“Allah akan mencintai seorang mukmin, laki-laki
atau perempuan bergantung pada tingkat di mana ia mencintai dan menaati Nabi
Muhammad. Ini berarti ummat muslim harus menunjukkan cintanya kepada Nabi
dengan menerapkan kebiasaan dan kepribadian Nabi ke dalam gaya hidup
sehari-hari, betul tidak?” seru kak Ray.
“Betuuuul,” seru jamaáh hampir berbarengan
menjawab.
“Di masa Nabi, para sahabat mengikuti secara
otomatis dan sepenuh hati. Lihatlah sekarang, zaman telah berubah, dan
mengikuti sunnah Nabi dalam kehidupan sehari-hari secara berangsur-angsur
menjadi tantangan bagi muslimah masa kini. Tantangan yang dihadapi Muslimah Era
milenial diantaranya, kemajuan dalam sains, penerbangan, teknologi, dan
industrialisasi yang telah membuat hidup serba cepat dan sibuk, ada beberapa
dari mereka pemilik industri, menginginkan muslimah memakai pakaian yang simple dan
ringkas menurut mereka, namun lihatlah apa yang telah tertulis dalam surat Al Ahzab ayat 59, Allah SWT
memerintahkan kaum wanita untuk menutup aurat dengan jilbab untuk
melindungi hambaNya. Tujuannya adalah menjaga kehormatan dan keselamatan diri
para wanita saat beraktivitas,” ujar kak Ray dengan semangat menggebu.
***
Beberapa hari lagi ulang
tahunku. Dan hari ini sepulang sekolah, Asma mampir ke rumah Marwa.
“Assalamuálaikum Marwa,
kak Nurma?” ucapku, mengetuk pintu rumah Marwa.
“Waálaikumussalam
warohmatulloh Asma, sini masuk, bunda lagi di dapur tuh, salim dulu sana,”
jawab Marwa, melihat Asma yang membawa bungkusan kresek.
“Kebetulan, sekalian
ambil minum, haus banget nih,”
“Ada apaan tumben
siang-siang sudah sampai sini,”
“Marwa, Asma diajari cara
pakai jilbab yang rapi dong,”
“What … Alhamdulillah,
Metaaaa …” jawab Marwa sempat histeris juga. Kak Nurma senang dan berulang kali
mengucap hamdalah.
“Aku mau ngasih kejutan
buat Kak Rayhan!Nanti aku sama Bunda bisa couplean, yeeeyy,”
Nanti sore rencana Asma akan
mengejutkan Kakak Rayhan. Asma akan datang ke kamarnya memakai jilbab putih.
Kubayangkan dia akan
terkejut gembira, memelukku. Apalagi Asma ingin Kakak Rayhan yang memberikan
ceramah pada acara tasyakuran yang insya Allah mengundang teman-teman dan
anak-anak panti yatim piatu dekat rumah kami.
"Kakak Ikhwan!! Kakak
Rayhan! Kaaak! Assalaamu’alaikum!" kuketuk pintu kamar Kakak Rayhan dengan
riang.
"Kak Rayhan belum
pulang," sahut Bunda sambil mengulek bumbu nasi goreng.
"Yaaaaa, ke mana
sih, Ma? Aku kan mau kasih kejutan buat kak Ray," keluhku, mataku seketika
melihat ke lantai, bibirku melengkung membuat kerutan cemberut.
"Kan diundang
ceramah di Bogor. Kata kak Ray tadi langsung berangkat dari kampus, sabar ya
Met..."
"Jangan-jangan
nginep, Ma. Biasanya malam Ahad kan suka nginep di rumah temannya, atau di
Masjid tuh ..."
"Insya Allah tidak.
Kan Kak Rayhan inget ada janji sama Asma hari ini," hibur Bunda menepis
gelisahku.
Kugaruk-garuk kepalaku
yang tidak gatal. Entah mengapa Asma kangen sekali dengan Kakak Rayhan.
"Eh, jilbab Asma berantakan tuh!" Bunda tertawa.
Tanganku sibuk merapikan
jilbab yang kupakai. Tersenyum pada Bunda.
***
Sudah lepas Isya. Kakak
Rayhan belum pulang juga.
"Mungkin dalam
perjalanan. Bogor kan lumayan jauh..." hibur Bunda lagi.
Detik
demi detik, menit demi menit berlalu. Sampai jam sepuluh malam, Kakak Rayhan
belum pulang juga.
"Nginap
barangkali, Ma?" duga Ayah, tangannya meraih tangan Bunda, mencoba
menenangkan.
Bunda
menggeleng lemas. "Kalau mau nginap Kakak Rayhan selalu bilang, Pa!"
***
Jarum jam terus berputar,
detik demi detik, menit demi menit berlalu. Sampai jam sepuluh malam, Kakak
Rayhan belum pulang juga.
"Nginap barangkali,
Ma?" duga Ayah, tangannya meraih tangan Bunda, mencoba menenangkan.
Bunda menggeleng lemas.
"Kalau mau nginap Kakak Rayhan selalu bilang, Pa!"
Aku menghela napas
panjang. Menguap. Ngantuk. Jilbab putih itu belum juga kulepaskan. Asma berharap
Kak Rayhan segera pulang dan melihatku memakainya.
"Kriinggg!"
telepon berdering.
Ayah mengangkat telepon.
"Halo, ya betul. Apa? Rayhan?"
"Ada apa, Pa?"
tanya Bunda cemas.
"Rayhan...,
kecelakaan..., Rumah Sakit… Islam...," suara Ayah melemah.
"Kak Rayhan!"
Air mataku tumpah. Tubuhku lemas.
Asma dan Bunda menangis
berangkulan. Jilbab kami basah.
Perjalanan menuju RSI
terasa begitu lama, Asma melihat airmata tak henti mengalir membasahi pipi
Bunda.
Ayah terlihat lebih tua
dari umurnya yang sebenarnya, dengan mata tua dan lelahnya menerawang menatap
atap mobil taruna yang dikendarai sang sopir, karyawan di kantor Ayah.
-------------
Derap langkah Asma, Bunda
dan Ayah menuju ruang IGD semakin cepat. Hingga langkahnya terhenti di luar
kamar kaca yang bertuliskan IGD, kulihat tubuh Kak Rayhan terbaring lemah. tangan,
kaki, kepalanya penuh perban. Informasi yang kudengar, sebuah truk menghantam
mobil yang dikendarai Kak Rayhan. Teman Kak Rayhan tewas seketika, sedang
kondisi Kak Rayhan kritis.
Dokter mendekat menemui
Ayah melaporkan keadaan terakhir Kak Ray.
"Dok, saya Asma, adiknya,
Dok! Izinkan saya masuk, Kakak Rayhan pasti mau lihat saya pakai jilbab
iniii!" rajuk Asma memegang ujung baju Dokter kak Ray.
Bunda dengan lebih tenang
merangkulku, "Sabar, Sayang..., sabar."
Di pojok ruangan ayah
tampak serius berbicara dengan dokter yang khusus menangani Kakak Rayhan. Wajah
mereka suram.
"Suster, Kakak
Rayhan akan hidup terus kan, suster? Dokter? Ma?" tanyaku. "Ayah, Kakak
Rayhan bisa ceramah pada syukuran Asma kan?" air mataku terus mengalir.
Tidak ada yang menjawab
pertanyaanku kecuali kebisuan dinding putih rumah sakit.
"Kakak Rayhan,
sembuh ya, Kakak, Kakak Rayhan, Asma udah jadi adik Kakak yang manis. Kakak
Rayhan," bisikku.
Tiga jam kemudian kami
masih berada di rumah sakit Islam Sekitar ruang ICU kini telah sepi, suara
jangkrik menemani pasien.
-------------
Tiga jam kemudian kami
masih berada di RSI. Didepan ruang ICU tepatnya, kini telah sepi.
“Apa yang terjadi?” ucap
Kak Ray dalam hati. Sudah bisa mendengar tetapi Kak Ray tidak bisa membuka mata
lebar lebar.hanya berupa penglihatan kabur seperti berkabut,dan akhirnya Kak
Raypun lebih memilih memejamkan mata dan tak sadar lagi.
Aku berdoa dan terus
berdoa. Ya Allah, selamatkan Kakak Rayhan..., Asma, Bunda dan Ayah butuh kakak,
umat juga."
Sadar kedua saat pagi
menjelang, di jari Kak Ray sudah terpasang alat penjepit yang tidak diketahui
namanya, alat ekg yang tersambung di dada Kak Ray, slang napas yang di masukan
ke tenggorokan Kak Ray, kaki dan tangan yag diikat ke ranjang.
Kak Ray tidak bisa
berontak karena tidak memiliki tenaga sama sekali untuk melawan. Hanya pasrah
saja. Kak Ray menyentakan tangan ke ranjang menimbulkan bunyi ‘tek ... tek ...
tek” alat pendeteksi jantung berbunyi.
Tak berapa lama para
perawat pun datang.
Kak Ray bisa mendengar,
beberapa menit kemudian Kak Ray sadar bahwa ternyata tangan kaki diikat, tak
bisa bicara, tak bisa bergerak, kedinginan. Kak Ray melakukan hal yag sama
mengetukan jempol yag dijepit alat yang tidak tau namanya ke ranjang. Hingga menimbulkan
berisik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar