih dulu daripada kita!"
"Kurasa ada alasannya, kenapa Sansan begitu tadi,"
gumam Yasmin. Ia mengintip dari sela-sela semak. Husna ikut mengintip, lalu
bersiul pelan.
"Wah, masya alloh - itu kan Ibra dan Yakub!"
"Cuma kendaraan itu saja yang bisa mereka peroleh,
untuk mengangkut batang-batang emas mereka," bisik Saleem.
"Batang-batang emas yang mana?" balas Husna berbisik,
sambil menahan tertawa.
"Sssst!" desis Yasmin. "Sekarang bukan
waktunya berkelakar! Kita nyaris saja menyongsong mereka - kalau tidak ada
Sansan! Bayangkan, kalau itu terjadi tadi. Huh, gawat! Dan kini, jika melihat
bahwa emas yang disembunyikan itu lenyap, mereka pasti akan langsung
mencari-cari! Dan kita yang akan mereka temukan nanti, jika kita tidak
lekas-lekas pergi dari sini!"
"Tapi mau pergi ke mana?" tanya Hasna dengan
cemas.
Yasmin menuding ke arah gereja dekat dengan area Macchu
Pichu itu.
"Kita bersembunyi di atas menara lonceng!"
katanya. Kalau mereka nanti memutuskan untuk naik ke sana - nah, itu baru qodarulloh
namanya!"
"Lagi pula, dari atas kita bisa melihat apa yang mereka
lakukan," kata Saleem.
Seluruh kompleks, hanya bangunan gereja saja yang seluruhnya
sudah dipugar. Ketika sampai di ujung alas tangga, mereka melihat bahwa di
puncak menara ada sebuah lonceng yang indah, terbuat dari perunggu. Husna
mengintip ke luar dengan berhati-hati, lewat lubang jendela yang ada di ruang
lonceng.
Trio penjahat pasti akan sangat marah, jika melihat bahwa
emas mereka lenyap!
Di bawah, kedua penjahat sudah berhasil mengangkat tutup
peti makam pertama, dan kini keduanya menjenguk ke dalam. Selama sesaat, tidak
terjadi apa-apa. Hanya kesunyian saja yang mencekam. Tapi detik berikutnya,
kemarahan kedua penjahat itu seakan-akan meledak! Empat sekawan yang berada di
atas menara, mendengar suara mereka.
"Mustahil!" teriak Ibra. "Jangan-jangan kita
membuka peti yang keliru," kata Yakub, setelah agak pulih dari
kekagetannya. "Coba kita periksa!"
Dan setiap kali mengangkat, terdengar teriakan marah mereka.
Hasna gemetar ketakutan mendengarnya. Akhirnya kedua penjahat itu terpaksa
menerima kenyataan.
"Kita dirampok!" teriak Ibra dengan sengit. Ia
lupa, bahwa ialah sebenarnya yang perampok.
"Siapakah yang mungkin melakukannya?"
"Pasti empat sekawan sialan itu lagi!" tukas
Yakub. Mula-mula mereka nyaris saja berhasil mendahului kita mengambil emas
kita dari dalam kapal karam, lalu setelah itu menghalang-halangi kita di pulau,
dan kemudian melacak jejak kita sampai ke pondok Alois! Harus diakui, mereka
memang empat sekawan yang cerdas!"
"Kau benar! Bagaimana
cara mereka mengangkut emas sebanyak itu ya!"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar