“Ahh ...” Kak ray melenguh pelan, berusaha mengerjapkan
mata, menutupi cahaya yang menyilaukan mata. Pandangan sepertinya kabur,
beberapa kali matanya mengerjap, namun terlihat bahwa ada sesosok di angsana.
Seseorang yang tampak
seperti dokter dan perawat menghampiri. Dokter yang menangani, datang bersama
perawat, lalu Kak Ray ditanya. ’mengapa?”
“Bunda, Ayah, As…”
suaranya terputus melemah.
Tak lama dokter Pram yang
menangani Kakak Rayhan menghampiri kami. “Pasien sudah sadar dan memanggil nama
Bunda, Ayah, dan As..."
"Asma" suaraku
serak menahan tangis.
"Pergunakan waktu
yang ada untuk mendampingi seperti permintaannya. Sukar bagi Ray untuk
bertahan. Maafkan saya, lukanya terlalu parah," ucapan dokter Pram mengguncang
perasaan, menghempaskan harapanku!
"Kakak..., ini Asma,
Kakak...," sapaku berbisik.
Tubuh Kakak Rayhan
bergerak sedikit. Bibirnya seolah ingin mengucapkan sesuatu.
Kudekatkan wajahku
kepadanya. " Asma sudah pakai ... jilbab," lirihku. Ujung jilbabku
yang basah kusentuhkan pada tangannya.
Tubuh Kakak Rayhan
bergerak lagi.
"Zikir..., Kakak,’
suaraku bergetar. Kupandang lekat-lekat wajah Kakak Rayhan yang separuhnya
tertutup perban. Wajah itu begitu tenang...
"As... ma..."
Kudengar suara Kakak Rayhan!
Ya Allah, pelan sekali! " Asma di sini, Kakak..."
Perlahan kelopak matamya
terbuka.
-------------
Aku tersenyum. "Asma... udah pakai... jilbab...," kutahan Amirku.
Memandangku lembut, Kakak Rayhan tersenyum. Bibirnya seolah mengucapkan
sesuatu seperti hamdalah.
"Tidak usah bicara apapun dahulu, Kakak...," ujarku pelan ketika
kulihat kak Ray berusaha lagi untuk mengatakan sesuatu.
Bunda dan Ayah memberi isyarat untuk gantian. Ruang ICU memang tidak bisa
dimasuki oleh banyak orang. Dengan sedih Asma keluar. Ya Allah..., sesaat
kulihat Kakak Rayhan tersenyum. Tulus sekali!
Tak lama Asma bisa menemui Kakak Rayhan lagi. Dokter mengatakan Kakak Rayhan
tampaknya menginginkan kami semua berkumpul.
Kian lama kurasakan tubuh Kakak Rayhan makin pucat. tetapi sebentar-sebentar
masih tampak bergerak.
Kuusap setitik lagi airmata yang jatuh. "Sebut nama Allah, perbanyak
dzikir Kak," kataku sambil menggenggam tangannya. Asma sudah pasrah pada
Allah. Asma sangat menginginkan Kakak Rayhan terus hidup. tetapi sebagai insan
beriman, seperti juga yang diajarkan Kakak Rayhan, Asma pasrah pada ketentuan
Allah. Allah tentu tahu apa yang terbaik bagi Kakak Rayhan.
"Laa...ilaaha...illa...llah..., Muham...mad...Ra....sul...Al … lah...,"
suara Kakak Rayhan pelan, namun tidak terlalu pelan untuk kami dengar.
Kakak Rayhan terdiam. Tenang sekali.
Aku menatap tubuh yang terbujur kaku dan dingin itu. Bunda dan Ayah juga.
“Dokter! Dokter! Kakakku kenapa tidur,” seru Asma, seraya bergerak mencari
dan menarik dokter, meminta untuk memeriksa kak Ray.
Sang dokter memeriksa semua organ vital kak Ray, “Tampaknya tubuh kak Ray
sedang berusaha keras untuk memulihkan diri, namun memang berat, kak Ray koma.”
Asma menangis.
Keesokan hari, Asma membaca ucapan ulang tahun dari kak Ray, kado dari kak
Ray.
Buat ukhti manis Asma Arrashifah, baarakallah fi umriik ukhti wa kun
marátushshalihah, Semoga memperoleh umur yang berkah, Dan jadilah muslimah
sejati, Agar Allah selalu besertamu. Peluk Sayang,
Kakak Ikhwanmu, Kakak Rayhan!
Kubaca berulang kali kartu ucapan Kakak Rayhan. Keharuan memenuhi
rongga-rongga dadaku.
Gamis dan jilbab biru muda, manis sekali. Akh, ternyata Kakak Rayhan telah
mempersiapkan kado untuk hari ulang tahunku. Asma tersenyum miris.
Kupandangi kamar Kakak Rayhan yang kini lengang. Asma rindu panggilan Adik
kakak tersayang, Asma rindu suara nasyid. Rindu diskusi-diskusi di kamar ini.
Rindu suara merdu Kakak Rayhan melantunkan kalam Ilahi yang
selamanya tiada kudengar lagi. Puisi-puisi yang seolah bergema di ruang ini...
Setitik air mataku jatuh lagi.
"Kakak, Asma akhwat bukan sih?"
"Ya, Insya Allah akhwat!"
"Yang bener?’
"Iya, Adik kakak tersayang!"
"Kalau ikhwan itu harus ada jenggotnya, ya?"
"Kok nanya begitu?"
"Lha, Kakak Rayhan ada jenggotnya!”
"Ganteng kan?"
"Uuu! Eh, Kakak, kita kudu jihad, ya? Jihad itu apa sih?"
"Ya always dong! Jihad itu... "
Setetes, dua tetes, air mataku kian menganak sungai. Kumatikan lampu.
Kututup pintu kamarnya pelan-pelan! Besok pagi giliran aku menemani kak Ray di
Rumah Sakit.
-------------
Masih ingat nggak saat
malam-malam kita makan bakso? Ah, aku masih saja membantahmu. Karena aku tahu
ada Kak Rayhan yang akan sangat peduli dengan kesehatanku. Aku sama sekali tak
pernah mengira jika Kak Rayhan akan pergi dua hari kemudian. Malam itu ketika
hujan mengguyur kota dengan sangat lebat, penuh ketulusan Kak Rayhan menerobos
untuk membelikanku bakso. Mana ada Kakak sehebat itu selain Kak Rayhan? Bagiku,
Kak Rayhan adalah Kakak nomor satu di dunia. (Ya, memang hanya kak Ray,
saudaraku satu-satunya)
Kak Rayhan,
Aku tahu Kak Rayhan pasti
merasakan betapa perih itu bagai sayatan yang mengiris hatiku, saat Asma
mengingatmu. Kak Rayhan yang tak pernah mengeluh mengantarku kemana saja. Kak
Rayhan yang tak pernah protes ketika mendengarkan semua ceritaku. Kak Rayhan
yang selalu memberiku semangat untuk terus berjuang menggapai harapan dan Kak
Rayhan yang selalu berusaha untuk mewujudkan semua impian-impianku.
Kak Rayhan,
Aku rindu, sangat
merindukanmu.
Saat malam-malam seperti
ini, biasanya Kak Rayhan selalu membuatkanku segelas cokelat hangat.
Mengantarkannya bersama beberapa camilan ringan untuk menemaniku menulis,
menyelesaikan deadline skripsiku.
“Tidurnya jangan terlalu
malam! Jangan kecapekan, jaga kesehatan!”
Nasihat itu yang selalu
Kak Rayhan katakan setiap kali melihatku begitu konsentrasi di depan laptop.
Kak
Kak Rayhan,
Kini aku mengikuti
jejakmu, berharap dengan aku hadir dalam Majelis Taklim yang biasa dihadiri
olehmu, aku masih bisa mencium aromamu, melihat kelebatan bayangmu, dan aku
ingin mengikuti jejakmu mencari ilmu yang bermanfaat utuk bekal masadepanku.
Kak Rayhan,
Semoga rindu yang aku
titipkan pada Allah senantiasa sampai padamu, juga Kakek.
Allah, terima kasih
karena telah memberiku seorang Kakak terhebat …
Asma merasa sedang dilihat oleh kak Ray,
setelah membuat goresan pena tentang perasaannya yang masih terpuruk dalam
diary. Kak Ray mendekat padaku, dan bicara, “Ghuluw, jangan terlalu ghuluw adik
kakak tersayang, kak Ray yang susah disini,” ucap kak Ray lembut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar