Minggu, 23 Oktober 2022

Dandelion and you part 6

 

 

“Ahh ...”  Kak ray melenguh pelan, berusaha mengerjapkan mata, menutupi cahaya yang menyilaukan mata. Pandangan sepertinya kabur, beberapa kali matanya mengerjap, namun terlihat bahwa ada sesosok di angsana.

 

Seseorang yang tampak seperti dokter dan perawat menghampiri. Dokter yang menangani, datang bersama perawat, lalu Kak Ray ditanya. ’mengapa?”

 

“Bunda, Ayah, As…” suaranya terputus melemah.

 

Tak lama dokter Pram yang menangani Kakak Rayhan menghampiri kami. “Pasien sudah sadar dan memanggil nama Bunda, Ayah, dan As..."

 

"Asma" suaraku serak menahan tangis.

 

"Pergunakan waktu yang ada untuk mendampingi seperti permintaannya. Sukar bagi Ray untuk bertahan. Maafkan saya, lukanya terlalu parah," ucapan dokter Pram mengguncang perasaan, menghempaskan harapanku!

 

"Kakak..., ini Asma, Kakak...," sapaku berbisik.

 

Tubuh Kakak Rayhan bergerak sedikit. Bibirnya seolah ingin mengucapkan sesuatu.

Kudekatkan wajahku kepadanya. " Asma sudah pakai ... jilbab," lirihku. Ujung jilbabku yang basah  kusentuhkan pada tangannya.

 

Tubuh Kakak Rayhan bergerak lagi.

 

"Zikir..., Kakak,’ suaraku bergetar. Kupandang lekat-lekat wajah Kakak Rayhan yang separuhnya tertutup perban. Wajah itu begitu tenang...

 

"As... ma..."

 

Kudengar suara Kakak Rayhan! Ya Allah, pelan sekali! " Asma di sini, Kakak..."

 

Perlahan kelopak matamya terbuka.

 

-------------

Aku tersenyum. "Asma... udah pakai... jilbab...," kutahan Amirku.

 

Memandangku lembut, Kakak Rayhan tersenyum. Bibirnya seolah mengucapkan sesuatu seperti hamdalah.

 

"Tidak usah bicara apapun dahulu, Kakak...," ujarku pelan ketika kulihat kak Ray berusaha lagi untuk mengatakan sesuatu.

 

Bunda dan Ayah memberi isyarat untuk gantian. Ruang ICU memang tidak bisa dimasuki oleh banyak orang. Dengan sedih Asma keluar. Ya Allah..., sesaat kulihat Kakak Rayhan tersenyum. Tulus sekali!

 

Tak lama Asma bisa menemui Kakak Rayhan lagi. Dokter mengatakan Kakak Rayhan tampaknya menginginkan kami semua berkumpul.

 

Kian lama kurasakan tubuh Kakak Rayhan makin pucat. tetapi sebentar-sebentar masih tampak bergerak.

 

Kuusap setitik lagi airmata yang jatuh. "Sebut nama Allah, perbanyak dzikir Kak," kataku sambil menggenggam tangannya. Asma sudah pasrah pada Allah. Asma sangat menginginkan Kakak Rayhan terus hidup. tetapi sebagai insan beriman, seperti juga yang diajarkan Kakak Rayhan, Asma pasrah pada ketentuan Allah. Allah tentu tahu apa yang terbaik bagi Kakak Rayhan.

 

"Laa...ilaaha...illa...llah..., Muham...mad...Ra....sul...Al … lah...," suara Kakak Rayhan pelan, namun tidak terlalu pelan untuk kami dengar.

 

Kakak Rayhan terdiam. Tenang sekali.

 

Aku menatap tubuh yang terbujur kaku dan dingin itu. Bunda dan Ayah juga.

 

“Dokter! Dokter! Kakakku kenapa tidur,” seru Asma, seraya bergerak mencari dan menarik dokter, meminta untuk memeriksa kak Ray.

 

Sang dokter memeriksa semua organ vital kak Ray, “Tampaknya tubuh kak Ray sedang berusaha keras untuk memulihkan diri, namun memang berat, kak Ray koma.”

 

Asma menangis.

 

Keesokan hari, Asma membaca ucapan ulang tahun dari kak Ray, kado dari kak Ray.

 

Buat ukhti manis Asma Arrashifah, baarakallah fi umriik ukhti wa kun marátushshalihah, Semoga memperoleh umur yang berkah, Dan jadilah muslimah sejati, Agar Allah selalu besertamu. Peluk Sayang,

 

Kakak Ikhwanmu, Kakak Rayhan!

Kubaca berulang kali kartu ucapan Kakak Rayhan. Keharuan memenuhi rongga-rongga dadaku.

 

Gamis dan jilbab biru muda, manis sekali. Akh, ternyata Kakak Rayhan telah mempersiapkan kado untuk hari ulang tahunku. Asma tersenyum miris.

 

Kupandangi kamar Kakak Rayhan yang kini lengang. Asma rindu panggilan Adik kakak tersayang, Asma rindu suara nasyid. Rindu diskusi-diskusi di kamar ini. Rindu suara merdu Kakak Rayhan melantunkan   kalam Ilahi yang selamanya tiada kudengar lagi. Puisi-puisi yang seolah bergema di ruang ini...

 

Setitik air mataku jatuh lagi.

 

"Kakak, Asma akhwat bukan sih?"

 

"Ya, Insya Allah akhwat!"

 

"Yang bener?’

 

"Iya, Adik kakak tersayang!"

 

"Kalau ikhwan itu harus ada jenggotnya, ya?"

 

"Kok nanya begitu?"

 

"Lha, Kakak Rayhan ada jenggotnya!”

 

"Ganteng kan?"

 

"Uuu! Eh, Kakak, kita kudu jihad, ya? Jihad itu apa sih?"

 

"Ya always dong! Jihad itu... "

 

Setetes, dua tetes, air mataku kian menganak sungai. Kumatikan lampu. Kututup pintu kamarnya pelan-pelan! Besok pagi giliran aku menemani kak Ray di Rumah Sakit.

-------------

Masih ingat nggak saat malam-malam kita makan bakso? Ah, aku masih saja membantahmu. Karena aku tahu ada Kak Rayhan yang akan sangat peduli dengan kesehatanku. Aku sama sekali tak pernah mengira jika Kak Rayhan akan pergi dua hari kemudian. Malam itu ketika hujan mengguyur kota dengan sangat lebat, penuh ketulusan Kak Rayhan menerobos untuk membelikanku bakso. Mana ada Kakak sehebat itu selain Kak Rayhan? Bagiku, Kak Rayhan adalah Kakak nomor satu di dunia. (Ya, memang hanya kak Ray, saudaraku satu-satunya)

Kak Rayhan,

Aku tahu Kak Rayhan pasti merasakan betapa perih itu bagai sayatan yang mengiris hatiku, saat Asma mengingatmu. Kak Rayhan yang tak pernah mengeluh mengantarku kemana saja. Kak Rayhan yang tak pernah protes ketika mendengarkan semua ceritaku. Kak Rayhan yang selalu memberiku semangat untuk terus berjuang menggapai harapan dan Kak Rayhan yang selalu berusaha untuk mewujudkan semua impian-impianku.

Kak Rayhan,

Aku rindu, sangat merindukanmu.

Saat malam-malam seperti ini, biasanya Kak Rayhan selalu membuatkanku segelas cokelat hangat. Mengantarkannya bersama beberapa camilan ringan untuk menemaniku menulis, menyelesaikan deadline skripsiku.

“Tidurnya jangan terlalu malam! Jangan kecapekan, jaga kesehatan!”

Nasihat itu yang selalu Kak Rayhan katakan setiap kali melihatku begitu konsentrasi di depan laptop.

Kak

Kak Rayhan,

Kini aku mengikuti jejakmu, berharap dengan aku hadir dalam Majelis Taklim yang biasa dihadiri olehmu, aku masih bisa mencium aromamu, melihat kelebatan bayangmu, dan aku ingin mengikuti jejakmu mencari ilmu yang bermanfaat utuk bekal masadepanku.

Kak Rayhan,

Semoga rindu yang aku titipkan pada Allah senantiasa sampai padamu, juga Kakek.

Allah, terima kasih karena telah memberiku seorang Kakak terhebat …

 Asma merasa sedang dilihat oleh kak Ray, setelah membuat goresan pena tentang perasaannya yang masih terpuruk dalam diary. Kak Ray mendekat padaku, dan bicara, “Ghuluw, jangan terlalu ghuluw adik kakak tersayang, kak Ray yang susah disini,” ucap kak Ray lembut.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar