Minggu, 23 Oktober 2022

Dandelion and you part 5

 

 

“Allah akan mencintai seorang mukmin, laki-laki atau perempuan bergantung pada tingkat di mana ia mencintai dan menaati Nabi Muhammad. Ini berarti ummat muslim harus menunjukkan cintanya kepada Nabi dengan menerapkan kebiasaan dan kepribadian Nabi ke dalam gaya hidup sehari-hari, betul tidak?” seru kak Ray.

 

“Betuuuul,” seru jamaáh hampir berbarengan menjawab.

 

“Di masa Nabi, para sahabat mengikuti secara otomatis dan sepenuh hati. Lihatlah sekarang, zaman telah berubah, dan mengikuti sunnah Nabi dalam kehidupan sehari-hari secara berangsur-angsur menjadi tantangan bagi muslimah masa kini. Tantangan yang dihadapi Muslimah Era milenial diantaranya, kemajuan dalam sains, penerbangan, teknologi, dan industrialisasi yang telah membuat hidup serba cepat dan sibuk, ada beberapa dari mereka pemilik industri, menginginkan muslimah memakai pakaian yang simple dan ringkas menurut mereka, namun lihatlah apa yang telah tertulis dalam surat Al Ahzab ayat 59, Allah SWT memerintahkan kaum wanita untuk menutup aurat dengan jilbab untuk melindungi hambaNya. Tujuannya adalah menjaga kehormatan dan keselamatan diri para wanita saat beraktivitas, ujar kak Ray dengan semangat menggebu.

 

***

Beberapa hari lagi ulang tahunku. Dan hari ini sepulang sekolah, Asma mampir ke rumah Marwa.

 

“Assalamuálaikum Marwa, kak Nurma?” ucapku, mengetuk pintu rumah Marwa.

 

“Waálaikumussalam warohmatulloh Asma, sini masuk, bunda lagi di dapur tuh, salim dulu sana,” jawab Marwa, melihat Asma yang membawa bungkusan kresek.

 

 

“Kebetulan, sekalian ambil minum, haus banget nih,”

 

“Ada apaan tumben siang-siang sudah sampai sini,”

 

“Marwa, Asma diajari cara pakai jilbab yang rapi dong,”

 

“What … Alhamdulillah, Metaaaa …” jawab Marwa sempat histeris juga. Kak Nurma senang dan berulang kali mengucap hamdalah.

 

“Aku mau ngasih kejutan buat Kak Rayhan!Nanti aku sama Bunda bisa couplean, yeeeyy,”

Nanti sore rencana Asma akan mengejutkan Kakak Rayhan. Asma akan datang ke kamarnya memakai jilbab putih.

 

Kubayangkan dia akan terkejut gembira, memelukku. Apalagi Asma ingin Kakak Rayhan yang memberikan ceramah pada acara tasyakuran yang insya Allah mengundang teman-teman dan anak-anak panti yatim piatu dekat rumah kami.

 

"Kakak Ikhwan!! Kakak Rayhan! Kaaak! Assalaamu’alaikum!" kuketuk pintu kamar Kakak Rayhan dengan riang.

 

"Kak Rayhan belum pulang," sahut Bunda sambil mengulek bumbu nasi goreng.

 

"Yaaaaa, ke mana sih, Ma? Aku kan mau kasih kejutan buat kak Ray," keluhku, mataku seketika melihat ke lantai, bibirku melengkung membuat kerutan cemberut.

 

 

"Kan diundang ceramah di Bogor. Kata kak Ray tadi langsung berangkat dari kampus, sabar ya Met..."

 

"Jangan-jangan nginep, Ma. Biasanya malam Ahad kan suka nginep di rumah temannya, atau di Masjid tuh ..."

 

"Insya Allah tidak. Kan Kak Rayhan inget ada janji sama Asma hari ini," hibur Bunda menepis gelisahku.

 

Kugaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. Entah mengapa Asma kangen sekali dengan Kakak Rayhan. "Eh, jilbab Asma berantakan tuh!" Bunda tertawa.

 

Tanganku sibuk merapikan jilbab yang kupakai. Tersenyum pada Bunda.

***

Sudah lepas Isya. Kakak Rayhan belum pulang juga.

 

"Mungkin dalam perjalanan. Bogor kan lumayan jauh..." hibur Bunda lagi.

 

Detik demi detik, menit demi menit berlalu. Sampai jam sepuluh malam, Kakak Rayhan belum pulang juga.

 

"Nginap barangkali, Ma?" duga Ayah, tangannya meraih tangan Bunda, mencoba menenangkan.

 

Bunda menggeleng lemas. "Kalau mau nginap Kakak Rayhan selalu bilang, Pa!"

 

***

Jarum jam terus berputar, detik demi detik, menit demi menit berlalu. Sampai jam sepuluh malam, Kakak Rayhan belum pulang juga.

 

"Nginap barangkali, Ma?" duga Ayah, tangannya meraih tangan Bunda, mencoba menenangkan.

 

Bunda menggeleng lemas. "Kalau mau nginap Kakak Rayhan selalu bilang, Pa!"

 

Aku menghela napas panjang. Menguap. Ngantuk. Jilbab putih itu belum juga kulepaskan. Asma berharap Kak Rayhan segera pulang dan melihatku memakainya.

 

"Kriinggg!" telepon berdering.

 

Ayah mengangkat telepon. "Halo, ya betul. Apa? Rayhan?"

 

"Ada apa, Pa?" tanya Bunda cemas.

 

"Rayhan..., kecelakaan..., Rumah Sakit… Islam...," suara Ayah melemah.

 

"Kak Rayhan!" Air mataku tumpah. Tubuhku lemas.

 

Asma dan Bunda menangis berangkulan. Jilbab kami basah.

 

Perjalanan menuju RSI terasa begitu lama, Asma melihat airmata tak henti mengalir membasahi pipi Bunda.

 

Ayah terlihat lebih tua dari umurnya yang sebenarnya, dengan mata tua dan lelahnya menerawang menatap atap mobil taruna yang dikendarai sang sopir, karyawan di kantor Ayah.

-------------

Derap langkah Asma, Bunda dan Ayah menuju ruang IGD semakin cepat. Hingga langkahnya terhenti di luar kamar kaca yang bertuliskan IGD, kulihat tubuh Kak Rayhan terbaring lemah. tangan, kaki, kepalanya penuh perban. Informasi yang kudengar, sebuah truk menghantam mobil yang dikendarai Kak Rayhan. Teman Kak Rayhan tewas seketika, sedang kondisi Kak Rayhan kritis.

 

Dokter mendekat menemui Ayah melaporkan keadaan terakhir Kak Ray.

 

"Dok, saya Asma, adiknya, Dok! Izinkan saya masuk, Kakak Rayhan pasti mau lihat saya pakai jilbab iniii!" rajuk Asma memegang ujung baju Dokter kak Ray.

 

Bunda dengan lebih tenang merangkulku, "Sabar, Sayang..., sabar."

 

Di pojok ruangan ayah tampak serius berbicara dengan dokter yang khusus menangani Kakak Rayhan. Wajah mereka suram.

 

"Suster, Kakak Rayhan akan hidup terus kan, suster? Dokter? Ma?" tanyaku. "Ayah, Kakak Rayhan bisa ceramah pada syukuran Asma kan?" air mataku terus mengalir.

 

Tidak ada yang menjawab pertanyaanku kecuali kebisuan dinding putih rumah sakit.

 

"Kakak Rayhan, sembuh ya, Kakak, Kakak Rayhan, Asma udah jadi adik Kakak yang manis. Kakak Rayhan," bisikku.

 

Tiga jam kemudian kami masih berada di rumah sakit Islam Sekitar ruang ICU kini telah sepi, suara jangkrik menemani pasien.

-------------

Tiga jam kemudian kami masih berada di RSI. Didepan ruang ICU tepatnya, kini telah sepi.

 

“Apa yang terjadi?” ucap Kak Ray dalam hati. Sudah bisa mendengar tetapi Kak Ray tidak bisa membuka mata lebar lebar.hanya berupa penglihatan kabur seperti berkabut,dan akhirnya Kak Raypun lebih memilih memejamkan mata dan tak sadar lagi.

 

Aku berdoa dan terus berdoa. Ya Allah, selamatkan Kakak Rayhan..., Asma, Bunda dan Ayah butuh kakak, umat juga."

 

Sadar kedua saat pagi menjelang, di jari Kak Ray sudah terpasang alat penjepit yang tidak diketahui namanya, alat ekg yang tersambung di dada Kak Ray, slang napas yang di masukan ke tenggorokan Kak Ray, kaki dan tangan yag diikat ke ranjang.

 

Kak Ray tidak bisa berontak karena tidak memiliki tenaga sama sekali untuk melawan. Hanya pasrah saja. Kak Ray menyentakan tangan ke ranjang menimbulkan bunyi ‘tek ... tek ... tek” alat pendeteksi jantung berbunyi.

Tak berapa lama para perawat pun datang.

 

Kak Ray bisa mendengar, beberapa menit kemudian Kak Ray sadar bahwa ternyata tangan kaki diikat, tak bisa bicara, tak bisa bergerak, kedinginan. Kak Ray melakukan hal yag sama mengetukan jempol yag dijepit alat yang tidak tau namanya ke ranjang. Hingga menimbulkan berisik.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar