TEMPAT KEMBALI
TINTA PENA & LENTERA DIKSI
KMO CLUB BATCH 37 KELOMPOK 04 & 21
Alhamdulillah,
setelah melalui serangkaian prosesi yang tidak mudah, akhirnya Antologi kami
yang berjudul Tempat Kembali dari Kelompok 04 dan 21 KMOI Batch 37 ini
dapat berhasil diterbitkan dengan baik dan sesuai waktu yang ditargetkan.
Puji syukur yang sedalam-dalamnya kami
panjatkan ke hadirat Allah Ta’ala yang telah menuntun jalan kami hingga bisa
menuju ke tahap ini. Terima kasih tak terkira juga kami ucapkan kepada Tim KMO
(Kelas Menulis Online) tanpa terkecuali yang telah menyediakan wadah bagi kami
untuk belajar dan mendalami ilmu ke penulisan dengan fasilitas materi-materi
yang luar biasa berkelas juga pematerinya yang andal. Memberikan kami
kesempatan untuk saling mengenal satu sama lain dari berbagai daerah dan suku,
mengapresiasikan diri dalam membuat sebuah karya, menyatukan beragam cerita,
dan membingkainya dalam satu buku antologi. Semoga apa yang telah KMOI dan
seluruh TIM berikan kepada kami, bisa menjadi amal jariah yang tidak akan
pernah putus.
Besar harapan kami, di ulang tahun ke-7
KMOI ini, semoga ke depan KMOI semakin maju dan terus memberikan yang terbaik
bagi anak bangsa untuk memajukan dan meramaikan dunia literasi Indonesia.
Melahirkan penulis-penulis berbakat dan berbobot yang dengan karyanya bisa
mengubah peradaban ke arah yang lebih baik sesuai pedoman KMOI.
Terakhir, semoga lahirnya buku antologi
ini bisa membuat para pembaca menemukan makna tersendiri dari setiap kisah yang
kami sajikan, menjadikannya bacaan yang bermanfaat, dan menempatkannya dalam list
buku terfavorit.
Apalah arti sebuah karya jika tidak ada
penikmatnya. Karya ini kami persembahkan untuk para penikmat goresan tinta,
pecandu rasa dalam bait-bait kata.
Sabang-Merauke,
September 2021
Memoramy
PJ
Kelompok
Bismillahirahmanirrahim.
Terucap syukur pada Allah, telah memberi kami
kemudahan dalam penyusunan antologi Tempat kembali. Buku ini kami persembahkan
untuk Allah sebagai wujud syukur, orang tua, keluarga terdekat, serta sahabat
semua yang membaca buku ini. Terima kasih yang tak terhingga kepada tim
istimewa Tinta Pena & Lentera Diksi, atas kemurahan hati, menerima kritik
dan saran dalam proses penulisan buku antologi Tempat kembali. Sebuah
perjuangan yang mengharukan sekaligus melegakan yang kami (Tinta Pena &
Lentera Diksi) tulis dengan harapan pembaca akan mendapatkan sebuah pelajaran
dari tulisan kami ini.
Terima kasih juga kepada teman-teman tim antologi
dan tim editor, karena telah bekerja begitu keras dalam proyek ini. Dan kepada
kak Nur Afiah dan Kak Amy Darmi, PJ luar biasa kita, dan kakak-kakak terbaik
yang selalu memberikan kami bimbingan dan dukungan.
Tidak
lupa kami haturkan terima kasih untuk keluarga kami, ayah, ibu, adik, kakak,
suami, anak, dan juga sahabat yang jauh di mata tapi dekat di hati, yang selalu
memberikan dukungan, motivasi, doa, dan kesempatan kepada kami untuk menulis
dan menghasilkan sebuah karya bersama.
Beragam
kisah menarik tentang perjuangan melawan rasa menjadi beban dalam keluarga,
keadaan hampir putus asa kemudian berhasil bangkit lagi. Memilih antara
menyerah atau berjuang lebih keras lagi. Perubahan menjadi pribadi yang baru
dan bermanfaat. Semuanya terangkum dalam buku antologi Tempat kembali.
Harapannya buku ini bisa mengobati luka, serta membuatmu tetap tangguh dalam
menghadapi setiap patah. Percayalah selalu ada kemudahan dibalik ujian yang
kita terima. Seperti kata yang sering kita dengar, badai pasti berlalu.
Akhirnya, kami Tinta Pena & Lentera Diksi memohon maaf apabila terdapat
tulisan yang kurang berkenan, menyinggung, atau tidak sesuai dengan ekspektasi
di hati pembaca. Salam pejuang literasi, dari kami Tinta Pena & Lentera
Diksi.
Salam hangat,
Rr Syarifah
Haniáh
DAFTAR ISI
Beban menjadi kebanggaan keluarga
Perjuangan menjadi yang terbaik
Pada Mereka Kulabuhkan
Segala Rasa
Bersama Kesulitan datang pula
kemudahan
Bab 1.
Kun Marátussalihah
Saat
becermin, Aku melihat sesosok tubuh sedang dengan bobot ideal, Wajah biasa
saja, tidak kusam juga tidak tidak bercahaya, dengan sedikit noda-noda hitam di
wajah. Memandang wajah, membuat Aku mengingat, beginilah wajah Ibu saat
seusiaku. Memandang wajah Ibu saat ini, membuatku berpikir seperti inilah
wajahku 25 tahun lagi, jika diberi umur panjang, mulai kusut dan keriput,
tangannya mulai dipenuhi dengan kerutan. Ibu berperawakan kurus dan kecil.
Namaku
adalah Aisyah. Aku dilahirkan di sebuah desa yang sangat jauh dari jangkauan
kota, sebuah desa di Kabupaten Cilacap. Qadarullah, Aku dilahirkan di
keluarga biasa. Ibu dahulu punya sawah warisan dan abahku PNS di instansi
kantor layanan masyarakat.
Bagiku, Ibu adalah pahlawan keluarga yang memberi jasa terbesar dalam hidupku. Bagaimana tidak? Ibu melakukan
banyak hal yang luar biasa dikehidupan
yang penuh rintangan ini. Keringat dan darahnya seolah terkuras
didedikasikan untuk keluarga.
Abahku adalah PNS yang disiplin berangkat
pagi, pulang menjelang sore. Sehingga urusan anak dan rumah, Ibu yang
mengerjakan sendiri. Aku memiliki empat saudara kandung, semua laki-laki.
Meskipun Ibu memiliki sawah warisan dari kakek, namun penghasilann Ibu hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari,
karena banyak tenaga
yang harus dibayar untuk mengelola sawah warisan kakek. Untuk makan sehari-hari saja sering mengandalkan hasil dari kebun, ada kethewel
(Nangka muda), daun lumbu dimasak bumbu kuning, cakra cikri untuk
kluban/pecel. Ibu bercerita sambil mengingat masa kecil kami. Aku sendiri tidak
membayangkan Kakak yang pertama denganku
si bontot hanya selisih 7 tahun, itu artinya hampir tiap tahun Ibu melahirkan.
Keributan antara Kakak Adik mewarnai kehidupan
kami, berebut mainan, atau keinginan yang berbeda dan beruntun, membuat Ibu
sering dibuat pusing dengan ulah kami. Dahulu Aku merasa diperlakukan tidak adil, dan tidak
berharga karena perempuan sendiri yang diajarkan untuk selalu mengalah, Kakak
adalah habib al atas dan Aku hanyalah seorang Syarifah yang keturunanku kelak
mengikuti nasab suamiku. Bahkan pernah merasa hanya sebagai beban bagi kakak,
sebab jika bepergian dengan kakak, Ibu akan selalu menitipkan Aku untuk
diawasi. Kakak selalu marah, karena merasa terganggu dan tidak bebas.
Dahulu meski Ibu punya
sawah, namun karena Abah mendapat jatah beras bulog, maka Ibu menggunakan beras
jatah bulog untuk dikonsumsi sehari-hari, beras yang sering bau, kutuan, itulah
beras jatah dari pemerintah. Sampai akhirnya sawah dijual saatku MA, karena
keinginan Ibu untuk naik haji.
Ibu selalu mengajarkan kami agar selalu hidup
tegar. Ibu hanya tamat SMP karena mbah meminta Ibu untuk mondok di
pesantren ketika masih kecil. Walaupun begitu, Ibu ingin agar anak-anaknya
memiliki nasib yang lebih baik darinya. Ibu berpesan, apapun yang terjadi, kami
harus menuntut ilmu setingginya. Bukan harta yang Ibu wariskan namun ilmu. Pesan
itu selalu kami ingat dalam ingatan kami, dan akan Aku teruskan untuk
anak-anakku.
Masalah
demi masalah menghampiri hidupku, selama kuliah, bahkan semasa Wiyata bakti
guru, kadang salah paham dan kadang berbuat salah dengan guru lain, membuatku
makin memperbanyak stok sabar, sampai kini tingkat toleransiku terhadap teman
makin besar, dengan memperkecil melakukan perbuatan yang kurang disukai teman
dan saat teman berbuat salah terhadapku, Aku hanya tersenyum dan memaafkan,
kadang perbuatan mereka tak mampu lagi melukai hatiku, karena Aku sudah
menerima sifat baik dan buruknya mereka, apapun yang mereka lakukan Aku
menerima dengan tangan terbuka. Diam dan memberi waktu untuk saling introspeksi
dan tetap tersenyum menyapa, itulah yang kini Aku lakukan.
Entahlah.
Namun jika Aku pikir ulang, ini adalah hasil didikan Ibu padaku si bontot
perempuan sendiri yang dari kecil dibiasakan untuk mengalah pada Kakak, dan
didikan untuk mandiri.
Saat ini,
berkat kesabaran, keteguhan, serta semangat dalam menjalani hidup yang
ditanamkan oleh Ibu telah membuahkan hasil. Kami terbiasa berada dalam
kesulitan, dan terbiasa untuk memecahkan masalah, hal itu memberi pelajaran
yang sangat berharga untuk kami menjalani hidup ini.
Dengan
penuh kegigihan, abangku yang pertama memang tidak mau kuliah, hanya mengambil
kursus administrasi perkantoran yang akhirnya kini berprofesi sebagai penjahit.
Namun Kakak yang kedua sampai Aku yang kelima alhamdulillah dapat kuliah dan
kini telah mendapatkan pekerjaan. Kakak
kedua di instansi PDAM, Kakak ketiga berprofesi sebagai Kepala SMP Swasta,
Kakak keempat kerja di salah satu perusahaan maintenance terkenal dengan posisi
pimpinan kantor cabang, Alhamdulillah Aku mengikuti jejak Abah berprofesi
sebagai PNS. Pernah suatu kali merasa iri dengan teman-teman yang mempunyai
Kakak yang sangat perhatian, memenuhi segala kebutuhannya, namun segera ku
pupus agar makin tak kecewa, dan Aku hanya berharap pada Allah Azza Wajalla
saja, hanya padaNya saja tempatku meminta.
Ibu selalu
berpesan, “Kun Marátussalihah, Jadilah perempuan yang salihah.” Pesan
itu akan selalu kuingat, apalagi saat diri merasa lelah. Doa Ibu di setiap
Salat wajib dan sepertiga malam telah didengar oleh Allah 'Azza wajalla,
hingga tembus langit ketujuh. Meski kini Aku belum bisa membahagiakan secara
finansial, Suatu saat Aku bisa membalas semua kebaikan Ibu.
Bab 2
Shadow
Oleh:
Junah
Haruskah tidak bertemu dengan setiap cahaya. Karena
kelam itu menjadi bayangan yang tiap ada secercah cahaya kembali datang.
Perkenalkan, namaku Yenny
usiaku dua puluh delapan tahun, saat ini menjadi single fighter. Bersama satu-satunya putra kesayangan yang bernama
Yudho. Keadaan Yudho yang berbeda dengan anak lainnya mengharuskan fokus
terhadap tumbuh kembangnya, kondisi semenjak lahir mengidap penyakit khusus
membuatku menjadi fighter yang semakin tangguh lagi.
Ayahnya Yudho
meninggalkan kami, ketika mengetahui bahwa Yudho tidaklah sempurna. Tepatnya di
hari kelahiran Yudho, sungguh ironis nasibku. Tak ada terlintas mengejar agar
dia bisa bertanggung jawab terhadap darah dagingnya. Masih terasa sakitnya
melahirkan secara sesar, terasa lebih menyakitkan saat suami yang harusnya
melindungi dan membuat semakin tegar tetapi dengan teganya dia mengucapkan
talak. Biarlah aku "mampu" saat dia lebih memilih wanita lain.
Keluarga juga sangat
terpukul melihat dia seperti itu. Tidak mau menerima keadaan anak kandungnya
yang terlahir tidak sempurna. Malah lari dari kenyataan dan lebih memilih
kesenangan pribadi bersama wanita lain. Paman yang geram terhadap ulahnya,
sampai-sampai memukul keras wajahnya. Terjadilah perkelahian yang tidak bisa
dihindarkan. Walau bersikeras, tetap tidak mengubah keputusannya. Akhirnya kami
semua lelah dan membiarkannya pergi, sambil mendoakan akan ada waktunya dia
kembali mencari anak kandung yang istimewa ini.
Tuhan maha segalaNya,
walau ada tamparan keras dalam hidupku tetapi Tuhan pun memberikan sesuatu yang
lebih indah lagi yakni arti keluarga yang sesungguhnya. Dengan kelahiran Yudho
yang istimewa ini, menjadikan keluarga kami semakin perhatian dan semakin
kompak. Jadi, aku tahu mana saja di antara kami yang berperilaku baik atau
pura-pura baik. Kedua orang tua sangat menerima keadaan Yudho, perhatian mereka
melebihi kasih sayang anak-anaknya. Begitu juga kakak dan adikku, mereka juga
menyayangi Yudho melebihi segalanya. Aku sangat bersyukur memiliki keluarga
yang sangat menyanyangiku dan selalu mendukung tanpa pamrih. Sosok ayah yang
Yudho butuhkan, didapat dari kakek dan kakakku. Mereka memberikan kasih sayang
Yudho layaknya seperti anak sendiri.
Sejak kata talak itu
terucap tidak pernah hadir kembali di antara kami. Yang harusnya dia memberikan
kewajiban menafkahi anaknya pun tidak pernah didapatkan. Jadi, Yudho
benar-benar sudah dibuang oleh ayah kandungnya sendiri. Bila diingat bayangan
kejadian itu. yang ada hanya rasa sakit mendalam saja. Hancur yang
berkeping-keping atas perilakunya yang kejam terhadap anakku.
Berjalannya waktu,
saat ini Yudho berumur lima tahun, hari ini pertama kali membawa Yudho ke
tempat sanggar lukisnya. Walau berkebutuhan khusus, tapi bakat melukis Yudho
sudah terlihat semenjak dia berumur dua tahun. Tiap harinya hanya meminta kuas
lukisnya untuk dipegang. Kami bersyukur dengan kelebihan yang Tuhan berikan
kepada Yudho.
Kemampuan melukisnya
sungguh luar biasa, walau masih balita sudah bisa melukis objek yang ada di
sekelilingnya dengan sempurna dan bahkan benda-benda konkret yang ada dibenaknya
juga terlukis di kanvas menjadi semakin indah. Karena memang sudah bakatnya,
jadi kata-kata yang tidak pernah aku dengar dari mulutnya tertuang semua dari
lukisannya.
Keadaan Yudho tidak
bisa mendengar, berbicara dan juga bagian organ gerak bawah terbatas tidak bisa
berjalan seperti anak lainnya. Tatapan mata anak yang tak berdosa, benar-benar
jernih dan suci. Dia sering menartapku, mengisyratkan rasa terima kasih sudah
bersamanya dan memancarkan rasa sayang yang terdalam dari hatinya. Terlebih aku
ibu kandungnya, sangat menyanyanginya. Seandainya aku sama-sama bersikap
membuang Yudho pada saat itu, maka akan terjadi penyesalan seumur hidupku.
Yudho banyak
menghabiskan waktu duduk di atas kursi roda kecil, sambil melukis diteras depan
rumah. Terlihat beberapa anak tetangga yang seumuran bermain bersama
teman-teman lainnya. Mereka saling berlari-larian, mengobrol, berteriak dan
lainnya. Tapi Yudho yang sedang asyik melukis tidak menghiraukannya, Yudho
lebih menikmati kegiatan melukisnya, sesekali terdiam tersenyum melihat
anak-anak tersebut saling bermain.
Ada banyak lukisan karya Yudho di rumah kami,
pada suatu saat ada saudara melihat bakat anakku Mengajak untuk bisa
menampilkan beberapa hasil karya terbaik Yudho diacara tingkat kota. Karena
memang hasil lukisan sangat bagus, akhirnya tahun kemarin Yudho (tepat empat
tahun usianya), membuka pojok galeri di acara ulang tahun Pemkot (pemerintah
kota).
Bermula dari acara
tersebut Yudho menjadi semakin menyenangi bakat melukis. Kami asah bakatnya
dengan memasukannya ke sanggar lukis sesuai arahan dari bapak Wali kota. Para
donator juga berdatangan, memberikan perhatian khusus terhadap bakat melukis
dan keterbatasan fisik Yudho.Hasil lukisan Yudho juga terjual dengan harga
tinggi, jadi dapat menopang kehidupan kami sehari-hari.
Setelah Yudho tampil
menjadi terkenal karena bakatnya, ayahnya hadir kembali mengakui bahwa dia
adalah darah dagingnya. Pada awalnya aku merasa bahagia akhirnya Yudho diakui
oleh ayah kandungnya sendiri. Namun dalam bathinku ‘akankah ini hanya bersifat
semu’
Setelah beberapa lama
kami bersatu kembali, terlihat bahwa keputusan ayahnya kembali bersama kami
bukan dari hatinya tapi karena ingin memiliki banyak hal dari usaha atau
kemampuan anaknya yang dibuangnya dahulu. Jadi memanfaatkan kelebihan Yudho
agar bisa membeli apa yang diinginkan ayahnya.
Ketika tahu hal
tersebut, aku kali ini yang bertindak tegas agar menjauhi ayahnya. Kasian Yudho
bukan kasih sayang tulus yang didapat melainkan hanya menjadi sepi perah bagi
ayahnya. Sebelumnya bayangan kelam yang sudah mulai hilang, kini kembali
terbentuk menjadi bayangan yang makin besar membayangi betapa kelam hatinya
sedari dahulu.
Akhirnya sekarang aku
dan Yudho telah menutup rapat terhadapnya. Tidak lagi terbuai oleh ucapan
manisnya. Dia seperti bayangan, yang tetaplah hanya bayangan. Kami ingin hidup
tanpa bayangan itu, hidup bersama terang di mana-mana. Tanpa sedikitpun
berharap bayangan kelam itu datang lagi.
Bab 3
Beban
menjadi kebanggaan keluarga
Oleh: Salman.M.S.A
Dalam setiap keluarga pasti
masing-masing orang memiliki keunikan dalam mengekspresikan ceritanya melalui
sebuah tulisan hingga menjadi sebuah buku. Dalam mengisahkan keluarga, tentunya ada
sebuah kebahagiaan maupun kesedihan hingga membuat kita harus derana.
Setiap cerita yang kita
tuangkan, tentunya juga memiliki pelajaran yang begitu berharga. Apalagi
persoalan keluarga. Seperti seorang pemuda yang bernama zaky. Zaky adalah orang
yang dulunya membebani setiap langkah orang tuanya, kini menjadi seorang yang
sukses dan menjadi kebangaan orang tuanya.
Seorang yang berasal dari kota manado. Kota
yang diidentik dengan berbagai macam tempat-tempat sejarah dan juga
memiliki keindahan alam yang begit terkenal di Indonesia. Zaky terlahir dari
keluarga kecil yang sederhana. Di rumah, hanya tinggal berempat yaitu Ayah, Ibu, Zaky dan
juga adiknya. Dalam keluarga, mereka memiliki karakter yang berbeda-beda. Ayah
seorang yang cepat marah tapi bertanggung jawab dan adil dalam membagikan rasa
kasih sayangnya. Ibu yang cerewet dalam mengatur tapi pengasih dan pemaaf
kepada anak-anaknya. Adik yang sedikit childish dan sedikit bandel.
Sedangkan Zaky seorang yang tegas tapi pintar dari bidang akademik.
Begitulah seorang zaky yang
malas ketika bangun tidur. Bahkan di masa pandemi seperti ini, kemalasan zaky
semakin bertambah. Apakah ini salah situasi yang menyebabkan bertambahnya
kemalasan atau kemalangan dari seorang zaky yang tak mau belajar demi meraih
masa depan yang cerah? Ibu dan ayahnya selalu protes akan nilai ujiannya. Setiap
kali menerima hasil raport nilai, hasilnya tidak memuaskan. Melaink nilainya
disuruh untuk dibalas. Supaya bisa naik ke kelas berikutnya. Dengan terpaksa,
ibunya harus membayar itu semua.
Kegiatan makan malam yang
mereka lakukan, ayah mengambil kesepatan untuk memberi nasihat kepada Zaky.
“Zaky?," sapa ayahnya yang penuh perhatian
“Ya Ayah?”
“Sebenarnya Ayah mau tanya, kamu
sebenarnya punya niat nggak untuk belajar?"
Tanya ayah, "Akhir-akhir ini Ayah selalu memperhatikan tingkah lakumu yang tak pernah
berubah. Sebenarnya apa yang kamu inginkan?”
Lanjutnya sambil bertanya.
“Aku punya niat, Yah. Cuma aku
malas disuruh untuk belajar daring . Apalagi sering mendapatkan tugas banyak,
jadi terpaksa aku tak mau membaca isi pesan dari tiap grup kelas.” jawab Zaky.
Mendengar ucapan Zaky, Ayahnya mendekati sambil menyapu kepalanya dan
perlahan-lahan berkata dengan lemah lembut, “ Ingat ayah selalu bayar loh
nilaimu yang tak memuaskan itu. Bahkan ingin Ayah robek kertas itu. Mau, ya, berubah? Demi masa depan kamu kok! Kalau
terus-terusan kamu malas, Ayah akan masukkan kamu ke pondok pesantren.” Zaky hanya bisa mengangguk paham.
Keesokan harinya, Zaky bangun duluan dari Ibu dan ayahnya. Zaky
dengan semangat pagi, langsung bersih diri dan membantu pekerjaan rumah. Mengetahui
apa yang dilakukan Zaky, dalam hati Ibunya merasakan sebuah kebahagiaan yang melihat Zaky berubah dan suka membantu kepada Ibunya sendiri. Sisi lain, Zaky juga mengikuti lomba Q-fest yang diadakan oleh
Mahasiswa ilmu Al Qur’an dan Tafsir. Lomba yang diikuti oleh Zaky adalah lomba cipta baca puisi islami yang
tinggal beberapa hari lagi akan segera dimulai. Yah tentunya, untuk berhadapan
dilomba nanti, membutuhkan kesiapan yang cukup banyak, tapi Zaky dengan tenangnya mengatakan kepada dirinya
sendiri sambil mengadah ke langit, “pasti saya bisa”.
Melihat akan hal itu, teman Zaky bernama Felix heran melihat tingkah si Zaky yang duduk di teras rumah sambil berbicara ke
langit. Sangking penasaran, Felix menghampiri Zaky dan menanyakan keanehannya. Zaky merespons
dengan memberitahu alasannya..
Menjelang beberapa hari
kemudian, acara sudah di depan mata
Zaky. Karena, persiapan Zaky yang sudah matang, tentunya bagi Zaky adalah hal yang
biasa-biasa saja. Sebelum dia pergi, dia meminta kepada Ibunya, sebuah penyemangatan
“Kamu pasti bisa kok.
Alhamdulillah Ibu bersyukur, melihat tingkah kamu yang akhir-akhir sangat baik
dari sebelumnya. Ibu dan Ayah bangga kepadamu. Semoga perilaku seperti ini,
harus lebih di update terus menerus, ya?” ujar Ibu sambil mengusap kepala Zaky
“Bismillah, siap Bu. Insya
Allah, perkataan ibu akan aku simpan terus menerus. Sampai ia menjadi darah daging
untuk memotivasikan diri sendiri. Kalau begitu aku mau pamit bu. Acaranya udah
mau mulai.”
“Oh, ya, Nak. Hati-hati di jalan.”
“Siap Bu. Assalamu’alaykum.”
“Wa’alaykumussalam
Warahmatullah wabarakatuh”
Sesampai di kampus, melihat di
deretan samping pangung banyak sekali peserta yang ikut, tetapi itu tidak
membuat Zaky merasa gugup atau merasa tak pantas. Dia tetap
memberanikan dirinya. Bagi Zaky, hasil yang murni berawal
dari proses yang kuat. Ketika acara dimulai, semua peserta disuruh untuk mengambil
nomor undian dan mencari duduk yang sudah di sediakan oleh panitia berdasarkan
nomor undiannya. Para peserta segera menuju tempat pengambilan nomor undian.
Zaky mendapatkan nomor 12 dari 20 peserta cipta baca puisi. satu persatu tampil
dengan sangat keren bahkan intonasi sangatkan tepat. Akhirnya sampai pada nomor
peserta 12 yaitu Zaky.
“Bismillah pasti saya bisa,”
ujar Zaky sambil mengepal tangannya.
Setelah berdiri di atas
pangung, Zaky memulai puisinya. Semua
tamu undangan dan juga para peserta, hening begitu saja melihat zaky
menampilkan cipta baca puisinya. Penghayatan yang pas, intonasi yang begiu
teratur, dan volume suara yang begitu rapi.
Selesai Zaky menampilkan puisinya, semua orang berdiri dan
menepuk tangan kepada Zaky. Siapa yang mengira, bahwa
usaha tidak akan mengecewakan hasil. Setelah selesai semua peserta menampilkan
cipta baca puisinya, maka semua para juri merapatkan hasil dari semua peserta
yang hebat-hebat semua. Para juri kebingungan siapa yang akan mendapatkan juara
nanti.
Maka selesai dari rapat juri,
akhirnya pengumuman juara lomba, segera dimulai.
“Baiklah, disampaikan para
peserta agar duduk kembali ke kursi berdasarkan nomornya. Baik, sebelum saya
membaca hasil kesepakatan juri dan juga berdasarkan analisis dari juri, maka kami
berharap teman-teman yang agar memasang dada kalian, untuk mensyukuri dan
mengikhlaskan.” Ujar Panitia
“oke saya mulai dari juara 3
ya. Juara 3 adalah ... selamat kepada saudari Salsabila dengan nilai 220.
Peserta juara 2, selamat kepada taufiq hidayah dengan nilai 233, dan yang
terakhir... waah pada tegang ya? Hehehe.”
Terdengar dari kejauhan asal
suara pengumuman juara, akhirnya Ibu, Ayah, dan Adik ikut merasakan ketegangan
bersama para peserta dan tamu undangan. Zaky melihat keluarganya hadir, merasakan
kebahagiaan yang luar biasa. Ibu dari kejauhan mengepalkan tangannya, dan
mengerakkan bibirnya, dengan berkata “kamu pasti bisa!”.
“okeh teman-teman, juara 1 di
raih oleh saudara zaky dengan nilai 250.”
Ibu, ayah dan adik mendengarnya
merasa terharu, tersenyum hingga menetaskan air mata kebahagiaan. Zaky dari kejauhan merasakan kebahagiaan yang luar
biasa. Setelah menaiki panggung dan disuruh untuk menyampaikan kebanggan yang
luar biasa, “Aku begini, karena ibu dan ayahku. Ibu adalah penyinaran bagi kehidupanku
sedangkan ayahku, adalah pahlawan yang melindungi cahaya tersebut agar tidak
dipengaruhi oleh hal yang membuat penyinaran itu redup. Terima kasih Ibu dan
Ayah, aku bangga kepada kalian,” ujar Zaky sambil menyeka air mata di
pipinya. Selanjutnya adalah sambutan dari Gubernur yang memberikan apresiasi
kepada Zaky sebagai pemenang beasiswa.
Mendengar akan hak itu semua
terharu dan ibu merasakan kesyukuran yang luar biasa. Siapa yang mengira
awalnya hanya menjadi beban orang tua, kini menjadi kebanggaan yang luar biasa.
Bab 4
Keluarga
Satria
Oleh Samin
Farizky
Keluarga adalah sebuah organisasi
terkecil di dunia, yang terdiri dari seorang suami, istri, dan anak-anak.
Disebut organisasi karena terdiri dari orang-orang dan aturan yang harus
dipatuhi. Setiap keluarga mempunyai tujuan masing-masing, tetapi kebanyakan
tujuan adalah keluarga yang bahagia. Menurut Islam keluarga bahagia adalah
keluarga yang sakinah mawadah warohmah. Artinya keluarga yang tenang, penuh
cinta dan kasih sayang. Intinya adalah mendapat rida Allah SWT. Dari pernikahan yang dibangun atas dasar
cinta maka akan terwujud keluarga sakinah mawadah warohmah. Seperti keluarga
Fatimah Ra dengan Ali bin Abi Thalib Ra, Keluarga Nabi Yusuf AS dengan Zulaikha
atau keluarga Nabi Muhammad Saw dengan Khadijah Ra.
Salah satunya keluargaku. Nama
lengkapku Satria Muhammad Ihsan. Dalam keluarga besar, menjadi panutan dalam
segala hal, terlebih dalam hal agama. Dibanggakan karena terkenal sebagai
seorang Ustaz yang biasa mengisi pengajian, khotbah-khotbah, dan acara peringatan hari besar Islam lainnya. Diandalkan pula untuk
menyelesaikan segala masalah, termasuk masalah keuangan. Sebagai kepala
keluarga dari sebuah keluarga kecil yang baru terbentuk, atas pernikahan dengan
gadis pilihanku dan mendapat rida kedua orang tua. Ya, gadis yang beruntung itu
bernama Cahaya Suci, panggilannya Cahya. Aku dan Cahya membangun keluarga atas
dasar cinta. Aku bekerja sebagai seorang
Wiraswasta, sedangkan Cahya sebagai seorang guru SDI. Selain sebagai
wiraswasta, juga aktif sebagai imam masjid dekat rumah. Masjid An-Nur namanya.
Kalau di Masjid, aku di panggil Pak Ustaz Satria. Kami menempati rumah petak,
yang di kontrak dengan membayar tahunan. Kami belum memiliki rumah sendiri.
Jarak rumah dengan tempat Cahya mengajar hanya berjarak 500 meter, sementara
jarak rumah kami dengan Masjid An-Nuur berjarak sekitar 100 meter..
Saat
waktu zuhur tiba, toko ditutup untuk salat berjamaah. Setelah salat menjemput
Cahya di sekolah. Kemudian makan siang bersama di rumah. Cahya jarang masak,
karena tidak sempat, kami senantiasa membeli lauk-pauk matang di warung. Selain memang jarang masak, kami berniat
membantu tetangga yang berjualan lauk-pauk matang.
Kemudian
kami makan siang bersama. Kami asik menikmati makan siang dengan percakapan
kecil diantara kami. Jampun menunjukkan pukul 13.30 WIB saatnya aku kembali ke
toko laundry. Seperti biasa kalau waktu zuhur tertulis di pintu toko sedang
isoman (istirahat, solat, makan). Para pelanggan sudah hafal jam buka-tutup
toko. Segera aku berpamitan kepada Cahya untuk kembali ke toko.
Terik
matahari yang lumayan panas, mengantarku ke tempat usaha, disertai hembusan
angin yang membuat pepohonan menari-nari mengiringi perjalann. Tak berapa lama pergi, datanglah seorang ibu
setengah baya. Setelah dibukakan pintu dan dipersilahkan masuk serta duduk.
Kemudian Istriku menanyakan maksud dan tujuan ibu tersebut. “Begini Nak, saya
Ibu Haryati yang tinggal di dekat masjid. Tujuan datang kemari hendak meminta
tolong meminjam uang,” ucapnya penuh harap. Dia menceritakan permasalahan yang
dialaminya dan akibat yang akan diterima.
Cahya
menghubungiku, menceritakan apa yang terjadi di rumah dan mohon jawaban. Aku
berpikir keras bagaimana caranya membantu wanita itu, bahkan kini diriku juga
sedang membutuhkan uang. Aku yang menjadi kebanggaan keluarga dan harapan dari
masyarakat tidak mau jika sampai keluarga mendengar jika aku yang menjadi
kebanggaanya malah membiarkan seseorang kesusahan di depan mata. Akhirnya
dengan ikhlas memberikan pinjaman dengan menggunakan uang tabungan. Awalnya
Cahya tidak setuju saat kuberitahu, dia merasa tidak seharusnya aku melakukan
itu ditengah kepayahan kami. Namun, akhirnya dia luluh dan setuju juga setelah
beberapa nasihat dan kuingatkan tentang ceramah yang sering kudengar.
“Alhamdulilah,”
ucapku.
Aku
merasakan lega dada ini, nafas lancar dan degup jantug normal. Semua organ
tubuh terasa normal. Ya, karena telah mampu menjadi seorang yang bermanfaat
untuk orang lain. Keadaan toko setelah itu menjadi ramai pelanggan, ada yang
menaruh dan mengambil. Dalam melayani selalu kutebarkan senyum dan kata-kata
yang memuji, sehingga pelanggan merasa senang dan terhormat.
“Allahu
akbar ... Allahu akbar,” suara muazin masjid An-Nur mengumandangkan azan asar,
kubereskan toko dan menutupnya kemudian bergegas ke masjid. Setelah salat
kubuka kembali toko. Toko tutup jam 17.00 WIB. Jeda waktu satu jam biasa ramai
pelanggan. Saat sedang membereskan pakaian, datang seorang wanita paruh baya,
dia merupakan pelangganku. Tak kusangka ternyata dia memberikan 10 lembar uang
ratusan. Aku masih bingung dan tak percaya atas apa yang kuterima. Wanita
tersebut menceritakan bahwa dia sangat berterima kasih, karena aku telah
mengembalikan cincin emas pernikahan dan kartu atm miliknya yang terbawa saat
akan di laundry. Setelah wanita tersebut pamit, kuberucap memuji Allah SWT dan
merenung, “Ya Allah, betapa cepatnya Engkau balas perbuatan hamba, Kau berikan
balasan seratus persen, aku membantu wanita di rumah, lalu Kau datangkan wanita
lain untuk mengantar balasan kebaikan, terima kasih ya Allah,” renungku dalam
hati.
Jam
menunjukkan pukul 17.00 WIB lebih tiga menit. Aku membereskan toko dan
menutupnya. Lalu pulang penuh kegembiraan, diiringi hembusan angin sore aku
kembali ke rumah. Mentari dan rembulan akan bertukar peran, sebelum azan magrib
berkumandang aku telah sampai dirumah. Cahya menyambut dengan senyumnya yang
termanis, yang sering di hadirkan untukku, kubalas senyumnya dengan senyum
pula.
“Assalamu’alaikum,”
ucapku.
“Wa’alaikumussalam
warohmatullahi wabarokatuh,” jawab Cahya lengkap.
Setelah
membukakan pintu dan mencium punggung jemariku, kami beranjak ke dalam. Cahya
telah menyiapkan air putih dan perlengkapan mandi. Setelah istirahat dan
berbincang kecil dengan Cahya, aku mandi. Saat azan magrib berkumandang aku
pamit untuk mengimami jemaah masjid
An-Nur. Aku baru kembali setelah isya.
Jam menunjukkan pukul 21.00 WIB,
kami bergegas ke peraduan untuk istirahat. Sebelum tidur kami biasakan bersiwak
dan berwudu, kemudian sebelum memejamkan mata kami membaca surat al-ikhlas,
istighfar, doa kaum muslimin dan sholawat Nabi masing-masing tiga kali, barulah
membaca do’a tidur. Lampu kamar kami matikan, karena begitulah Rasulullah Saw
mengajarkan.
Bab 5
Beban Orang
Tua
Rosikhatul Baroroh
Beban keluarga, baru terlintas kata itu setelah
lulus sekolah. Ketika kita sedang berproses bagaimana susahnya masuk kerja,
bagaimana susahnya masuk PTN, bagaimana susahnya berpikir agar setelah lulus
nanti kita tidak mengganggur dan jadi beban keluarga.
Dari situ aku berusaha untuk memperjuangkan agar
bisa masuk PTN dan akhirnya gagal, temanku selalu mendukungku dan memberi
semangat dengan kata, "Banyak Jalan Menuju Roma." Sambil menunggu
pendaftaran Perguruan Tinggi Swasta dibuka, aku berusaha untuk melengkapi
berkas-berkas persyaratan untuk melamar kerja nanti. Aku pergi kesana kemari
untuk mendapatkan surat-surat itu dan semua itu dilaksanakan ketika libur Ujian
Nasional. Lelah, letih, dan antrian yang panjang ku nikmati agar kelak aku bisa
bercerita pengalamanku kepada teman-teman yang mungkin setelah lulus sekolah
juga ingin bekerja.
Setelah semua berkas lamaran kerja lengkap dan
mencoba melamar pekerjaan, tetapi belum dapat juga. Tidak menyerah itu
kuncinya. Minggu depan aku mencoba lagi, gagal lagi, mencoba lagi, dan gagal
lagi. Hingga akhirnya pendaftaran Perguruan Tinggi Swasta pun dibuka. Aku langsung
daftar jalur bantuan Bidikmisi. Sambil menunggu pengumuman aku masih berusaha
untuk melamar pekerjaan hingga pada akhirnya Tuhan memberi rezeki, aku diterima
disebuah Perusahaan menjadi Pelayan Supermarket dan dua minggu lagi aku akan
training di Perusahaan itu.
Namun, ketika pulang dari selepas melamar kerja,
dikejutkan kabar gembira lagi. Aku diterima di Perguruan Tinggi Swasta
tersebut, Masya Allah betapa senang dan terharunya aku dihari itu. Rasa bimbang
dan bingung harus melanjutkan yang mana.
Pada akhirnya
lebih memutuskan untuk memilih lanjut di Perguruan Tinggi Swasta tersebut,
karena aku pikir ini kesempatan emas yang tidak akan datang dua kali, untuk
pekerjaan aku bisa cari di tempat lain lagi. Aku urus semua berkas-berkas yang
belum lengkap. Tidak ku sangka bisa kuliah tanpa uang Orang tua.
Setelah
masuk kuliah, aku mencoba ikut organisasi yang ada sangkut pautnya dengan alam.
Setiap hari menjalani dunia perkuliahan sampai akhirnya UTS dan UAS selesai aku jalani. Nah, ini peluang lagi
untukku agar bisa melamar kerja, aku mencoba melamar kerja kesana kemari, belum
dapat kerjaan juga lalu aku terus mencoba lagi dan akhirnya aku menemukan link
lowongan kerja yang hanya sementara, ini cocok untukku. Aku daftar dan akhirnya
di terima, bisa datang langsung untuk tes di sana. Aku lulus dan mulai bekerja.
Aku
bekerja di yang lumayan cukup besar di daerah Tangerang, pabrik kosmetik dan
gajinya pun lumayan. Aku bisa memberi sebagian gajiku untuk kedua Orang tua dan
keponakan-keponakan ku yang lumayan banyak. Aku nyaman di Perusahaan tersebut
sampai akhirnya Organisasi di kampus mengharuskan aku untuk selalu ada di sana
karena akan mengadakan suatu acara di Bogor (kegiatan alam). Aku bisa
menjalaninya, aku menginap di kampus. Pagi-pagi mandi di kampus dan langsung
pergi kerja, pulangnya lagi aku ke sekretariat untuk diskusi tentang acara
nanti, itulah Kegiatan selama seminggu ini, dan hanya bisa bertahan satu
Minggu. Aku diharuskan ikut ke Bogor, sedih karena dengan sangat terpaksa aku
harus berhenti dari pekerjaan tersebut. Itulah konsekuensinya bagaimana kita
harus mengatur waktu sebaik mungkin antara kuliah, organisasi dan perkerjaan
belum lagi waktu bersama keluarga.
Aku memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan tersebut
dan melanjutkan organisasi. Hingga akhirnya perkuliahan berlanjut lagi, aku
naik tingkat menjadi semester dua, hari-hari terus kujalani hingga pada
akhirnya Indonesia mulai terserang virus yang namanya virus Corona, biasa
dijuluki pandemi Covid-19.
Akhirnya semua pendidikan dan perkuliahan terpaksa
dirumahkan, belajar via online. Aku tinggal di rumah, karena sebelumnya waktu
kuliah offline aku tinggal di kost-an. Nah, ketika online juga aku ada peluang
lagi, karena kuliah hanya 4 hari, dan 3 harinya aku bisa untuk bekerja dan bisa
memberi rezeki kepada kedua Orang tua ku.
Kerja
menjadi Pelayan toko dengan gaji perminggu. Lumayan untuk jajan hehe... Aku
kuliah sambil kerja dan bisa bantu keluarga ku di rumah. Ada faedahnya juga
belajar via online, aku bisa memaksimalkan waktu di rumah. Kakak-kakak ku
bangga, aku tidak menyusahkan orang tua dan bisa membahagiakan mereka sedikit
demi sedikit, selama di rumah aku punya banyak sekali waktu untuk bisa
berkumpul bersama keluarga. Tamat
Bab 6
Mama’s
Wonderful Child
Rofianti devi
Diriku di umur tujuh tahun akan
bertanya, “Apa Lulu beneran berat?” dengan mata berkaca-kaca menahan
tangis dan rasa sesak di dada. Bibirku akan bergetar kemudian kugigit saat air
mata mulai mengalir. Bibi-bibi kompleks akan panik, bingung ingin membalas apa.
Aku hanya akan menunggu saat kedua bibi itu malah saling lirik dan saat
kesabaranku habis, tangisku pecah setengah menjerit.
Diam berarti ‘iya’. Itu yang kupelajari
dari Mama. Jadi, jawaban yang kuterima adalah ‘Iya, Lulu berat’ itu yang
kusimpulkan. Aku berat, berarti Mama tidak akan lagi menggendongku. Mama tidak
kuat menggendong yang berat-berat. Itu yang Mama katakan saat menurunkan galon
dari gendongannya dan menggelindingkannya ke arah dispenser.
“Ma, apa Lulu berat? Kalau Lulu
beneran berat apa Mama tetep mau gendong Lulu?” tanyaku kala itu
saat Mama datang karena mendengar tangisanku. “Bibi-bibi tadi bilang kalau Lulu
itu beban. Setau Lulu beban itu berat dan Mama tidak kuat kalau gendong
yang berat-berat,” cerocosku saat Mama memintaku bercerita.
Aku ingat tubuh Mama menegang
mendengar jawabku. Tangannya yang penuh kapal mengelus-elus lembut punggungku.
“Tidak kok. Lulu sama sekali tidak berat,” jawab Mama. Wajahku cerah seketika
saat mendengarnya. Senyum lebar menghiasi pipi tembam tujuh tahunku. “Jadi Lulu
bakal digendong Mama terus?” tanyaku dan kulanjut dengan seruan, “Yey!” saat
mengangguk, mengiyakan.
Keraguanku terselesaikan. Iya.
Tapi ucapan-ucapan yang menyebutku sebagai beban masih terus kudengar. ‘Bukan.
Lulu bukan beban. Kata Mama, Lulu tidak berat.’ Itu yang kukatakan untuk
membalas mereka. Beberapa akan diam. Beberapa lainnya lagi akan membalas dengan
kata-kata yang tidak kalah menyakitkannya.
Kalimat itu terus berulang
bagai mantra di dalam kepalaku. Semua keraguanku lenyap saat mengingatnya. Tapi
hal itu membuat orang disekitarku menjadi lebih jengkel. Mereka tidak lagi puas
hanya dengan cemoohan. Buku catatan, pensil, penghapus, dan barang-barangku
akan disembunyikan. Aku akan dijegal di lorong kelas dan terkunci di kamar
mandi adalah pengalaman yang paling mengerikan bagiku.
Mengadu kepada guru juga bukan
sebuah pilihan. Itu hanya akan membuat tindakan mereka semakin menjadi-jadi.
Lagipula guru ‘lah menjadi alasan mengapa mereka tidak menyukaiku. Anak aneh,
memiliki bagus, dan disukai guru. Itu semua cukup untuk mengusik ketenangan
mereka.
Di bangku menengah atas, aku
belajar untuk diam. Aku hanya akan menunduk saat mereka mengata-ngataiku. Aku
tidak mau lagi melihat wajah Mama yang mengangis saat dipanggil ke sekolah dan
mendengar yang apa yang kualami. Aku tidak mau melihat wajah kelelahan Mama
yang harus bekerja lebih keras untuk membayar sekolah baruku yang lebih mahal.
Keyakinaku semakin hancur saat
mendengar ucapan teman setimku dalam olimpiade sebagai perwakilan sekolah.
“Sebaiknya kamu bersungguh-sungguh. Berusahalah untuk menang. Kalau kamu kalah
kamu hanya akan menjadi anak aneh yang tidak berguna. Berusahalah untuk menang
agar orang tuamu bangga dan bukannya menjadi beban bagi mereka.” Aku mengingat
setiap kata dari ucapannya dan terus berulang di kepalaku bagai kaset rusak.
Aku membantah, tentu saja.
Tapi percuma. Karena raut kelelahan dan tangis Mama yang berusaha dengan keras ia
sembunyikan seketika terlintas di kepalaku. Hari itu aku kalah. “Peringkat 13,”
jawabku kepada Mama. Aku ingat rasa kekecewaan sekilas terlihat di balik
senyumnya.
Hari itu aku bersumpah untuk
berusaha lebih keras lagi. Aku hanya tersenyum dan berceloteh tentang alasan
mengapa aku harus belajar sampai malam saat Mama menyuruhku tidur. Kerja
kerasku terbayar. Aku pun lulus sebagai peringkat satu dengan lusinan piala dan
piagam yang mengiringi langkahku. Namun, keraguan masih terus menggembung di
dadaku. Tidak cukup.
Aku tidak melanjutkan
pendidikanku. Ijazah SMA dan gangguan yang kuderita membuat pilihanku menjadi
terbatas. Komikus, itulah yang kupilih. Mama selalu memuji gambarku. Begitu
juga semua guruku pada masa sekolah. Aku cukup percaya diri. Aku mengirimkan
naskahku ke berbagai penerbit. Mengajukannya ke berbagai platform baca online
juga. Tertolak bukan hal baru bagiku. Rasa ketakutan menjadi beban Mama lebih
besar daripada rasa putus asaku. Aku terus berusaha keras. Hingga akhirnya
karyaku dikenal banyak orang.
“Lalu siapa sosok yang paling
berjasa dalam kesuksesan yang Kak Lulu capai hingga saat ini?”
Pertanyaan itu diutarakan oleh
si pembawa acara setelah diriku menceritakan perjalanan kesuksesanku, from
zero to hero. “Mama. Tentu saja Mama saya.” Aku menoleh menatap Mama di
bangku penonton. Ia menutup mulutnya, air matanya mengalir, tapi aku tahu itu
adalah tangisan haru.
“Bisa dijelaskan kenapa Mama Kakak bisa menjadi
orang yang paling berjasa?”
“Waktu kecil, dokter bilang
saya mengidap ADHD. Mudahnya, saya bukanlah anak yang bisa diam. Hiperaktif gitu.
Mengurus anak yang bahkan akan hilang dari pandangan dalam kedipan mata itu bukan
hal yang mudah. Apalagi sebagai seorang single parent. Tapi Mama mampu.
Mama selalu sabar dan berusaha sebisa mungkin untuk membuat saya bahagia.
Orang-orang selalu memandang kasihan keluarga kami. Mereka selalu mengasihani
Mama karena memiliki anak seperti saya. Tapi Mama membantah semua omongan itu.
Mama bangga mempunyai saya sebagai anaknya.”
Aku menatap Mama dengan
senyuman. “Dalam perjalanan kami ke sini, saya bertanya kepada Mama. ‘Apa Mama
bangga dengan Lulu? Apa Lulu masih menjadi beban bagi Mama?’ Mama langsung
memeluk saya dengan erat. Bahkan saya sempat ketakutan karena sulit bernapas.”
Aku tertawa pelan mengingat kejadian tadi.
“Mama bilang, ‘Mama selalu
bangga dengan Lulu. Lulu tidak pernah menjadi beban Mama. Lihat! Lulu mau masuk
TV! Anak Mama bakal masuk TV! Sekarang ibu-ibu kompleks lain juga pasti bakal
sependapat dengan Mama!’”
Pembawa acara itu mengungkapkan
kekaguman setelah mendengar jawabanku. Pertanyaan demi pertanyaan terus
terlempar dan tanpa sadar acara ini telah selesai. Aku keluar gedung dengan
tangan yang terkaitkan dengan lengan Mama. “Lulu bukan beban. Lulu itu anak
Mama yang paling hebat! Mama bangga dengan Lulu. Mama sayang banget sama Lulu.”
Aku tersenyum lalu memeluk
Mama, “Lulu juga sayang banget sama Mama. Banget, banget, pake
banget. Mama itu harta karun Lulu! Eh, Mama bau kecut!”
Bab 7
Sayap untuk
Orangtua
Rizky Nur
Aini
Seorang gadis yang terlahir dari keluarga sederhana bernama Kamila.
Kamila terlahir dari seorang ibu yang bernama Fatimah dan ayahnya bernama
Ahmad. Kamila adalah seorang gadis dengan empat bersaudara, Kamila merupakan
anak gadis diantara tiga saudara laki-laki nya. Kamila anak yang rajin,
berbakti, dan pemalu. Kamila dan saudaranya di didik oleh orang tua mereka dengan
disiplin dan keras. Setiap dari mereka mendapatkan nilai yang buruk membuat
orang tua khawatir. Oleh karena itu, orang tua kamila selalu menekankan suatu
pendidikan yang baik untuk anak-anak mereka.
Meskipun Kamila adalah anak gadis diantara 3 saudara laki-laki nya, ia
adalah anak yang menonjol. Prestasi ia peroleh selalu selama dalam pendidikan.
Mulai dari sekolah TK, dan SD Kamila selalu mendapatkan juara kelas. Berbeda
dengan ketiga saudaranya. Meskipun Kamila selalu mendapatkan juara, tidak
selalu Kamila mendapatkan pujian dari orangtua. Ketiga saudaranya juga diminta
untuk seperti Kamila yang selalu mendapatkan nilai bagus. Kemampuan setiap orang
tidaklah sama, dan setiap orang memiliki kekurangan dan kelebihan
masing-masing. Kertika sampai dewasa pun,
Kamila tetap menjadi juara kelas hingga sampai di perguruan tinggi, Kamila
tidak pernah mendapatkan kategori rendah atau buruk.
Kamila berharap suatu saat nanti bisa memberikan kebahagiaan dan menjadi
kebangga kedua orang tuanya. Bisa memenuhi segala kebutuhan keluarga. Namun,
nilai yang bagus di sekolah tidak selalu menjadi patokan untuk anak menjadi
seorang yang sukses nantinya. Kakak Kamila yang saat sekolah tidak begitu
pintar dan sering dimarahi orang tua ia telah berhasil menjadi seorang polisi.
Kakak Kamila yang bernama Afwan menjadi seorang polisi di luar daerah. Afwan
menjadi orang yang sukses, dia telah bisa membantu ekonomi keluarga, memberikan
kedua orang tua mau, dan membiayai sekolah adik-adiknya. Kamila yang merupakan
anak kedua menjadi minder akan hal itu, Kamila merasa ia tidak menjadi apa-apa.
Setelah lulus kuliah, Kamila mengajar di yayasan sebagai pekerja honorer.
Awal memulai mengajar, Kamila baik-baii saja menerima dan semangat dalam
menjalani kesibukannya sebagai pengajar dan ikhlas menerima upah yang
diberikan. Meskipun jika di hitung, upah yang diterima Kamila tidak cukup untuk
kebutuhannya. Kamila ingin sekali memberikan uang gajian disetiap bulannya
kepada orang tua. Namun, apalah daya dengan upah yang tidak seberapa membuat
Kamila merasa harus mencari pekerjaan tambahan.
Ketika dalam keluarga ditempatkan pada posisi kekurangan, orang tua
bingung membutuhkan uang. Kamila tercengang, karena ia ingin sekali membantu,
namun tidak memiliki uang. Keadaan yang seperti itu, membuat suasana menjadi
berubah. Orang tua Kamila merasa, “Jika tidak bisa membantu finansial orang tua
hendaknya Kamila membantu pekerjaan rumah” kata orang tua Kamila. Hal-hal
sepele menjadi penyebab suatu masalah dan masalah. Batin Kamila merasa tertekan,
dia ingin sekali bisa meringankan beban kedua orang tuanya, tapi jangankan
membantu, mencari pekerjaan saja, dirinya harus bersusah payah.
Hingga akhirnya segala aktivitas online Kamila lakukan demi
mendapatkan tambahan uang. Namun, kembali Kamila mengalami jatuh bangun dalam
usahanya. Muulai dari menjadi reseller kaus kaki dan hanya bertahan tiga
bulan. Selanjutnya, Kamila mencari uang dengan melihat konten-konten yang
diunggah oleh aplikasi yang menghasilkan uang, walau sehari hanya mendapat tiga
ribu rupiah. Sampai begitu kondisi Kamila hanya untuk membantu finansial orang
tuanya. Setelah usaha melihat konten dirasa Kamila tidak memberikan hasil
optimal, Kamila berpindah haluan berpindah berjualan madu online. Dia
menawarkan kepada teman dekat dan tetangganya. Sayang, Kamila mendapatkan
ejekan karena usaha yang saat ini dijalaninya. Namun, bagi Kamila, saat muda
dan memiliki banyak waktu luang untuk berusaha, dia
akan melakukannya.
Selain itu, Kamila juga mencoba membuat makanan ringan untuk dijual, gaji
dari mengajar ia gunakan sebagai modal usaha tersebut. Kamila mencoba membuat
makanan ringan dan mengemasnya sendiri. Hal tersebut Kamila lakukan dari tahap
awal, agar Kamila tahu modal pertama dengan hasil pertama apakah bisa cukup
atau melebihi gajinya dari mengajar. Makanan yang telah siap untuk di jual,
Kamila titipkan di warung-warung terdekat. Sebagian warung dan tempat
perbelanjaan tidak menerima karena tidak banyak orang yang menyukai makanan
itu. Hal tersebut membuat Kamila hampir putus asa. Seribu langkah ia lakukan
untuk bisa membantu dan membahagiakan orang tua. Dalam pemikiran Kamila
hanyalah orang tua dan orang tua. Entah ia berusaha untuk menampilkan bahwa ia
bisa atau tidak mau kalah dengan kakaknya Afwan. Tetapi tujuan utama dari
segala usahanya adalah untuk membahagiakan orang tua.
Tahun telah berganti, dan usia Kamila selalu bertambah. Namun keadaan
tidak berubah, usaha yang Kamila kembangkan tidaklah berbuah manis sampai
sekarang. Usaha makanan yang ia kerjakan terkakhir juga tidak sama sekali
memberikan hasil. Gaji yang ia gunakan sebagai modal hangus, hingga akhirnya
Kamila tidam memiliki pegangan uang sama sekali. Kamila termenung, apa yang
harus ia lakukan lagi untuk menghasilkan uang. Sambil terdiam, melihat cerita
teman di media sosial banyak sekali yang menawarkan kosmetik dan perawatan
tubuh. Melihat hal tersebut Kamila mencoba lagi untuk menjual produk kosmetik.
Namun, Kamila berfikir jika menjual kosmetik harus memiliki wajah cantik agar
pembeli tertarik dan menyakinkan kalau kosmetik nya bagus.
Kamila merasa tidak percaya diri, namun disekolah Kamila juga ada teman
yang menjual kosmetik. Tetapi paras tidak sesuai dengan pemikiran Kamila mulai
dari itu, Kamila merubah pola pikirnya dan menghilangkan rasa tidak percaya
dirinya akan kesesuaian parasnya untuk menjual kosmetik. Selang beberapa hari,
Kamila mencoba menghubungi pihak penawaran penjualan kosmetik ternama. Akhirnya
Kamila memulai usaha menjadi penjual kosmetik. Kamila mencoba mencurahkan isi
hatinya tentang sagala usaha yang ia coba kepada mentor penjual kosmetiknya.
Lalu sang mentor memberikan solusi akan masalah yang ia alami. Serta mencoba
memberikan keyakinan jika dalam usaha harus gigih dan tekun, kuat mental dan
selalu berusaha. Setiap kegagalan itu wajar, namun dengan kegagalan itu bisa
bangkit atau malah terpuruk yang akan menentukan keberhasilan seseorang.
Kamila berfikir, apakah ini adalah usaha terakhir Kamila dalam mencoba
dalam hal usaha. Karena Kamila disini merasa yakin, dan terarah dari
sebelumnya. Setiap hari Kamila di bimbing bagaimana menawarkan kepada pembeli,
dan bagaimana menarik pelanggan. Setiap ada bimbingan Kamila langsung
memberikan aksi dan setelah itu di evaluasi dan itu dilakukan setiap hari
selama 6 bulan. Kamila tidak menyangka jika akhirnya rezekinya di sini. Hasil
dari usaha ini Kamila bisa memberikan mobil kepada orang tua. Orang tua bangga
dengan Kamila segala usaha dan cara Kamila lakukan dan akhirnya membuahkan
hasil yang luar biasa dan Kamila tidak pernah menduga sebelumnya. Memang benar,
usaha tidak akan pernah membuahkan hasil. Yang terpenting nukan lah seberapa
banyak kamu jauh. Namun, berapa banyak kali terjatuh namun berapa kali juga
untuk daoat bangkit dan berusaha kembali.
Bab 8
Tidak Ingin Mengecewakan
Rita Tatha
Abimana yang baru saja masuk ke rumahnya, segera
mendudukkan tubuhnya begitu saja di atas sofa ruang tamu. Dia memijat
pelipisnya dengan perlahan, untuk mengurangi rasa sakit di kepalanya yang
terasa begitu berdenyut. Beberapa hari terakhir ini, pekerjaan Abimana
sangatlah sibuk hingga membuat dia seringkali melupakan makan siangnya, bahkan
terkadang dia tidak makan siang sama sekali.
Abimana sering merasakan sakit di ulu hatinya, rasa
sakit yang menjalar sampai ke seluruh tubuhnya, bahkan rasa sakit itu terkadang
terasa panas yang membuat tubuhnya terasa seperti terbakar. Namun, dia seolah
tidak peduli dan tetap memforsir tenaganya untuk terus bekerja, karena dia
tidak ingin mengecewakan kedua orang tua yang selama ini selalu membanggakan
dirinya.
"Kamu sudah pulang, Bi?" Abimana menoleh
ke belakang, dia melihat bapaknya berjalan mendekat ke arahnya.
"Sudah, Pak. Baru saja pulang," sahut
Abimana menghentikan gerakan tangannya.
"Istirahatlah, simpan tenagamu baik-baik,
karena besok kamu masih harus berkerja." Abimana mengangguk mendengar
perintah bapaknya, dia segera berpamitan untuk kembali ke kamar.
Sesampainya di kamar, Abimana merebahkan tubuhnya di
atas kasur tanpa melepas kemeja ataupun sepatunya. Dia memegang perutnya yang
kembali terasa begitu nyeri, bahkan rasa sakit itu sampai membuat dadanya
terasa begitu sesak. Dia menghirup napas panjang dan menghembuskan dengan
cepat.
"Aku mohon, kuatlah wahai tubuh. Masih panjang
jalan yang harus kita di tempuh," gumam Abimana sembari memejamkan matanya
dan berusaha menguatkan dirinya sendiri.
***
Wajah Abimana terlihat sangat pucat, semalam dia
terus saja mengerang kesakitan karena rasa sakit di perutnya, seolah ada
sebilah parang yang menghunusnya. Ibu Eni-ibu Abimana, sudah menyuruh Abimana
untuk tidak bekerja, tetapi Abimana bersikukuh untuk tetap berangkat bekerja.
"Pak Abi, rapat sudah hampir dimulai,"
panggil Leni, sekretaris Abimana di kantor. Abi tidak menyahuti, dia hanya beranjak
bangun dari duduknya. Namun, belum juga dirinya berdiri tegak, pandangan
matanya berkunang-kunang. Bahkan, dia memegang meja kerjanya untuk menompang
tubuhnya agar tidak terjatuh.
"Pak Abi, baik-baik saja?" tanya Leni
sambil berjalan mendekati Abimana dengan raut wajah yang terlihat khawatir.
"Aku baik-baik saja, Len." Baru saja
Abimana menutup mulutnya, tubuhnya sudah jatuh terkulai di atas lantai. Leni
segera berteriak minta tolong saat melihat Abimana yang pingsan.
Mendengar kabar anaknya pingsan dan dilarikan ke
rumah sakit, kedua orang tua Abimana menjadi begitu khawatir dan segera
menyusul Abimana ke rumah sakit. Sesampainya di sana, mereka segera melihat
keadaan Abimana yang terlihat lemah dengan selang infus di sampingnya.
"Bagaimana keadaan anak saya, Dok?" tanya
Ibu Eni cemas.
"Dia menderita sakit maag akut, apalagi saya
yakin kalau akhir-akhir ini dia tidak menjaga pola makannya dengan baik,"
terang Dokter Farhan.
"Kenapa kamu tidak menjaga pola makanmu dengan
baik, Bi?" Pak Rudi menatap wajah putranya yang terlihat sangat pucat.
"Maaf, Pak. Akhir-akhir ini pekerjaan Abi
sangat sibuk, jadi terkadang Abi melupakan makan siang Abi." Abimana
menyahut dengan suara lirih. Pak Rudi menghembuskan napasnya dengan kasar.
"Bi, jangan lagi kamu ulangi. Kamu boleh
bekerja keras, tetapi kamu harus jaga pula kesehatanmu. Semua yang kamu
lakukan, Bapak selalu bangga kepadamu, cepatlah sembuh."
"Baik, Pak." Pak Rudi mengusap bahu anak
semata wayangnya itu dengan perlahan. Baginya, Abimana adalah anak yang sangat
membanggakan dengan segudang prestasi yang dia miliki. Namun, Abimana selalu
ingin terlihat sempurna, hingga dia selalu bekerja terlalu keras karena dia
takut membuat kedua orang tuanya kecewa. Padahal, bagi kedua orang tuanya,
sejauh ini Abimana sudah membuat mereka sangat bangga dan tidak pernah
sekalipun mengecewakan.
Bab 9
Perjuangan menjadi yang terbaik
Risnilasari
Jamaluddin
Berbicara soal perjuangan, mungkin agak berat
rasanya berjuang tanpa diiringi dengan keikhlasan dan kesungguhan. Bagaimana
rasanya tertolak di universitas impian, bagaimana rasanya jatuh bangun
memperjuangkan sebuah mimpi. Dari situ
aku memahami banyak hal, bahwa hidup ini tidak semudah yang aku fikirkan. Akan
banyak air mata, bahkan patah hati yang kurasakan ketika takdir tidak sejalan
dengan impianku.
Berawal dari mengharapkan salah satu Universitas
terbaik yang ada di Negeri Kinanah, namun ternyata bukan takdirku. Kuputuskan
untuk kembali berjuangan di tahun kedua untuk bisa berkuliah di Universitas Al
Azhar, namun nyatanya takdir belum juga berpihak kepadaku. Rasanya sangat
sakit, ketika mengharapkan lebih namun belum bisa menggenggamnya. Aku bertekad
untuk menjadi yang terbaik walaupun di tempat yang berbeda. Bagaimana pun
caranya harus jadi yang terbaik. Terlebih aku lebih suka di bidang Agama, ada
beberapa kampus yang menjadi pilihanku dan kulabuhkan hatiku untuk memilih
Ma’had sebagai tempat saya menuntut ilmu.
Pertama kali bergabung dengan orang-orang hebat,
para ustaadz dan ustadzah yang latar belakangnya sudah tidak diragukan lagi.
Membuat saya sedikit meragukan kemampuan saya apalagi bertemu dengan
teman-teman seperjuangan yang rata-rata lulusan pesantren, ma’had, dan lainnya.
Seorang gadis lulusan madrasah yang bermimpi ingin bersekolah di Al Azhar.
Sangat mengkhawatirkan jika dibandingkan dengan kemampuan yang teman
seperjuangan ku punya.
Kutekad kan niat, kugiatkan usahaku, dan kulangitkan
do’a. Ini semua awal dari mimpi-mimpiku. Akhirnya pengumuman nilai final keluar,
dan aku bersyukur bisa merasakan di posisi pertama. Ini adalah bukti dari
perjuanganku yang berusaha mencari dan mendaftarkan diri kesana kemari tanpa
dukungan dan restu orang tua. Di awal perkuliahanku aku tidak mendapatkan restu
dari kedua orang tuaku, namun bagaimana pun caranya aku harus bisa meyakinkan
mereka bahwa aku bisa. Rasa haru dan bangga menjadi satu. Perjuanganku akhirnya
berbuah hasil yang indah. Semua pengorbananku, semua patah hatiku selama ini
akhirnya bisa terbayarkan. Aku bersyukur skenario Allah sangat indah untukku.
Aku yang saat ini masih menempuh pendidikan di 2
universitas sekaligus, alhamdulillah tidak pernah mengeluarkan biaya dari orang
tua, terlahir menjadi sosok yang tidak enakan dalam hal apapun utamanya dalam meminta
uang sama orang tua, menjadikan ku sosok yang lebih mandiri. Segala bentuk
kebutuhanku terkadang kalau masih bisa kuselesaikan sendiri, akan kuselesaikan
sendiri.
Aku bangga dengan pencapaian dan semua kerja
kerasku, akhirnya apa yang kuimpikan satu persatu sedang kuwujudkan.
Bab 10
Tak cukup Sampai Disini
Rizki suryadi
Orang kaya tak jauh dari kata mewah
dan barang mahal, Michel adalah anak Sulung dari pengusaha besar, tak heran
kalau Michel sangat dimanja Dan bisa membeli barang yang ia inginkan.
karena michel sering dimanja, ia sering merengek
apabila ada masalah dan tidak bisa mendapatkan yang ia inginkan. Suatu saat
michel di skors dari sekolah karna kepergok menyontek oleh gurunya, Michel pun
mengadu ke orang tuanya tentang masalah ini dan meminta agar ia tidak di skors
kalau tidak michel akan mogok makan selama sebulan.
Orang tua Michel pun tak tega jika anaknya bersedih,
dan pergi ke sekolah untuk menghapus sanksi yang diberikan ke michel. Ketika
ayah michel berhadapan dengan Kepala Sekolah yang berharap bisa menghapus
sanksi anaknya, namun sang kepala sekolah tidak menghiraukan omongan Ayah
Michel, dengan kesal ayah michel menelpon asistenya untuk mengantarkan uang 500
juta untuk menyogok Kepala Sekolah tersebut. Ketika asisten datang ayah michel
langsung mengambil uang dan memberikan uang tersebut ke Kepala Sekolah, Kepala
Sekolah yang sedang membutuhkan uang untuk biaya persalinan anaknya pun
langsung menerima uang sogokan tersebut.
Dua bulan berlalu, perusahaan orang tua michel
mengalami kerugian besar yang mengakibatkan harus menjual 70% saham
perusahaanya tersebut dan pindah kerumah yang lebih kecil.
Michel yang tadinya menjadi idola disekolahnya
sekarang di bully karna ia sudah menjadi kere dan di kucilkan, karna ngga
terima sekaligus malu michel tidak ingin berangkat sekolah dan marah ke orang
tuanya agar mengembalikan perusahaan seperti semula. Namun apa boleh buat semua
sudah terjadi dan inilah yang harus diterima dengan lapang dada.
Michel di pindahkan kerumah saudaranya di kampung
agar michel bisa berubah ke arah lebih baik.
Ketika di kampung michel bangun tidur siang dan
engggan membantu bersihkan rumah karna seumur hidup ia tidak pernah melakukan
itu.
Silih bergantinya waktu, budhe yang merawat michel
meninggal. Disitu Michel tak terima kenapa orang yang baik seperti budhe
meninggalkanya sangat cepat. Ketika semua orang menangis di dekat budhe Michel
lebih memilih menyendiri di teras rumah dengan menahan tangisan.
Setelah meninggalnya budhe, michel mulai membiasakan
melakukan kegiatan rumah tangga yang biasa dikerjakan budhenya. Meskipun sulit
untuk dilakukan Michel paksakan lakukan itu karna kalau bukan dirinya siapa
lagi yang akan membantunya.
Tak terasa Michel sudah lulus dengan
nilai yang bagus, semua orang dan temanya heran kenapa Michel bisa mendapatkan
nilai sebagus itu, padahal ia jarang belajar. Meskipun Michel tidak pernah belajar, tetapi saat ia
mencontek dan membaca contekan tersebut otomatis apa yang Michel baca langsung
bisa diingat itulah kelebihan Michel.
Saat waktu Pendaftaran di perguruan
tinggi baru, Michel ragu bisa masuk
universitas favorit ini, michel pun mulai melaksanakan ujian di kampus barunya
dan berharap bisa lolos. Setelah lama mengerjakan ujian michel menunggu hasil
ujian tersebut. Tak di sangka michel
berada di posisi ke 5 dari ribuan orang yang mengerjakan ujian. Akhirnya Michel
bisa menjadi kuliah di kampus favorit pilihanya
Saat Michel lulus Kuliah, ia di kabari orang tuanya
untuk kembali ke kota asalnya dan tinggal bersama keluarganya kembali karna
masalah pada keluarganya sudah sedikit reda. Michel pun mengiyakan ajakan orang
tuanya untuk kembali pada keluarganya. Setelah pindah Michel mendapatkan teman
yang senasib denganya, namun temanya Michel tidak pernah bebuat yang merugikan
seperti yang dilakukan Michel. Michel pun belajar dari temanya agar tidak
melakukan hal bodoh karerna hanya melampiaskan amarahnya.
masalah
yang menimpanya dan melihat dampak kedepanya. Silih bergantinya waktu, Michel
terpilih untuk mengikuti lomba robotic mewakili sekolahnya di tingkat nasional
dan dipilih untuk mengukuti lomba Marcing Band tingkat internasional membawa
nama daerah sekaligus nama Indonesia. James pun berhasil mendapatkan juara di 2
perlombaan tersebut.
Dengan hasil kejuaraan tersebut, michel mendapatkan uang sebanyak 200
juta dan berniat untuk membangun usaha dari uang lomba tersebut.
Disini
kita tahu betapa bermanfaatnya waktu apabila kita menggunakanya dengan sebaik
mungkin. Belajarlah selagi masih ada usia, jalani selagi masih bisa.
Bab 11
Melawan Arus
Binar Sendu
Tepat saat matahari tenggelam di horizon barat,
suara adzan menggema di langit kota. Seorang gadis memasuki rumah dengan
langkah malas. Dia sadar ada seseorang yang menunggunya di ambang pintu. Sang
gadis melihat ada tatapan marah yang menyambut kedatangannya. Sang gadis juga
sepenuhnya sadar bahwa hari ini dia bersalah.
“Ini jam berapa? Kok baru pulang?” Seseorang di
ambang pintu menyambut kedatangan gadis dengan pertanyaan.
“Sekarang magrib. Itu adzannya kedengaran,” jawab
sang gadis sekenanya. Lalu pergi masuk ke kamar tanpa ada percakapan lagi.
Seseorang di ambang pintu−tepatnya ayah hanya menggelengkan kepala menghadapi anaknya.
Gadis itu Hilma. Gadis yang merasa harinya kacau. Mood-nya buruk. Hilma masih merasa kesal
setelah ia diserang panggilan telepon dari ayahnya, ibunya,dan juga kakaknya.
Sebenarnya Hilma ada acara pentas seni di sekolahnya. Hilma tidak diizinkan
mengikuti acara sampai malam. Padahal puncak acara dilakukan di malam hari.
Hilma tak masalah jika dia memang tidak bisa mengikuti puncak acara. Tapi
perlakuan protektif dari ayah, ibu, dan kakaknya yang berlebihan membuat Hilma
kesal. Memang sejak jam setengah lima sore, ponsel Hilma diserang terus dengan
panggilan. Ketika diangkat hilma hanya menerima omelan untuk segera pulang.
Hilma rasa perlakuan ini terlalu berlebihan.
Inilah yang dirasakan Hilma sebagai seorang anak
bungsu di keluarganya. Merasa dirinya terkekang. Dalam keluarganya memiliki aturan
yang begitu membatasi Hilma untuk melakukan segala sesuatu. Hilma selalu
diberikan tuntutan agar Hilma mengikuti ekspektasi orang tuanya. Ini sangat
berat bagi Hilma. Ditambah dirinya yang tidak bisa mengikuti arus zaman yang
sangat lekat di jiwa remaja sepertinya.
“Dek inget ya, kalau pulang jangan terlalu sore.
Kalau ada kegiatan yang mendesak gapapa. Tapi kalau cuma pensi pulang lebih
awal kan bisa.” Ibu memulai pembicaraan di sela Hilma makan. Sudah diduga oleh
Hilma kalau topik ini akan dibahas lagi oleh Ibunya.
Hilma mengangguk. “Jangan diulangin ya. Lalu kenapa
tadi orang rumah telepon nggak diangkat?” Ibu benar-benar ingin memojokkan
Hilma di masalah ini.
“Cukup, bu. Sebelum berangkat ibu berpesan jangan
pulang malam. Aku udah nurutin kok. Aku pulang magrib karena diperjalanannya
yang lama.” bela Hilma dengan suara yang parau. Rasanya ingin menangis. Masalah
kecil yang selalu ditekankan sebagai kesalahan Hilma.
“Kok malah alasan sih, anak zaman sekarang memang
susah dibilangin ya?” Ibu pergi menuju ruang tengah tempat ayah berada. Ibu
menggeleng seperti memberi kode ke ayah.
Hilma bergegas menuju kamar. Menenggelamkan wajahnya
di bantal dan menangis semau dia. Hingga tanpa sadar dia terlelap dalam tidur.
Meratapi hidupnya yang terasa hampa. Hilma merasa hidupnya terkekang. Hilma
tidak bisa melakukan yang biasanya dilakukan remaja sepertinya. Seperti pergi
jalan-jalan bersama teman, berpacaran, atau hal sederhana seperti kegiatan
pentas seni di malam hari pun tidak Hilma rasakan. Gadis biasa yang dibatasi
dan dituntut banyak hal. Hilma biasanya menjadi orang minoritas yang melihat
kaum mayoritas melakukan kebebasan dalam hidupnya.
***
Sekarang Hilma berada di ruang tengah. Menonton
televisi dengan volume kecil. Sekarang adalah tengah malam. Hilma sudah bangun
dari tidurnya. Setelah melaksanakan salat isya, Hilma memilih melihat televisi
sendirian. Hilma ingin me time untuk
memperbaiki mood. Hilma memilih
melihat televisi daripada bermain ponsel. Karena bermain ponsel membuatnya
semakin hampa.
“Dek, kok enggak tidur?” suara Zhafira−kakak Hilma di depan pintu kamarnya.
“Ini baru bangun tidur kak,” jawab Hilma tanpa
menoleh.
“Kamu masih kesal ya sama kejadian tadi sore?”
Zhafira menghampiri Hilma.
“Tau aja,” jawab Hilma singkat.
“Sabar ya dek,” hibur Zhafira yang telah duduk di
samping hilma.
“Kak, aku mau curhat.” Hilma menatap
kakaknya.
“Curhat aja.” Zhafira merapikan duduknya. Siap
mendengarkan.
“Kakak merasa dibatasi enggak sih sama ayah ibu?
Banyak aturan dalam keluarga yang membuat kakak enggak bebas. Aku merasa
begitu, Kak. Rasanya Hilma tuh capek ngikutin ekspektasi ayah ibu. Hilma merasa
gagal terus. Gagal menjadi Hilma yang diharapkan ayah ibu. Hilma juga capek
menjadi remaja yang enggak mengikuti arus zaman. Setiap hari aku harus melawan
arus yang ada demi mengikuti ekspektasi keluarga ini.”
Zhafira tampak berpikir mendengar curhatan adiknya.
“Kakak juga pernah merasakan. Tetapi ada beberapa
hal yang enggak seburuk pikiran kita kok. Kalau kita mau melihat dari sudut
pandang berbeda,” ucap zhafira.
“Maksud kakak?” Hilma mengerutkan dahinya.
“Oke maksudmu melawan arus tuh gimana?’
“Ya aku merasa dibatasi. Misalnya aku enggak boleh
keluar malam. Aku enggak boleh pacaran. Di antara teman-teman yang lain aku tuh
kontras, Kak. Beda banget.”
“Hil, kalau menurut kakak kamu enggak sedang melawan
arus,” ucap Zhafira.
“Tapi Hilma
masih kesal kak. Keluarga kita terlalu berlebihan protektifnya.”
“Jadi kamu merasa hidup di keluarga otoriter?” tanya
Zhafira.
“Ya seperti itu,” jawab Hilma dengan wajah kesal.
“Kakak pernah ngerasain itu kok. Kakak juga merasa
dibatasi. Tapi kakak sadar setelah mendengarkan kata-kata dosen kakak.” Zhafira
memberikan senyum yang bermakna.
“Emang kata-kata dosen kakak tuh apa?” Hilma
bertanya penasaran.
“Keluarga adalah madrasah pertama manusia. Keluarga
adalah pelabuhan diri manusia,” ucap Zhafira dengan semangat. Zhafira merapikan
duduknya. Siap menjelaskan.
“Keluarga adalah madrasah pertama manusia. Tempat
manusia pertama kali dikenalkan dunia. Keluarga juga pelabuhan diri. Kalau
dianalogikan manusia itu kapal dan keluarga sebagai pelabuhan. Nah di
pelabuhan, manusia itu diberi didikan dasar dalam hidup, diberi petunjuk arah
tujuan kapal kita, dan tempat yang memberi energi kita sebelum berlayar. Tentu
tempat kita berlabuh ketika ada masalah. Bagaimanapun ayah dan ibu adalah
pelabuhan yang terbaik buat kita. Kalau dipikir didikan dan larangan mereka
adalah hal yang memang wajar. Larangan yang mereka berikan memang dilarang di
agama. Itu demi kebaikan kita. Tidak masalah kita menjadi kapal yang melawan
arus air. Karena bisa jadi kita sampai ke tujuan dengan berlayar melawan arus.
Bisa jadi dengan melawan arus justru membawa kita berlabuh ke tempat yang
indah. Kalau kita mengikuti sembarang arus bukankah bisa membawa kapal kita ke
pusaran yang bahaya? Atau ke air terjun yang bisa memberikan kehancuran? Iya
kan?”
Hilma mencerna kalimat kakaknya baik-baik. Rasa
bersalah yang semakin besar di hati Hilma. Dia sadar selama ini dia belum
bersyukur.
“Aku hanya memberikan pemahaman dari sudut pandangku
aja kok, Hil. Semua tergantung kamu bagaimana menyikapinya,” ucap Zhafira. Lalu
membuka ponselnya memberikan waktu Hilma berpikir.
“Kak, Hilma sekarang sadar,” ucap Hilma sambil
tersenyum. Zhafira tersenyum mendengar kalimat adiknya.
Bab
12
Romantika kehidupan
Oleh: Artysays
Gumpalan awan gelap masih menggelayut, tampak
serombongan burung terbang rendah di langit. Mungkin … sebentar lagi hujan akan turun.
Di sisian jalan raya terlihat seorang anak laki-laki
berseragam SD sedang berlari tergesa-gesa seakan diburu waktu.
Tiba di rumah, anak
laki-laki yang ternyata beenama Chiko itu bergegas masuk tanpa mengucap salam padahal terlihat ayahnya sedang duduk santai sambil membaca koran di ruang tamu yang ia lewati.
“Ucap salam dulu sebelum masuk rumah, Ko,” tegur sang ayah seraya menatap ke Chiko.
“Nggak sempet, Yah, Chiko buru-buru ada urusan,” sahut Chiko yang kini sudah berganti
pakaian, seraya menyambar kunci sepeda motor yang tergeletak di meja
di hadapan ayahnya.
Begitulah keseharian Chiko. Semenjak kepergian
ibunya, Chiko menjadi anak yang susah diatur. Segala kemauannya harus dituruti,
membuat ayahnya khawatir dengan perkembangan Chiko. Ia tidak betah tinggal di rumah. Pulang ke rumah hanya untuk makan,
ganti baju,
lalu pergi lagi. Melihat kondisi anak sulungnya yang susah
diatur, ayahnya berencana memasukkan Chiko ke pesantren.
Selepas magrib pemuda belasan tahun itu baru pulang. Ayahnya berencana mengajak Chiko bicara dari hati ke hati.
“Kalau sudah selesai makan, ayah mau ngomong, Ko,” ucap ayah kepada Chiko.
“Siap, Yah,” jawab Chiko singkat.
Dalam hitungan menit pemuda tanggung itu sudah
menyelesaikan makannya.
“Mau ngomong apa, Yah?” tanya Chiko penasaran.
“Setelah lulus sekolah dasar masuk pesantren ya, Ko,” ucap ayah penuh harap.
“Masuk pesantren! kayak kurang kerjaan aja, Yah.” Chiko begitu terkejut mendengar ucapan ayahnya.
Ayahnya berusa membujuk dengan berjanji akan memenuhi
segala permintaannya hingga Chiko akhirnya mau masuk pesantren.
Keesokan harinya, Chiko dan ayahnya survei ke beberapa pondok pesantren. Akhirnya
pilihan Chiko jatuh ke sebuah pondok pesantren di daerah terpencil yang berhawa
dingin.
Sebulan sekali ayah
menjenguk Chiko di pesantren. Banyak sekali perubahan pemuda tanggung itu.
Terlihat raut muka bahagia di wajahnya. ayah melihat perkembangan Chiko menuju ke arah yang
lebih baik.
“Jadi anak saleh ya, Ko!” pinta ayah penuh harap.
“Siap, Yah,” jawab Chiko seraya mengangguk.
Waktu berjalan begitu cepat, dua tahun sudah Chiko
belajar di pesantren. Hingga pandemi melanda dunia tak terkecuali Indonesia.
Pesantren di mana Chiko belajar juga terkena imbasnya.
Pertengahan bulan Maret 2020 sekolah diliburkan-termasuk pesantren tempat Chiko belajar. Semua santrinya di pulangkan Chiko pun kembali
lagi pulang ke rumah.
Tak berselang lama, Chiko
kembali bergaul dengan teman-teman lamanya. Pergaulan Chiko yang sekarang lebih
parah, ia bergaul dengan anak jalanan bahkan sampai berhari-hari
tidak pulang ke rumah.
Sudah satu minggu, Chiko tidak
pulang ke rumah. Ayahnya begitu resah, ia berusaha mencari Chiko ke berbagai tempat
yang sering dikunjungi sewaktu SD dengan dibantu
saudara dan teman kerja. Berbekal informasi dari teman-teman sekolahnya,
akhirnya Chiko berhasil ditemukan.
Mendengar ponsel bordering, ayah segera
menyambarnya, ternyata kepokannya yang bernama Sarah menelepon.
“Aku melihat Chiko ngamen di bawah lampu merah pusat
kota, Om,” terdengar suara Sarah di ujung telepon sesaat
setelah ayah menggeser tombol hijau di ponselnya. Sarah juga berkata hampir tak mengenali Chiko dengan penampilannya
yang sekarang.
Tak lama setelah menutup
telepon, sang ayah bersama Dedi—omnya Chiko, yang
juga kakaknya satu-satunya segera meluncur ke lokasi menjemput Chiko.
Alhamdulilah, ia masih
dipertemukan dengan Chiko. Ayah marah besar kepadanya.
“Mau jadi apa kau, Nak!” bentak ayah.
Plakk! Sebuah tamparan mendarat di
pipi Chiko. Seolah tidak merasakan sakit, ia hanya diam
menunduk. Penampilan baru Chiko yang sekarang bertindik,
bertato, dan berpakaian lusuh layaknya anak jalanan.
“Kenapa kamu, Nak! Apa
yang terjadi denganmu?” teriak Ayah Chiko penuh amarah.
“Jangan diam saja, jawab Chiko?” bentaknya lagi.
“Chiko nggak mau Ayah menikah lagi,” jawab Chiko
sesunggukan menahan tangis.
Akhirnya anak laki-laki
itu mengungkapkan apa penyebab yang membuatnya menjadi berontak.
“Calon ibumu orang baik, Ko, dia nanti yang akan merawat kamu dan adikmu.” Ayah mencoba meyakinkan
Chiko.
Perlahan-lahan
ayahnya memberi pengertian kepada
Chiko, bahwa
ayahnya membutuhkan sosok
seorang wanita di rumah itu untuk
menjadi pendamping sekaligus ibu untuk Chiko dan adiknya.
Seiring berjalannya
waktu, Chiko mencoba memahami apa yang ayahnya katakan. Hingga akhirnya Ayah menikahi wanita salihah pilihannya.
Namanya Tante Aisyah, seorang
wanita yang tidak hanya cantik fisiknya saja, tetapi juga cantik perilakunya.
Namun, setelah pernikahan ayahnya, Chiko kembali tidak pulang lagi. Ayah beserta ibu barunya mengelilingi kota
mencari keberadaan Chiko. Hingga mereka menemukannya dan memaksanya pulang. Kondisinya sekarang semakin parah. Tidak hanya penampilannya yang acak-acakkan, Chiko juga sudah merokok dan mengenal
minuman keras. Pergaualan bebasnya dengan muda-mudi jalanan sudah tidak terkendali.
Sekembalinya ke rumah, Chiko berusaha disadarkan bahwa pergaulannya tidak
benar. Berbagai cara ditempuh ayah dan ibunya untuk menyadarkan Chiko. Semuanya tidak ada yang
instan, perlu waktu untuk keluar dari lingkaran pergaulan jalanan.
Dengan penuh rasa sabar
dan kasih sayang, perlahan ayah dan ibunya bisa membuat Chiko
sadar dan mau berubah. Mereka memutuskan
untuk kembali menyekolahkan Chiko, melanjutkan
sekolah menengah pertamanya. Alhamdulillah, Chiko lulus sekolah menengah
pertama.
Chiko melanjutkan sekolah menengah atas di kotanya.
Dengan pola asuh penuh kasih sayang, banyak perubahan Chiko kearah yang lebih
positif. Seperti teman-teman yang lain, Chiko pun kini bersekolah dengan baik.
Tahun pertama Chiko bersekolah di sekolah menengah
atas, ayahnya jatuh sakit. Sebulan lebih dirawat di rumah
sakit, Chiko tidak mau membayangkan hal-hal buruk tentang ayahnya.
Jodoh, rejeki, maut ada di tangan Yang Mahakuasa. Manuasia berusaha Tuhan yang menentukan. Tepat
di akhir tahun 2023 ayah dipanggil Yang Mahakuasa.
“Tuhan, hukumlah Chiko, tetapi jangan Kau ambil
Ayah!” teriak Chiko tak kuasa menahan tangis.
Tante Aisyah yang sedari tadi diam, tiba-tiba tak
sadarkan diri. Para pelayat menangis terharu melihat kondisi saat itu.
Semua yang telah terjadi menyadarkan diri Chiko.
Dengan bimbingan Tante Aisyah, Chiko dan adiknya menjadi anak saleh kebanggaan
keluarga.
Kendal, 21 Agustus 2021
------------------------------------------------------------------------
Bab
13
Pulang Kembali
Aulia Kurniasih C
“Riki Sanjaya, udah mama bilang kamu jangan pulang malem! Kenapa sih, kamu itu bandel banget kalo di bilangin?” teriak dari
seorang wanita yang sudah berumur 45 tahun yang merupakan ibu dari anak
laki-laki yang bernama Riki Sanjaya.
“Iki udah bilang sama Mama,
udah izin sama papa juga kalo hari ini, Iki
kumpul-kumpul sama temen sebelum lulus dari sekolah,” ucap Riki mencoba
menjelaskan.
“Mama tahu, tapi seharusnya kamu tahu waktu dong, Ki. Kamu inget peraturan di rumah ini apa? Semua
orang yang tinggal di rumah ini dilarang pulang lebih dari jam sepuluh. Kamu tahu itu, kan? Tapi
apa yang kamu lakuin sekarang?
Kamu pulang di atas jam sebelas malam, Ki. Kamu
ngapain aja di luar sana! Kalo papamu tahu, kamu sudah dicoret dari kartu keluarga!” marah ibunya. Riki tak bisa menjawab dan memilih
untuk diam dan menunduk.
“Untung aja papamu itu lagi di rumah kakek. Kamu itu
harusnya liat tuh, adek kamu. Dia gak
pernah langgar aturan rumah kita. Dia juga berprestasi gak kayak kamu!” lanjut
ibunya masih dengan amarah yang menggebu.
Riki diam dan mencerna ucapan ibunya. Apa di sini ia
sedang dibanding-bandingkan dengan adiknya sendiri? Riki jadi merasa dirinya
juga ikut kesal karena ibunya malah membandingkannyaa dengan adiknya. Dia ya, dia—Riki ya, Riki. Mereka berdua berbeda
dan tak suka dibandingkan.
Riki
berjalan masuk ke dalam kamarnya, membantingkan tas yang
ia bawa. Kesal? Tentu saja! Padahal tadi bersama
sahabatnya ia merasa senang, tapi saat ia pulang semuanya hancur. Apakah Riki
salah? Ia sudah meminta izin terlebih dahulu dan berbicara kemungkinan ia
pulang malam kepada papanya sendiri. Namun,
apa yang dilakukan mamanya? Apa papanya tak memberi tahu mamanya? Demi apa pun Riki sangat kesal.
Dengan perasaan yang masih kesal dan marah, Riki memejamkan matanya. Riki punya rencana untuk
besok. Ia tidak suka dikekang seperti ini dan dengan hasil
pemikiran marahnya Riki memustuskan untuk pergi dari rumah besok.
Pagi hari ini Riki sudah berkemas memasukkan pakaiannya ke dalam tas. Riki sudah memikirkan
hal ini. Tanpa ada yang mengetahui, Riki itu sudah mengejar beasiswa kuliah di UI dan
kemarin ia mendapat kabar bahwa ia mendapatkan beasiswa tersebut. Kemarin, Riki ingin mengabari orang tuanya. Namun apa yang ia dapat sebelum mengatakan hal tersebut? Ia
malah dimarahi habis-habisan oleh ibunya sendiri.
“Iki, kamu mau kemana?” tanya ibunya heran saat melihat
anak pertamanya berkemas.
“Tadinya Iki mau
bilang ke Mama, kalo Iki dapet
beasiswa buat kuliah, tapi Mama marah-marah. Sekarang Iki mau pergi ke Depok
sambil nyari kosan di sana,” ucap Riki dengan wajah dinginnya.
“Loh, gak bisa gitu dong, Ki! Kta bisa cari bareng. Tunggu
papamu pulang dulu,” kekeh ibunya.
“Gak usah, Ma. Iki
pergi sendiri aja. Urusin aja adek yang bentar lagi masuk SMP. Iki berangkat.
Assalamualaikum,” balas Riki lalu pergi dari
hadapan ibunya.
“Riki … kenapa kamu keras kepala
sekali, kamu bakal tahu rasanya kalo dunia luar itu gak sebaik yang kamu
pikirkan. Mama gak doain yang jelek-jelek buat kamu, tapi setelah ini semoga
kamu sadar atas tindakan kamu,” gumam ibunya dengan cemas sambil melihat
kepergian anaknya itu.
Berbekal uang lima ratus ribu, Riki
sampai di Depok dengan selamat. Riki mulai bertanya kepada orang-orang di
daerah sana tentang kontrakan atau kosan yang ada di daerah tersebut. Akhirnya
setelah beberapa kali berkeliling, ia mendapatkan kontrakan kecil yang
harga sewanya cukup murah.
“Cukup untuk ditinggali
sendiri,” gumam Riki saat melihat rumah kontrakan yang akan ia tempati. “Oke saatnya berbenah.” Riki berucap dengan pasti.
Setelah berbenah di kontrakannya, Riki membaringkan dirinya di kasur kecil yang akan
ia tiduri untuk waktu yang lama. Riki merongoh uang sakunya, ia baru saja membayar
setengahnya kontrakan ini, ia berpikir bagaimana cara melunasinya? Sedangkan ia
sendiri tak mempunyai pekerjaan.
Riki
memutuskan akan mencari pekerjaan di
dekat daerah ini untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mulai sekarang.
Setelah beberapa hari mencari pekerjaan dengan penuh perjuangan
dan sempat ditolak di beberapa tempat ia melamar sebelumnya, akhirnya ia diterima kerja di
sebuah café di sekitar daerah tempat kosnya.
Riki pernah ditolak di sebuah toko hanya karena CV
yang ia buat tak sesuai harapan dan berakhir dengan Riki
yang mendapatkan makian di sana. Untungnya ia
mendapatkan pekerjaan setelah beberapa hari kemudian.
Tubuhnya sekarang sudah agak kurus, dikarenakan ia yang kadang lupa makan dan
juga terlalu kecapekan.
Riki menghela napas,
ternyata sesulit ini mencari pekerjaan.
Mulai
besok, Riki akan mulai bekerja di café tersebut. Awalnya, Riki menjalaninya dengan senang hati, tapi semakin ke sini ia
malah semakin lelah, gajinya belum turun tapi pemilik kontrakan sudah meminta
uang pelunasan. Riki rasanya ingin menyerah saja apalagi ia sendirian. Andai saja ia bersama keluarganya—Riki tiba-tiba saja
teringat akan keluarganya, mungkin dia merindukan mereka walau tak pernah ia
pedulikan tentang perasaan itu.
Hari ini ia akan mendapatkan gaji pertamanya. Riki
sangat senang.
Namun musibah datang. Di
perjalanan pulang, Riki dijambret
dan uang gaji pertamaya hilang begitu saja. Riki menangis, dengan putus asa ia
akhirnya memutuskan untuk pulang.
“Ma, Riki harus gimana sekarang? Ternyata semua ini gak
sesuai sama yang Riki harapin.” gumamnya dalam hati.
Sesampainya
di kontrakan, tak disangka ibunya bahkan keluarganya ada di sana.
Riki berlali memeluk ibunya sambil menangis dan menceritakan hal yang ia alami.
Keluarganya mengetahui tempat tinggal Riki dari salah seorang teman
dekatnya.
“Ma, tadi Iki dijambret di jalan, gaji pertama Iki buat bayar kontrakan udah gak
ada,” adu Riki sambil menangis
di plukan ibunya.
“Kamu gak papa, kan, Ki?” tanya papanya cemas.
“Gak kok, Pa.
Alhamdulillah,
Iki selamat.”
“Kamu bandel. Seharusnya
kamu tahu dunia luar gak sebaik apa yang kamu pikirkan,” ucap ibunya sambil
mengelus surai rambut Riki.
“Iki janji gak bakal pergi lagi dari Kalian, Kalian rumah
Iki dan Pelabuhan diri Iki.” Penyesalan akhirnya menyadarkan Riki.
Semuanya tersenyum,
akhirnya anak laki-laki itu mengerti. Tidak salah
jika ingin mandiri dan jauh dari keluarganya, tapi gunakanlah cara yang benar
jangan gegabah seperti yang Riki lakukan.
Riki sekarang sudah pulang kembali, ia menyadari
begitu besar kesalahannya karena bertindak dalam keadaan marah. Sekarang ia
kembali kepada keluarganya yang merupakan rumah baginya.
Bab
14
Pada Mereka Kulabuhkan Segala Rasa
Arniyati
Arifuddin
Annisa, adalah putri terakhir dari
pasangan Bapak
Arifin dan Ibu Khofifah. Ia dikenal sebagai pribadi yang santun,
lembut, dan sangat ceria. Kerena kepribadiannya itulah yang membuat orang-orang
selalu ingin berteman dengannya.
Ahad, 11 januari 2021. “Bismillah,” ucapnya seraya melangkahkan kaki ke luar rumah. Dengan penuh semangat berjalan
menghampiri motornya, lalu mengendarai menuju
kantor.
“Pagi yang sangat cerah,” gumamnya sembari tersenyum.
Annisa menempuh perjalanan 25 km untuk bisa sampai
di tempat kerjanya. Perjalanan yang cukup jauh. Namun pemandangan laut yang ia
lalui membuatnya tak pernah mengeluhkan perjalanan melelahkan tersebut. Annisa sangat
menikmatinya, sebab laut punya keindahan tersendiri di matanya.
Pagi itu, ia cukup
ceria untuk memulai aktivitasnya di kantor. Sesampainya di kantor, ia langsung
menuju ke dalam ruangannya. Di sana Annisa menemukan sebuah
surat yang bertuliskan namanya. Dengan perasaan cemas, ia pun membuka lalu membaca
surat tersebut.
“Ya Allah … ternyata
tugas saya di kantor ini hanya sampai di sini,” lirihnya
lalu meneteskan air mata. Nampaknya surat yang bertuliskan namanya itu adalah
surat PHK dari bosnya.
Tak lama kemudian, Annisa mencoba mengatur napas perlahan-lahan, lalu sesekali mengusap dada.
“Tenang, Nis, tenang … Allah
pasti punya rencana yang lebih baik.” Annisa mencoba menguatkan dirinya sendiri.
Setealah merasa tenang, barulah ia mengabari ayah,
bunda, dan kakaknya melalui Whatsapp grup.
[Ayah, Bunda, dan Kakakku yang baik hati, Annisa
punya kabar mengejutkan, Nih!] tulisnya.
[Kabar apa, Nak?]
balas ibunya yang sangat penasaran.
[Allah punya rencana lain lagi untuk Nisa, Buk! Baru saja, Nisa
menerima surat PHK.]
[Tenang, Dek! Kamu bisa kerja di kantor kakak, kok!
Nanti kakak bantu ngomong ke bos kakak, ya.] Kini Arsan--kakaknya yang membalas, mencoba
menenangkan adiknya.
Arsan adalah satu-satunya kakak yang dimiliki oleh
Annisa. Persaudaraan mereka sangat harmonis. Di mata Arsan, Annisa
tetaplah puteri kecil yang manja, yang selalu membawa keceriaan di rumah dan
wajib ia lindungi. Begitupun sebaliknya. Bagi Annisa … Arsan adalah sosok kakak yang multifungsi. Bisa
menjadi seorang teman, sahabat, bahkan bisa menjadi bodyguard yang
selalu mengawalnya kemanapun ia mau.
[Udah, nggak
perlu sedih karena PHK. Insya Allah,
ada rezeki lain yang sedang menantimu di tempat lain, Nak.] sang ibu kembali mencoba menenangkan anaknya.
Tak lama kemudian, Annisa pun membereskan
barang-barangnya yang ada di kantor. Setelah semuanya beres, ia berpamitan
kepada rekan-rekannya. Setelahnya ia bergegas ke parkiran tempat di mana ia memarkir motornya
untuk pulang. Saat itu cuaca lagi
mendung, tetapi ia beranggapan bahwa mendung tak berarti hujan. Dengan percaya
diri, ia pun mengendarai motornya tanpa menghiraukan cuaca tersebut. Namun
anggapan Annisa itu rupanya salah, takk
berselang lama setelah ia meninggalkan parkiran, hujan
turun dengan derasnya. Ia mencari tempat untuk berteduh dan memakai mantel.
“Duh … ternyata hujannya turun beneran,” gumamnya lalu tersenyum.
Setelah Annisa selesai memakai mantel, ia pun
melanjutkan perjalanan. Seperti biasa, gadis itu
sangat menikmati setiap perjalanannya. Entah itu perjalanan menuju ke kantor,
ataupun perjalanan pulang ke rumah. Namun, tiba-tiba di
tengah jalan ada seekor anjing yang melintas tepat di depan motornya. Dengan refleks, Annisa
membelokkan setir motornya ke arah kiri dengan maksud menghidari anjing
tersebut. Nahas, rupanya ada pengendara lain di belakang Annisa yang
melaju begitu cepat dan akhirnya dengan tidak
sengaja menabrak Annisa.
Gubrak! Terdengar benturan yang begitu keras.
Annisa dan motornya terhempas jauh ke bibir jalan.
Warga yang saat itu melihat kejadian lalu
segera menghampiri dan menolongnya. Segeralah Annisa dilarikan ke rumah sakit
terdekat. Sesampainya di rumah sakit,
Annisa langsung ditangani oleh dokter. Dan salah satu petugas rumah sakit
lainnya mencoba menghubungi keluarga Annisa.
“Halo, Bisa bebicara dengan,
Bu Khofifah?” tanya suster saat teleponnya tersambung.
“Iya,
dengan saya sendiri. Maaf, ini dari mana, ya?” balas ibunya Annisa di
seberang telepon.
“Ibu,
sebelumnya tenang ya, ini dari Rumah Sakit Wahidin. Saya mau mengabari Ibu kalau
anaknya sedang dirawat. Baru saja mengalami kecelakaan di Jalan Poros Takalar,”
terang sang suster memberi kabar.
Mendengar kabar anaknya kecelakaan, Ibu Khofifah pun tak kuasa
menahan kesedihannya. Ia sangat syok. Hatinya sangat hancur. Namun ia berusaha
menenangkan dirinya. Setalah merasa tenang, berulah bergegas menuju ke rumah sakit.
Setelah Ibu Khofifah sampai di rumah sakit, rupanya sudah ada Ayah Annisa dan Arsan di
sana. Mereka terus berjaga di samping Annisa, lalu sesekali terdengar Annisa
mengeluhkan sakit di bagian kepalnya. Dengan spontan, ayah, ibu, dan kakaknya mengusap kepala annisa secara bersamaan.
Sangat jelas terlihat begitu peduli dan sayangnya mereka terhadap Annisa.
Walau ia sedang terbaring di rumah sakit karena
kecelakaan yang menimpanya, Annisa tetap merasakan kebahagiaan. Ia tak
kekurangan kasih
sayang. Bagi sebahagian orang, rumah sakit adalah
tempat yang sangat menyeramkan. Banyak pasien yang memilih untuk dipulangkan lebih
cepat, dibanding harus berlama-lama di rumah sakit.
Akan tetapi tidak bagi Annisa.
Rumah memang selalu menjadi tempat yang paling menyenangkan dan menenteramkan untuk pulang, tapi
bagaimana mungkin ia memaksakan diri untuk pulang ketika
tujuannya pulang bukan lagi berupa ruang, malainkan ayah, ibu, dan kakaknya.
Dan kini mereka ada di sini, selalu ada di samping Annisa
dalam setiap keadaan. Suka, duka, tak pernah terlewatkan.
Bab 15
Rahasia Jalanan
Nira Tamara
Aku menegangkan badan seraya
menggertakkan gigiku. Sekarang hujan, aku dan Adik-adikku masih berada di luar di larut malan begini sambil berteduh di salah satu ruko seorang pria baik
yang memperbolehkan kami berteduh. Aku mengencangkan rangkulan di badan Adik-adikku semakin erat, mereka kedinginan dan yang bisa
kulakukan hanya memeluk dan merangkul mereka, serta
memakaikan jaketku kepada mereka guna mengurangi rasa dingin yang ada. Hingga
akhirnya hujan pun berhenti.
Kami beranjak, berpamitan
pada sang pemilik ruko dan berniat pulang ke rumah. Namun, kekhawatiran
muncul di benakku. Uang yang kami dapat belum cukup, aku yakin jika sampai di
rumah pada saat
ini ... kami akan kena hukum.
Namun, mau tak
mau aku tetap membawa keempat Adikku pulang. Dari si bungsu Reona, Naka, Jona, dan yang paling besar Maraka. Karena jika aku tak membawa mereka pulang, mereka akan kedinginan berada di
luar sepanjang malam dan pasti tidak dapat tidur dengan nyenyak dan akhirnya mereka bisa sakit.
Apa? Sakit? Tidak, tidak ... aku tidak mau
melihat Adik-adikku sakit.
Maka di sinilah aku sekarang. Berdiri di depan pintu rumah, sedang Adik-adikku berlindung di belakangku seraya memegang erat
pinggangku
dengan dipenuhi rasa takut. Sesekali mereka mengintip
ke depan.
“Maaf, Om. Hasil
ngamen sama jualan cuma terkumpul segini, jauh dari
target yang ditetapkan,” ujarku dengan pasrah menjelaskan apa yang
sebenarnya terjadi.
“Kurang ajar! Kalian tahu
‘kan, konsekuensinya?” delik
Om Garvi tajam dengan seringai yang menghiasi bibirnya.
Aku mengangguk dalam tunduk, lalu tiba-tiba kedua ajudan Om
Garvi dengan paksa berusaha
menarik tubuhku dan keempat Adikku. Aku tak bisa diam saja.
“Om Garvi, to-tolong
lepaskan Adik-adikku. Di sini yang salah aku! Aku yang nyuruh mereka buat
langsung neduh pas hujan turun, aku yang ngajak mereka banyak istirahat, makanya waktu ngamen bisa berkurang dan sedikit dapat konsumen.
Tolong
yang kena hukum aku aja om! Jangan Adikku! Buat
masa hukumanku jadi ditambah empat jam! Pokoknya aku yang menanggung
masa hukuman mereka! Jangan sentuh mereka.” Aku berteriak panik
memohon kepada Om Garvi.
Hingga akhirnya pria berumur 26 tahun itu menyeringai enteng dan berkata, “Baiklah kalo itu mau kamu, si sok pahlawan. Akan aku turuti. Cepat bawa dia ke dalam!”
Aku bernapas lega meski ada rasa takut menyelimuti. Aku sempat melambaikan tangan dengan
senyuman yang hangat kala melihat keempat Adikku
berkumpul dengan muka kebingungan melihatku yang diseret paksa. Mereka terlihat sedih
hingga ada yang menangis. Aku membuka mulut dan mencoba melontarkan
kalimat penenang kepada mereka.
“Kakak Cuma pergi sebentar aja
kok, Kakak mau diajak main sama Om Garvi,” ucapku dibarengi senyum paksa agar mereka tidak
lagi menangisi kepergianku.
“Kamu gak liat nih, muka Kakak
bahagia? Tungguin Kakak ya, Kakak pasti balik kok,” lanjutku.
Hal itu tentu membuat senyum mereka terukir di masing-masing wajah dan melambai dengan semangat ke arahku,
kecuali Reona.
Ia masih tetap dengan wajah yang ditekuk dan bergeming, seperti sedang memikirkan sesuatu.
Kini aku sedang menjalani hukuman. Berbagai siksaan dari
mulai pukulan hingga lainnya aku dapati dari dua pasang tangan lelaki dewasa
yang tadi menyeretku. Yang bisa
kulakukan hanya menangis, meringis menahan rasa
sakit. Setelah beberapa jam disiksa,
akhirnya masa hukumanku terlepas.
Sebelum keluar aku juga peringati perihal penghasilan per hari kami yang jangan sampai kurang dari target. Eh-atau ... lebih ke ancaman? Entah lah! Satu hal pasti yang kulakukan
setelah terlepas dari ruang hukuman ialah beranjak dan
mencari Adik-adikku dengan tubuh lunglai dan lemas ini.
Langkahku terhenti kala melihat mereka. Namun, bukan raut wajah bahagia yang kutampakkan. Aku terkejut, berdiri
kaku karena syok melihat wajah keempat Adikku
yang sama babak balurnya sepertiku.
“Kak, kok main bareng omnya enggak seru ya, kenapa malah sakit, Kak?”
lirih salah seorang Adikku-Naka, dengan wajah polosnya bertanya
seraya memegang matanya yang bengkak dan membiru.
Aku terdiam, tanpa sengaja meneteskan air mata, lalu aku mengamuk, berlari menghampiri Garvi sialan yang mengingkari janjinya. Padahal masa hukumanku sudah ditambah empat kali lipat jamnya demi menanggung
hukuman Adik-dikku. Akan tetapi
dia berbohong! Membuat keempat makhluk polos tanpa dosa itu memiliki banyak memar
berwarna ungu
kebiruan hingga beberapa bagian yang membengkak di sekujur
tubuh mereka.
Apa dia waras!
Aku berjalan terburu-buru
menuju pria itu. Lalu
dalam sekali gerakan, meninjunya sekeras-kerasnya.
Persetan dengan masa hukuman dan ganjaran yang akan kudapat, persetan dengan
amukan para pria dewasa ini. Pikiranku kalut. Aku sangat marah. Mereka membohongiku.
Persis seperti yang telah kuprediksi, langsung saja aku
dipukuli tanpa ampun dengan berbagai umpatan kotor yang tanpa henti-hentinya
keluar dari mulut mereka. Aku meringis, sekujur tubuh sudah penuh
dengan luka akibat siksaan dari mereka. Aku bersujud guna melindungi tubuhku dan memeluk diriku sendiri. Aku menyunggingkan sebelah bibirku. Meski harus babak
belur, diri ini tak menyesal. Aku merasa puas karena berhasil memukul Garvi sialan itu.
Setelah mereka puas
menyiksaku dan meninggalkanku sendiri, aku
kembali ke kamar tempat aku dan keempat Adikku tidur dengan
mengendap-endap. Jam sudah
menunjukkan pukul dua pagi, dan mereka semua sudah
terlelap dengan damai. Aku terduduk di sisian tempat tidur, memandangi wajah mereka yang sudah memar dan bengkak itu, lalu tersenyum pahit dan menangis.
“Aku Kakak yang tak becus ya, aku
payah. Tak bisa melindungi adik sendiri. Maaf ... maaf ... maaf
....”
Kata itu kuucapkan
berulang kali seraya memeluk lututku dan menangis. Namun tak kuduga, kurasakan tubuh kecil memelukku dari belakang. Kurasakan tangan mungil
itu mengusap punggungku. Ternyata Reona.
“Gak papa, Kakak gak
salah kok, Om Garvi si sialan yang memang bajingan,” ujarnya
tenang sambil memelukku.
Oh, wow! Aku senang dengan fakta bahwa
aku baru saja dibela. Namun, gadis ini baru saja mengumpat, ya? Astaga, belajar dari siapa dia.
Aku hanya terdiam sambil sesenggukan lalu berkata, “Jangan
ngomong kasar,”
Gadis kecil itu hanya mengangguk dan lanjut
memelukku. Aku
tersenyum, rasanya nyaman ... sekali. Sudah lama
aku tak mendapatkan pelukan dan kalimat penenang dari seseorang. Sebenarnya memalukan, tapi si bungsu
memang terkadang suka bersikap seperti orang dewasa. Lalu seusai itu, kami tertidur lelap.
***
Pagiku disambut dengan sebuah koper yang tergeletak.
Aku segera didorong keluar dari rumah itu bersamaan dengan koperku. Aku
berteriak, menggertak, memaksa masuk ke dalam. Kalau
aku diusir, bagaimana nasib Adik-adikku?
Aku panik, kalut, tapi tak bisa berbuat apa-apa.
Aku berencana untuk pergi ke kantor polisi, di
sana aku melaporkan segala kejadian yang aku dan Adik-adikku alami. Syukurlah laporanku
diterima, lalu polisi bergegas
menyergap tempat Om Garvi. Adik-adikku dibawa bersamaan dengan Om Garvi beserta kawanannya
yang memperkerjakan
anak yatim piatu yang terlantar itu. Akhirnya mereka
mendapat ganjarannya.
Usai penyergapan, kami
dibina dan dikirim ke panti asuhan. Di sana kami mulai menata hidup, dididik dan disekolahkan dengan
benar. Kami bahagia, hingga tak terasa sampailah waktunya aku akan masuk ke jenjang perguruan tinggi yang kudapat melalui
program beasiswa dan terpaksa
harus merantau.
Aku dan Adik-adikku
sedih bukan main, kami menangis bersama kala aku harus izin untuk berpamit. Namun bagaimanapun
sedihnya, aku harus pergi juga. Sesekali aku janji akan pulang saat hari libur ke panti guna bertemu mereka.
Mereka, Adik-adikku. Keluargaku yang tak sedarah, tetapi kami memiliki ikatan yang mengalahkan fakta bahwa
kami tak sedarah.
Mereka, tempatku pulang
kala dunia berlaku kejam kepadaku.
Mereka, tempatku bersandar dengan posisi paling nyaman.
Mereka itu rumahku. Tempatku berlabuh, layaknya
sebuah kapal yang beristirahat usai berperang melawan ombak dan luasnya lautan.
Aku tak membutuhkan apa pun selain mereka berempat.
Bab 16
PULANG
Dipa1_3
“Ci, enggak balik ke rumah?
Tiga kali lebaran loh, kamu enggak balik,” omel Restia sembari berbaring di
kasur memainkan HP. Eci tidak mendengarkan Restia, malah asyik mendengarkan
musik melalui headsetnya.
“Ci, dengar enggak sih, aku
ngomong? Woyy!” Restia mencabut headset yang terpasang di telinga Eci. Kontan
saja Eci menempel*ng kepala Resti.
Plak!
“Urusan gua sih, Res. Kenapa
sih pengen banget gua pulang! Enggak betah berdua?” hardik Eci. Resti hanya
bisa memelototinya tanpa bisa membalas. Ia lantas tidak memedulikan Eci, lanjut
untuk memainkan HP.
Dalam batinnya, sebenarnya rasa
ingin pulang sudah lama menyesakkan dada Eci. Tiga kali lebaran ia habiskan di
Bogor bersama Restia—teman satu perjuangannya hingga kini. Tidak ada acara
silaturahmi ke tetangga dan sanak saudara, apalagi salat Idulfitri berjamaah
seperti yang ia lakukan saat berada di kampung halamannya, Singaparna. Namun,
hal yang mengganjal hatinya sampai ia tak ingin pulang adalah, rasa sakit, takut,
dan malu yang akan ia tanggung.
***
“Ci, coba sini, Ayah mau
ngomong sama kamu.”
“Kenapa, Yah?”
Kedua ayah dan anak itu duduk
di teras rumah. Hawa dingin kala itu menjalari tubuh Eci. Suara bakaran rokok
ayah serta seruput kopi di mulut Eci saling sahut terdengar.
“Ci, sudah waktunya kamu kerja
atau ... menikahlah. Ayah sekarang udah sepuh, enggak bisa apa-apa lagi. Ayah
enggak minta banyak-banyak, cuma ingin menimang cucu dan melihat kesuksesan
kamu. Ibu kamu juga udah enggak ada, ayah enggak sanggup untuk menemanimu
terus. Coba kamu kerja yang benar, atau lebih bagus cari suami. Ini buat
kebaikan kamu juga. Sekarang umur kamu sudah mau 22 tahun, nunggu apa lagi? ”
Eci hanya diam saja. Tidak
berani menjawab apalagi membantah.
“Atau, mau ayah carikan calon?”
Kontan Eci terkejut. Belum
sempat menjawab, ayahnya sudah berkata, “Ya, baiknya ayah carikan saja,
daripada kamu tidak dapat, kan?”
Hati Eci mencelos. Ia tidak
dapat berkata-kata.
Siang hari, rumah Pak Umar
begitu ramai disesaki keluarga Eci. Pak Umar merupakan sesepuh kampung yang
memiliki seorang putra bernama Gunar. Usianya empat tahun di atas Eci. Ia
dewasa, tegas, dan ramah kepada siapa saja. Tidak lama setelah kedatangan
keluarga Eci, proses lamaran berlangsung dan acara pernikahan berjalan dengan
seharusnya.
Setelah satu tahun rumah tangga
berjalan, sifat asli dari Gunar mulai terlihat. Ia kesulitan untuk mengontrol
emosi. Jika sedang marah, ia bisa memaki bahkan memukul Eci dan menghancurkan
barang-barang di sekitarnya. Eci tidak tahan dengan perlakuan Gunar. Suatu
ketika, Eci tidak sengaja terlalu banyak menaruh garam pada sup kesukaan Gunar.
Kebetulan, Gunar sedang ada masalah dengan pekerjaannya sebagai pedagang di
pasar. Tak ayal sendok dibanting dan sup ia tumpahkan.
“Masakan apa ini? Enggak
becus!” teriak Gunar penuh amarah.
Kontan saja Eci mendidih dan
membalas, “Suami durhaka. Enggak tahu apa aku capek-capek bikin ini!”
Bukannya mereda, bak api
disiram bensin, Gunar mulai memukuli Eci hingga babak belur. Eci tidak tahan
dengan semua ini. Ia memutuskan untuk diam-diam pergi sejauh mungkin dari Gunar
dan Singaparna.
Saat itu ia memilih kabur ke
Bogor hingga akhirnya bertemu dengan Restia.
Jika Eci mengingat hal itu, ia
akan menangis terisak. Terkadang, Restia memergokinya. Ia tidak berusaha
bertanya apalagi mengusik, hanya menemaninya sampai selesai menangis.
Hari lebaran semakin dekat dan
Eci masih gundah akan keputusannya. Kembali ke Singaparna atau lebaran di Bogor
untuk ke sekian kalinya. Ia terngiang akan nasihat Restia yang tampak sederhana
tapi membekas.
Saat masih berada dalam
kebingungan, Eci mendapat kabar bahwa ayahnya jatuh sakit. Ia semakin bingung
dan takut mendapati gunjingan para tetangga dan juga Gunar. Rasa trauma itu
masih membekas hingga sekarang.
“Ti, apa aku pulang aja, ya?”
tanya Eci kepada Restia tiga hari sebelum lebaran.
“Kamu mau pulang?” sambar
Restia. Ia cukup terkejut mendengar keinginan pulang sahabatnya itu.
“Ih, kemarin kamu yang
dorong-dorong aku biar pulang, sekarang malah kayak kaget gitu.”
“Ya, terserah kamu sih, kamu
mau terus lari dari masalah atau menghadapinya? Dan tentang ayah kamu ...
bukannya kamu mau bahagiakan beliau? Kalau iya, hadapilah semua masalahmu.
Sekarang ayahmu lagi sakit juga, kan. Pulanglah,” ucap Restia memberikan
pengertian.
Eci memikirkannya berulang kali
hari itu.
Pagi hari, ia terbangun. Ia
niatkan untuk pulang saat itu juga. Diguncangkannya tubuh Restia yang masih
terlelap dalam tidurnya, mungkin masih menyelam dalam lautan mimpi.
“Resti, Tia ... Res,”
“Hmm,” gumam Resti
“Anter ke Stasiun Bogor, yuk!
Aku mau pulang.”
Restia terenyak. Setengah
linglung, ia tersenyum, “Ayo! Aku cuci muka dulu.”
Sampai di Terminal Kampung
Rambutan, Eci langsung menaiki Karunia Bakti Singaparna. Pikirannya melayang
kepada ayahnya yang tergolek lemas, juga kepada Gunar yang telah menyiksa
mental dan fisiknya.
Sore hari Eci sudah menjejakkan
kaki di Singaparna, tempat kelahirannya. Ia naik bus tiga perempat menuju
rumahnya. Butuh waktu dua puluh menit untuk sampai di hadapan rumahnya. Gegas
ia mengetuk pintu rumah.
“Assalamualaikum, Ayah, Eci
pulang!”
Terdengar suara pintu dibuka,
Gunar muncul dari balik pintu dan ia terkejut bukan main. Laki-laki yang dulu
menyiksanya, kini sedang berada di rumahnya, merawat sang ayah. Eci terlihat
kikuk, begitu juga Gunar.
“Eci, maafkan saya, sekarang
saya sadar,” ucap Gunar seraya meraih tangan Eci.
“Kamu udah sadar dengan semua
perbuatanmu?” tanya Eci lemah.
“Maafkan saya, Eci. Saya tidak
bisa membalas kebaikanmu yang lain kecuali merawat ayah. Maaf, beribu maaf
....”
Eci terisak, sementara Gunar
mencoba menenangkannya.
“Ayah di mana? Bagaimana
keadaannya?”
“Ada di kamar. Kamu lihatlah
sendiri, beliau sangat merindukanmu.”
Mereka berdua berjalan menuju
kamar, terlihat Ayah Eci sedang terbaring lemah.
“Ayah, ini Eci,”
Terlihat air mata mengalir di
pipi sebelah kirinya. Eci menangis tersedu-sedu, kemudian memeluk ayahnya.
Sedang Gunar tak kuasa lagi menahan haru sekaligus sesal di hati. Ayahnya sudah
tahu semua ini, juga tak kuasa menahan haru dan sedih.
Pada akhirnya, mereka masih
sempat untuk merayakan Idulfitri bersama-sama.
Gugatan cerai pada akhirnya
ditujukan dan dikeluarkan dua minggu usai Idulfitri. Gunar dan Eci sudah
sama-sama mengerti dan paham, bahwa mereka tidak bisa bersama. Sedang Ayah Eci,
meninggal tak lama setelah mereka melakukan gugat cerai.
Bab 17
Bersama
Kesulitan datang pula kemudahan
Ayu Ainun mardiyah
Pukul 06.30 setiap pagi adalah waktu yang biasa
diluangkan keluarga Aulia untuk menonton berita. Siaran favorit di waktu baik,
meski hanya singkat, sebab terpotong kesibukan masing-masing. Bapak yang sibuk
harus bergegas ke area kontruksi sebelum
mandor memberi teguran, Ibu yang sibuk
dengan pisau dan cabai di kedua tangan, dan Aulia yang harus pergi ke sekolah
untuk menunaikan mimpi-mimpi nya. Waktu singkat itu tidak merubah
kehangatan keluarga Aulia, hari-hari
dilalui meski Pandemi Covid 19 mengantui. Keluarga Aulia tetap yakin dengan
segala ketetapan Allah SWT, tidak ragu sedikit pun meski, ekonomi keluarganya
terhimpit.
Hari Senin cerah ketika mimpi-mimpi Aulia ditata
rapi oleh dukungan dan doa-doa kedua orang tua beserta keluarga. Ketika asa
yang telah di pupuk, tumbuh subur bersama hadirnya mentari. Kandas sebab berita
yang mencekam erat nadi Aulia, datang bagai kilat tak menyapa. Berita yang
membuat Aulia harus kembali menata ulang impiannya.
***
"Kriiing..kriting."
"Halo, Assalamualaikum, siapa ini?" tanya
ibu Aulia sambil meregangkan celemek, dan menata dapur kotornya.
"Wa'alaikumussalam, Bu, Maaf apa benar ini Ibu
Aisa, isteri Bapak Sofwan?" tanya seorang pria dengan nada gagah namun santun.
"Benar, Pak saya isterinya. Ada apa ya, Pak
menelepon saya?" tanya Ibu yang mulai khawatir, mencoba menerka maksud
tujuan pria itu menelpon dirinya.
"Begini, Bu, sebelumnya saya mohon maaf, saya
minta Ibu tenang dan mohon untuk bersandar atau duduk dulu jika Ibu saat ini
sedang berdiri," pinta pria yang tidak di kenal itu. Lalu Ibu menurutinya
dengan duduk di bangku warung, berharap kabar baik yang akan ia dengar.
"Baik, Bu, kami dari pihak penanggung jawab
proyek tempat suami Ibu bekerja, ingin memberi tahu dan mengucapkan bela
sungkawa yang sedalam-dalamnya, atas meninggalnya Bapak Sofwan. Kami mohon Ibu
tenang ya, kami akan mengurus semuanya."
Kabar itu bagai hujan di siang bolong, seketika
tubuh Ibu terhuyung bersama hembusan angin. Tanpa aba-aba tubuh Ibu tergeletak
dengan ponsel yang terus berdering. Dik Salwa yang hendak mengambil bukunya
yang tertinggal di warung, kaget ketika melihat Ibu yang tertidur di lantai
dingin. Bergegas memanggil tetangga, aku yang hari itu sedang bersiap dan
berdoa di dalam kelas, untuk meengerjakan ujian akhir sekolah tidak tahu menahu
soal kepergian Bapak. Fokus mengeluarkan semua amunisi yang ku pelajari
sebelumnya, berusaha menatap lamat-lamat semua soal dengan percaya diri, dan
yakin, seperti kata Bapak dua hari lalu untuk tetap berusaha maksimal atas
segala kesempatan. Namun sekarang
keberangkatan Bapak tidak akan pernah kembali pulang ke rumah. Bapak telah
kembali kepada-NYA pemilik hati dan jiwa semua manusia
***
Satu Minggu kepergian Bapak, membuat diri ini tidak
lagi berani untuk menggapai impian. Dulu Bapak lah yang menuliskan
impian-impian ku. Menceritakan masa kecilnya yang tidak pernah memakan bangku
sekolah, dan dari itu Bapak belajar, bahwa pendidikan itu penting. Terlebih di
zaman seperti ini. Aku selalu ingat impian Bapak, namun aku takut untuk menatap
masa depan.
Hari demi hari ku lalui dengan kehampaan, hati
menahan linang air mata. Sebab Aku harus terlihat kuat dan tegar di depan Dik
Salwa, dan ada Ibu yang harus ku kuatkan dan ku jaga. Hanya merekalah
satu-satunya keluarga yang ku miliki di kota ini. Aku tahu setiap malam Ibu
menangisi kepergian Bapak. Namun, ibu berusaha tegar demi kami.
Setiap pagi, Ibu bangun lebih awal dari biasanya. Waktu
itu Aku pernah terbangun ketika mendengar gemericik air mengucur, melirik ke
atap rumah, apakah itu hujan? ternyata bukan. Itu adalah suara air yang di
pakai Ibu untuk berwudhu. Ku lihat dari celah dinding geribik, Ibu sedang
mengangkat tangan dan menyebut namaku. Membesarkan namaku dalam doanya, meminta
kebaikan segalanya untuk ku dan Dik Salwa, membuat hati ku pilu, aku manangis
saat itu. Kembali masuk ke kamar, sebelum Ibu menyadari anaknya sedang berdiri
dibalik dinding bambu.
Malam itu ku sadari, doa Ibu memang benar-benar
tiada tandingannya, tidak seharusnya aku menggantung impian Bapak, membuangnya
jauh-jauh dalam fikiran. Ku putuskan hari itu juga, bahwa Aku akan semangat
mengejar impianku.
***
Selama pandemi Covid 19, Aku memanfaatkan media online
untuk memasarkan menu masakan Ibu. Walaupun selama satu Minggu belum juga
terlihat ada pembeli yang mau membeli. Aku tetap gencar untuk mempromosikan
masakan Ibu, mulai dari teman, tetangga desa, sampai guru-guru sekolah.
Bermodalkan sepeda motor tua yang Almarhum Bapak beli waktu mendapat proyek
lumayan lama, Aku ingat betul Bapak benar-benar menabung untuk membelinya dan
Aku orang pertama yang di ajak Bapak untuk menaikinya.
Seiring berjalanya waktu, masa-masa duka setelah
kepergian Bapak kini sudah tertinggal di belakang. Ibu benar, kita harus ikhlas
atas ketetapan yang telah ditentukan, bersyukur masih bisa di beri umur
panjang, namun itu semua harus kita manfaatkan. Selagi nyawa masih bersemayam
di dalam tubuh, kita harus terus menebarkan kebaikan dan Semangat.
Terbukti dengan selalu berusaha dan diiringi dengan
doa, hasil akan mengikuti. Pembeli memberikan respon positif kepada masakan
Ibu, tidak jarang membeli dengan jumlah banyak. Perlahan tapi pasti, menu
masakan Ibu mulai bertambah, pun demikian ada yang memesan untuk hidangan
pengajian, syukuran, dan acara arisan Ibu-ibu. Benar-benar di luar dugaan,
Allah maha pemberi rezeki, Allah sebenar-benarnya penolong.
***
"Nduk, Aul, kamu daftar kuliah saja, Nduk, Ibu
bisa kok sendirian. Ini udah waktunya pembukaan pendaftaran to?" jelas
Ibu, mengingatkan soal kuliah yang memang menjadi impian Bapak. Bapak ingin
sekali bisa menyekolahkan ku dan Dik Salwa setinggi mungkin
"Iya, Bu, nanti saja. Aul masih ingin
bantu-bantu Ibu di warung. Ingin membesarkan warung Ibu dulu," Impian
Bapak tidak pernah ku lupakan, Aku akan tetap kuliah, tapi apa salahnya menunda
dulu sampai tahun depan. Aku mau nabung dulu, dan bantu Ibu di warung, ujarku
dalam hati.
"Lebih baik, dari sekarang, Nduk. Untuk apa
menunda, Ibu dan almarhum Bapakmu dulu sudah menabung di koperasi khusus untuk
sekolah mu, Nduk."
"Benar, Bu?. Kalau gitu, pakai saja, Bu untuk
modal warung kita," Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk menunda
kuliah sampai tahun depan, tapi lagi-lagi ucapan Ibu yang sangat bertuah, mampu
menembus dinding hatiku.
"Jangan, Nduk, suatu hal yang sudah kita
niatkan apalagi itu untuk kebaikan.
Jangan kita rubah, Nduk. Jangan khawatir uang, itu masih bisa di cari. Namun
kesempatan yang tidak akan datang dua kali."
Seiring berjalanya waktu, kata-kata Ibu masih saja
ku fikirkan. Sambil tetap fokus menjalani kehidupanku. Sampai suatu hari, Ibu
menceritakan perihal beasiswa. Awalnya Aku ragu sebab, apa pantas dan berhak
aku mendaftar. Sampai guru sekolahku yang menjadi langganan Ibu, meyakinkan ku
untuk mengambil beasiswa itu. Beliau membimbing dan mengarahkan langsung teknis
pendaftaran beasiswa. Perlahan-lahan, timbul rasa cinta terhadap proses
mendapatkan beasiswa ini. Aku mulai banyak membaca, dan mencari informasi
sembari membantu Ibu.
Tidak terasa hari yang di tunggu-tunggu telah tiba,
bersama Asih teman sekolah ku yang juga mengikuti test untuk mendapatkan
beasiswa. Nyali ku ciut ketika melihat banyaknya peserta yang mengikuti test,
apakah Aku akan mendapatkan Nya?
"Assalamualaikum, Bu Aisa,?
"Wa'alaikumussalam, Bu Retno. Aduh, maaf ya,
Bu, belum semua terbungkus. Say tidak tahu kalo Ibu datang diawal waktu,"
ucap Ibu, sambil sesegera mungkin merampungkan bungkusan kue kering.
"Santai saja, Bu. Anu ... Bu, saya memang sengaja
kesini pagi-pagi. Karena saya mau ngasih kabar baik, Bu untuk Aulia."
"Aulia, Bu? Kabar baik kan, Bu?" tanya
Ibu, menelisik mencari tahu.
"Iya, Bu, kabar baik. Aulia lulus, keterima
beasiswa di kampus. Jadi besok Aul, disuruh melengkapi berkas-berkas Bu."
"Alhamdulillah ...."
Aku yang saati itu, tengah mencuci piring dan sadar
kedatangan Bu Retno membawa kabar baik, terkejut tanpa bisa berkata-kata. Hanya
ucapan Alhamdulillah, sebagai bentuk rasa syukur ku kepada Allah SWT.
Terima kasih atas doa-doa dan motivasinya Bu.
Bab 18
Terdampar
Arianita yulianingsih
Sebut saja laki-laki itu, Hendrik Wijaya, anak dari seorang saudagar
kaya, di salah satu pulau, tepatnya di pulau Buton. Pak Narto dan ibu Sarminah
adalah sepasang suami istri yang terkenal kaya raya dan dermawan.
Memiliki rumah mewah di tengah pulau, kapal pribadi, dan terdapat usaha
lain di bidang penerima ikan dari para nelayan. Hendrik ingin sekali merantau
dan berkeinginan menjadi pelaut.
Dia pun mendapatkan kesempatan itu.
Tanpa pikir panjang, Hendrik langsung minta izin kepada ke dua orang
tuanya dan kepada saudaranya.
“ Ibu! Hendrik pamit dulu ya bu? Pak? Restuin Hendrik untuk bekerja di
kapal itu, ini adalah kesempatan Hendrik untuk bekerja dikapal. “ pamit Hendrik
pada orang tua dan keluarganya.
“ Hati-hati ya nak ! Doa ibu selalu menyertaimu, bapak pun juga begitu.
Yang penting, selalu ingat nasehat kami dan jangan tinggalkan shalatmu di sana”
Terlihat rawit wajah ayah, dan tak berucap sedikit pun melihat kepergian
ku. Hanya diam, tapi tatapannya itu banyak arti, seakan tak mengizinkanku
pergi, saat itu. Hendrik pun melangkah beriringan dengan orang tuanya dan
beberapa keluarga nya yang ada saat itu. Perlahan aku melangkah menaiki kapal,
dari atas kapal terlihat mereka tak henti melambaikan tangannya pada Hendrik.
“ Hen, kalau bisa jangan pergi nak! Akan ada yang terjadi, bapak mohon, Astagfirullahallazim...
Ya Allah SWT! Jauhkan lah firasat buruk ini Ya Allah! “ ucap bapak dalam hati
tapi tak mampu dia ucapkan, seperti pita suara nya tertahan oleh sesuatu, ingin
sekali dia melarang buah hatinya untuk pergi berlayar.
Di
kapal, Hendrik sangat
menikmati pekerjaannya. 3 bulan berlalu, Hendrik tak kunjung memberi kabar pada
keluarganya.
“Pak’e ke mana toh! Putra mu? Udah 3 bulan nggak ada kabar? Kenapa ibu
nggak enak hati begini ya pak?” tutur ibu dengan suara yang selalu lembut.
“Wong sabar, toh buk! Kita doakan Hendrik baik-baik saja.” jawab bapak
menenangkan ibu yang merasa gelisah.
Di tempat lain, persis di tengah
laut melintasi pulau Sumbar. Kapal pun berhenti, Tersandarnya kapal, dengan
cepat mendatangkan segerombolan orang yang menggunakan kapal kecil, satu per
satu naik ke dek kapal dan dengan cepat menguasai kapal kami. Wajah yang tampak
sangar menakutkan dan membawa beberapa barang-barang yang berbahaya naik ke
atas kapal dengan brutal.
Walaupun ini adalah kapal yang besar namun, beberapa ABK kapal tak
mungkin bisa melawan orang-orang menyeramkan ini. Ya! Bisa dibilang mereka
adalah bajak laut yang ingin menguasai kapal.
Beberapa orang mencoba melawan bajak laut itu, hal hasil, malah nyawa
mereka yang melayang, dengan sadis mereka menusuk para ABK kapal tanpa hati
nurani.
Dengan cepat perumahan darah terjadi di atas kapal pesiar itu. Dengan
rasa takut, Hendrik berusaha untuk bersembunyi di antara tiang-tiang kapal,
dari belakang ada yang menarikku dengan cepat.
“Dewo? Kamu?” tutur Hendrik dengan kaki yang gemetaran.
“Shuuutt... Ayo ikut aku?” ajak
Dewo, Hendrik pun mengikuti langkah Dewo ke dalam sebuah ruangan, ternyata di
dalam ruangan itu terdapat sekitar 10 orang lagi, mereka selamat.
“Untuk sementara, kita diam di sini dulu! Kita harus berusaha untuk bisa
menyelamatkan diri dan kabur dari kesadisan mereka.” Dewo berusaha mencari jalan
keluar agar bisa kabur dari kapal ini dan dari kebrutalan para pembajak laut
itu.
Sampai akhirnya, mereka memutuskan untuk menjatuhkan diri ke laut lepas,
berusaha sekuat tenaga untuk berenang jauh dari kapal yang telah dikuasai oleh
para pembajak itu.
Sayangnya kami berada di laut lepas, nggak akan mungkin rasanya kami bisa
berenang dengan selamat sampai kedaratan dengan berbekal pelampung seperti ini.
Hendrik, Dewo, Syahrul dan beberapa orang yang berhasil kabur, dengan sebisa
mungkin untuk berenang, walau pun rasa mustahil tapi harus tetap berusaha dan
memohon pertolongan dari yang maha Agung, dan selalu meyakinkan diri doa ibu
selama ini bisa menolong ku keluar dari kesulitan ini. 1 har 1 malam mereka
berusaha berenang hingga kedaratan, tapi sayang, beberapa diantara mereka nggak
sanggup bertahan dan mati kedinginan.
Akhirnya sampai juga, mereka berenang hingga ke pulau kecil yang tak
berpenghuni, yang terlihat hanya ada bintang-binatang melata dan pohon besar
tanpa berbuah, itu pun hanya ada pohon kelapa yang menjulang tinggi hanya bisa
berharap buah itu jatuh dengan sendirinya.
“Syahrul, kita ada dipulau apa ini?” pertanyaan Hendrik yang tak ada satu
pun temannya bisa menjawab.
“Entah lah Hen! Aku juga baru lihat dan baru ke sini!” jelas Syahrul.
“Yang penting kita tak akan bernasip sama kayak teman-teman kita yang
lain.”
“Apa kamu yakin? Kita bisa bertahan hidup di tempat seperti ini?” ucap
Dewo yang sepertinya sudah mulai panik.
“Sudahlah, jangan terlalu panik, ini kehendak Allah SWT. Walau pun kita
harus mati perlahan-lahan di sini? Ikhlas kan diri saja. Mungkin ini adalah
takdir kita berenam.
Sebisa mungkin, mereka bertahan dengan memakan apa pun yang ada di dekat
mereka. Mencoba mencari ikan, minum dengan air asin atau air dari tampungan
lobang batu dari embun malam atau kalanya di saat hujan datang.
Tak ada yang bisa dimakan, mereka bertahan hanya untuk hidup dan berharap
suatu keajaiban datang menolong mereka. Sampai lah 4 bulan terakhir, Hendrik
kehilangan satu per satu teman nya hingga tinggal 3 orang yang tersisa termasuk
Hendrik.
Di Pulau Buton, sang ibu dan bapak sudah
kebingungan karena mendapat kan kabar dari pusat, bahwa kapal layar yang
ditumpangi putranya n sekaligus bekerja di kapal itu, dikabarkan tenggelam,
karena para pembajak itu sengaja memutuskan kontak ke pusat agar tak terlacak
lagi dari pusat.
Seminggu ibu dan bapak melakukan tafakur dan shalat istiqharah meminta
petunjuk dari Allah SWT.
Suatu malam, bapak mendapatkan mimpi, didalam mimpi sang anak berada
dalam satu lobang dan mnjerit meminta pertolongan. Dengan cepat bapak
memerintahkan anak buahnya, untuk menyiapkan kapal pribadi milik nya. Bapak dan
beberapa anak buah nya segera bersiap-siap berlayar ke suatu pulau, selang 1
bulan lebih bapak dan para pengikutnya menelusuri perairan yang dia lihat dalam
mimpinya.
***
Di
pulau itu, Hendrik,
Dewo, Syahrul, sudah terbaring lemas dipinggir pantai.
“Rul! Hendrik! Kalau selama bersama kalian saya banyak menyusahkan kalian
saya minta maaf ya?” ucap Dewo pasrah.
“Apa, yang kamu ucapkan wa? Kita harus yakin cepat atau lambat, kita bisa
keluar dari tempat ini! “Hendrik berusaha untuk memberi semangat kepada
temannya, walau pun dia sadar dia sudah tidak kuat lagi.
Dua minggu sebelum kapal
bapak datang, satu per satu Hendrik kehilangan teman-temannya. Dia tetap
bertahan, tubuh seakan sudah menempel di atas pasir pantai, sudah tak bertenaga
lagi. apa pun, saat itu yang melintas didepan nya dia lahan bagaikan zombie,
demi bertahan hidup yang sudah mulai kritis. Tubuh telah tampak menyedihkan
bagaikan tulang dibalut kulit, telah menempel di atas pasir.
Setengah sadar, Hendrik melihat wajah bapaknya ada dihadapan dia, antara
mimpi atau kenyataan. Dia berusaha membuka matanya yang hampir tertutup.
“Ya Allah SWT...! Bapak! Itu benar bapak?” dengan sigap orang-orang
terpercaya bapak langsung membawa Hendrik pulang.
Enam bulan bertahan
dengan makan dan minum yang tidak layak dikonsumsi, itu adalah hal yang
mustahil bisa hidup dan selamat. Tapi balik lagi pada kekuasaan Allah SWT tidak
ada yang tidak mungkin di dunia ini, atas izin Allah SWT.
Hendrik pun selamat walau pun, dia terbaring koma setengah bulan sampai
akhirnya, dia sembuh dan dapat beraktivitas seperti biasa lagi, Dan menjadikan
dia lebih sukses dari yang sebelumnya. Keyakinan diri dan doa ibu selalu
menyelamatkan kita dari segala keburukan.
Bab 19
Secarik
Kisah
Arti Nur Hayati
Di ruang kerjanya. "Mbak ada masalah sama
komputernya, ini gimana ya?" ucap Aya pada Nur. "Oh Aku panggil
faizal, dia mahir ginian," Nur pergi meninggalkan Aya.
Karena ruangan mereka berbeda maka Aya menunggu,
setelah lama Aya menuggu akhirnya Nur datang bersama Faizal.
"Mana yang bermasalah," ucap Faizal
singkat. "Oh Aku nggak ngerti ini," ucap Aya spontan, sedangkan Nur langsung kembali ke mejanya, Aya dan
Faizal masih sibuk dengan masalah komputer. Tanpa waktu yang lama akhirnya
Faizal dapat membereskan masalah dalam waktu 15 menit saja, padahal saat Aya
mencoba tadi dia begitu bingung dan frustasi karena banyak data yang penting.
"Terima kasih sudah membantu padahal Kamu juga
sedang sibuk, sebagai gantinya Aku traktir makan saat nanti pulang kerja
bagaimana? Oh iya kenalin Aku Aya," menyodorkan tangan kanan namun Faizal
menolak dengan cara halus dan untungnya Aya faham sehingga ia menarik
tangannya. "Oh santai aja kebetulan kerjaanku juga sudah selesai, tidak
perlu Aku tulus membantu kok terima kasih tawarannya. Kenali Aku Faizal salam
kenal, yasudah Aku balik dulu," pergi menjauh namun terhenti saat
seseorang berbicara. "Aku akan menunggu di depan kantor, Aku harap kamu
datang," kembali fokus pada pekerjaannya tanpa menunggu jawaban dari
Faizal. Sedangkan Faizal terdiam sebentar walau pada akhirnya ia pergi tanpa
memberikan jawaban pada Aya.
Sore puntiba akhirnya para pekerja kantoran pulang
namun tidak dengan Aya pada hari ini karena dia harus membayar hutang budi atas
bantuan dari Faizal itu. Cukup lama ia berdiri di depan gedung kantor mungkin
hampir 30 menit. Matanya selalu tertuju pada pintu keluar beharap orang yang ia
tunggu datang. Orang yang ia tunggu pun akhirnya datang, tanpa pikir panjang
Aya mendekat.
"Hai Faizal mari makan di warung *******. Ayo
cepat keburu habis nanti," ucap Aya sepontan. "Hai kamu nungguin aku
dari tadi? Aku sudah bilang nggak usahkan," heran.
Akhirnya pun Faizal menuruti kemauan Aya, pada
awalnya ia menolak keras ajakan Aya bahkan mereka sempat berdebat panjang
sampai dilihat banyak orang.
"Maaf ya Faizal Aku mengajakmu di tempat
seperti ini tapi disini makanannya enak jadi Aku memberanikan pilih tempat ini
dan jangan cemberut dong Aku jadi nggak enak," wajah memelas. "Huh
iya nggak papa Aku nggak masalah," menghela nafas panjang karena kesal Aya
memaksanya.
Setelah memesan mereka pun menyantap makanan
masing-masing. Di meja makan itu hanya terdengar suara garpu dan sendok. Tidak
ada pembicaraan antara mereka namun kebisuan itu buyar saat Aya menjatuhkan
sendok.
Klutak
"Ah maaf, yah bajuku kena noda deh Aku ke
toilet dulu ya," bangun dari tempat duduk dan hanya diangguki Faizal.
Setelah selesai dengan masalah bajunya itu Aya kembali ke meja. "Ini
keringakan bajumu itu, lihat masih basah," memberikan tisu. Aya melihat
bajunya itupun langsung mengambil. Tak lama terdengar suara yang membuyarkan
konsentrasi mereka.
Nguk
nguk nguk
"Ya hallo, apa?? Bagaiaman bisa terjadi!!
yasudah Aku akan segera kesana!" menutup telepon. "Maaf, apa terjadi
sesuatu?" Tanya Aya ikut panik. "Maaf Aku harus segera pergi karena
nenekku jatuh dan sekarang ada di RS. Maaf saya permisi dan terima kasih
traktiranya," pergi. Aya hanya bisa menganggukkan kepalanya dan berharap
nenek faizal baik-baik saja.
"Ah sial kenapa harus bocor sekarang
sih!!" frustasi. Aya kaget melihat Faizal masih ada di depan warung saat
ia keluar. "Lho kok masih disini Faizal?" Kaget. "Ban mobilku
bocor Aya, nunggu ojol bakal lama," makin kesal. "Yaudah Faizal, naik
mobilku aja ayo buruan" menarik tangan Faizal tanpa sadar.
Akhirnya pun Faizal mengikuti saran dari Aya, dalam
mobil hanya ada keheningan karena Faizal fokus mengendarai sedangkan Aya tidak
berani bertanya pada Faizal karena takut membuatnya semakin panik. Dengan
kecepatan cukup tinggi akhirnya Faizal Sampai di RS, dengan lari ia mencari
ruang UGD dengan perasan tidak karuan dan wajah pucat. Sedangkan Aya hanya bisa
diam mengikuti Faizal, ia tidak tega meninggalkan Faizal dengan kondisi seperti
itu.
Sampailah ia di UGD, dia hanya bisa menatap neneknya
yang terbaring di tempat tidur itu dengan perasaan terpukul dari balik pintu
yang bagian atasnya ada kaca transparan sehingga ia dapat melihat kondisi
neneknya. Aya yang sedari tadi masih setia menunggu dari kejauhan pun juga ikut
merasa sedih, setelah agak lama Aya mencoba mendekati Faizal yang masih kalut
dalam kesedihannya.
"Yang sabar yang Faizal, moga nenekmu lekas
membaik. Kamu harus yakin nenekmu kuat dan berdoa terus Faizal," dengan
suara lirih. Faizal hanya terdiam tanpa menangapi ucapan Aya. Aya hanya bisa
terdiam dengan reaksi yang ditunjukan Faizal, namun saat ia hendak menjauh dari
Faizal tiba-tiba Faizal mengeluh pusing dan hampir jatuh. Untungnya Aya
berhasil menangkapnya sebelum jatuh. Setelah Aya meminta Faizal duduk tiba-tiba
Faizal menangis tersedu tanpa memperdulikan kesehatannya. Aya yang panik
langsung memegang pundaknya agar Faizal tidak begitu bersedih. Suara dari
seseorang membuat Aya terkejut.
"Aya? apa kau tau kenapa Aku sebegitu sedihnya
dan terpukul akan kondisi nenekku sekarang," suara serak. "Hemmm,
kenapa Faizal? Aku akan mendengarkan katakanlah apa yang sedang kamu
rasakan," mengengam tangan sendiri.
"Dulu masa kecilku tidaklah bahagia Aya karena keberadaanku
sebenarnya tidaklah diharapkan oleh ibuku," tanpa sadar menyandarkan
kepalanya di bahu Aya. "Lalu apa yang selanjutnya Faizal?" sempat
kaget dengan tindakan Faizal namun melihat Faizal dalam kondisi kalut ia pun
membiarkannya.
Faizal menceritakan masa kecilnya pada Aya tanpa
ragu padahal ia belum pernah menceritakan masalah pribadinya atau pun kisah
masa kecilnya kepada siapa pun. Faizal pun menceritakan bahwa ia adalah anak
dari hasil perbuatan orang bejat yang memperkosa wanita yang masih berusia 19
tahun hanya untuk kepuasan nafsunya. Ibu dan neneknya tidak berdaya untuk
melaporkan si pelaku dan memilih menutup rapat-rapat kejadian itu, karena hal
memalukan itu ibunya sempat ingin mengugurkan kandungannya namun dicegah oleh
neneknya karena tindakan itu melanggar agama, negara dan merebut hak hidup dari
si janin. Ibunya tetap nekat mengugurkan kandungannya itu dengan berbagai cara
dan dilakukan secara diam-diam agar nenek tidak mencegahnya. Namun takdir
berkehendak lain sehingga ia pun lahir, walau begitu ada harga yang mahal yang
harus dibayar untuk kehidupannya yaitu dengan meninggalnya ibunya. Di
detik-detik terakhir ibunya berpesan pada nenek bahwa dia harus menjaga cucunya
dengan segenap hati dan semua yang terjadi padanya bukanlah salah dari bayi
mungil itu. Dan benar saja nenek merawatnya dengan menjadi ayah, ibu, sekaligus
menjadi nenek karena itu Faizal takut kehilangan beliau. Aya menjadi teringat
keluarganya dan ia meneteskan air mata. Setalah itu Aya pamit pulang dengan
perasaan tak rela dan sesampainya ia langsung memeluk Ayah dan Ibunya seraya
mengucap kata terima kasih dan maaf berkali-kali, melihat Aya seperti ini
mereka bingung. Kisah hidup Faizal membuat Aya sadar akan penting dan seberapa
berharganya sebuah keluarga, disaat itu ia pun berjanji akan menjaga dan
membahagiakan orang tuanya.
Bab 20
Mendekap
rindu
Asfyasma
Nana membolak-balikkan foto yang tergeletak di atas
meja belajarnya. Diamati dalam-dalam gambar Ayah dan ibunya, di sampingnya ada
Ridho, kakaknya, dan Abdi, adiknya yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar.
Sudah satu semester ia tidak pulang ke rumah semenjak liburan semester lalu.
Baru beberapa jam kakaknya menelepon, Ia justru semakin rindu.
Ia pun tak sabar menunggu liburan semester ini. Kegiatan
di kampus yang padat, serta jarak Yogyakarta-Semarang yang cukup jauh
membuatnya selalu menunda kepulangan.
Tak ingin mengikuti jejak Ridho kuliah bisnis, Nana
memilih untuk menjadi dokter. Sejak kecil Ia memang lebih tertarik dengan dunia
kesehatan. Demi mewujudkan impiannya, gadis berusia 20 tahun itu belajar dengan
sungguh-sungguh tentang ilmu kedokteran dan tak pernah melewatkan kesempatan
bergabung menjadi anggota PMR waktu SMA, sampai akhirnya ia diterima di sebuah
Universitas di Yogyakarta melalui jalur Beasiswa dari pemerintah.
Nana senang bukan main, walaupun sempat beradu
pendapat dengan kedua orang tuanya saat itu. Ayah dan ibunya tidak setuju jika
Ia kuliah di Yogyakarta, mereka ingin Nana tetap kuliah di Semarang seperti
kakaknya.
Sebagai kakak, Ridho ingin membantu mewujudkan mimpi
dan cita-cita Nana, Ia pun mencoba berbicara kepada kedua orang tuanya, dan
memberi pengertian kepada mereka sampai akhirnya Nana di izinkan kuliah di
Yogyakarta.
“Nana kan sudah dewasa, dia paham mana yang menurutnya
baik, mana yang menurutnya buruk. Jangan sampai keinginan Ayah dan ibu
menghalangi cita-citanya. Kalau Nana berhasil, Ayah dan ibu banggakan?” ujar
Ridho memberi pengertian kepada kedua orang tuanya.
“Tapi Ayah keberatan membiarkan Adik kamu jauh dari
keluarga. Kalau terjadi sesuatu dengannya, siapa yang mau menjaga? “
“InsaAllah Nana bisa jaga diri, Yah.” Sahut Nana
yang sejak beberapa saat lalu hanya bungkam duduk di samping kakaknya.
Nana kembali meletakkan fotonya, Tiba-tiba terdengar
HP-nya berdering, ia segera mengangkat telepon dari kedua orang tuanya.
“Assalamualaikum Bu,” sapa Nana setelah membaca nama
yang meneleponnya.
“Waalaikumsalam Kak, ini Abdi.”
“Oh, Abdi adik Mbak sayang, apa kabar?
Mbak kangen banget sama kamu. Ayah dan Ibu mana?”
“Lagi pergi Kak. Aku sama kak Ridho.”
Nana dan Abdi mulai mengobrol, sesekali terdengar
suara Ridho yang nimbrung ikut bicara.
“Dik, kamu apa kabar?” tanya Ridho.
“Alhamdulillah baik-baik aja, Kak.” Sahut Nana.
“Jaga kesehatan terus ya, jangan sampai sakit.
Jangan bikin Ayah dan ibu khawatir. Uang saku kamu masih ada kah?”
“Em, masih kok, Kak.”
“ Bagus lah kalau begitu, berarti Kakak nggak perlu
kirim lagi, takutnya kamu nggak butuh, nanti malah mubazir, kan?” gurau Ridho
disertai tawa yang membuat Nana cemberut.
“Iiih, Kakak... “
“Kak Nana kapan pulang? Suara Abdi kembali
terdengar.
“Sabar ya, mungkin liburan nanti kakak pulang.
Tunggu kakak, ya? “
“Kak Nana kalau pulang, aku dibawain mainan sama
roti yang manis ya, Kak.” Suara polos Abdi selalu membuat Nana merasa rindu. Ia
jadi teringat moment bermain dan
bercanda bersamanya, ditambah lagi kakaknya yang humoris selalu membuat suasana
rumah semakin ramai. Laki-laki berusia 24 tahun itu selalu memiliki cara
berkesan untuk membahagiakan kedua adiknya.
Hampir 30 menit mengobrol, Nana kemudian menutup
telepon setelah berjanji akan membawakan Oleh-oleh untuk adiknya.
Kejadian beberapa waktu yang lalu tiba-tiba melintas
di pikirannya. Saat Ia mendapat cibiran dari teman-temannya dan juga senior di
kampus karena dituduh menjadi selingkuhan Dosen barunya.
Nana dan pak Radit memang cukup akrab, namun hanya
sebatas dosen dan mahasiswa.
Suatu hari, Mereka tak sengaja bertemu di sebuah
Rumah makan, saat itu beliau sedang membelikan makan siang untuk istrinya.
Karena sudah cukup akrab, mereka pun makan siang bersama satu meja. Pak Radit
juga membelikan makanan untuk dibawa pulang oleh Nana, Dosen muda itu memang
cukup dermawan soal memberi. Namun, beberapa mahasiswa selalu salah paham
dengan sikapnya terhadap Nana.
“Diam-diam ternyata buaya” sindir salah satu
mahasiswa yang iri dengannya. Mahasiswa yang lain justru ikut mengompori.
“Emang ada, buaya menggonggong. Ha..ha..ha..”
Gelak tawa mereka menyakiti hati Nana. Namun gadis
itu tak pernah sekalipun membalas cibiran mahasiswa yang merendahkannya, bahkan
ketika semua orang tidak ada yang peduli dengan perasaannya, Nana lebih memilih
diam, Ia selalu mengingat keluarganya. Bagaimana Ayah dan ibunya memeluk erat
saat ia akan berangkat ke Yogyakarta, Kakaknya yang selalu menjadi pendorong
semangatnya dan juga Abdi yang masih kecil selalu membuatnya kuat karena
kepolosannya.
Masa-masa bersama keluarga memang tak semua tentang
tawa, perdebatan dan perselisihan terkadang tak bisa dihindari. Namun, kasih
sayang yang tulus serta ikatan darah yang mengalir tak akan pernah bisa ditukar
oleh apa pun. Bahkan harta sekalipun.
Nana menyadari, Ayah dan ibunya tak lelah berdoa
untuk masa depannya, Ia tak mau mengecewakan mereka.
Hidup di perantauan, dengan beragam masalah yang
dihadapi mengajarkan Gadis itu tentang makna kehidupan. Tidak semua masalah
bisa Ia ceritakan kepada keluarganya yang nantinya hanya akan menambah beban,
namun setiap masalah pasti hadir dengan jalan keluarnya.
“Apapun yang terjadi dalam hidup kamu, hadapilah!
Jangan lari dari masalah. Jika memang kamu yakin dengan mimpimu, kejarlah!
Lakukan yang terbaik. Belajarlah dengan
sungguh-sungguh. Ayah dan Ibu hanya bisa mendoakanmu”. Nana tak kuasa menahan
air mata setiap ayahnya berkata seperti itu. Ia selalu ingin dekat dengan
keluarganya. Namun jarak dan waktu yang memisahkan, membuatnya harus bertahan
dalam kerinduan.
Tiba saat liburan akhir semester, Nana tak sabar
ingin segera pulang ke Semarang. Rasanya semua masalah hilang seketika, saat ia
mengingat keluarganya. Benar kata orang, rumah adalah surga. Tempat ternyaman,
tempat kembali pulang.
Tak lupa dengan janjinya kepada Abdi, Nana
membelikan mainan untuknya, serta beberapa makanan khas Yogyakarta yang menjadi
favorit keluarganya.
Bab 21
Kembali
PadaMu
Zerura
"Besok-besok
jilbabnya jangan terlalu panjang kaya gini, Ra! Kamu jadi keliatan kayak
ibu-ibu."
"Azura,
kamu kalo lagi jalan sama aku dandan, dong, biar gak keliatan pucet gitu."
Itulah
beberapa komentar Bintang-pacarku, saat ia mengajakku jalan. Kami menjalani
hubungan jarak jauh, atau biasa orang bilang LDR. Ketika kami bertemu, Bintang
selalu menuntut agar penampilanku seperti yang diinginkannya.
Aku
mengenalnya dari Sarah-sepupunya yang juga sahabatku di bangku kuliah. Bintang
itu anak basket yang sangat modis, sedangkan aku hanya seorang kutu buku yang
lebih banyak menghabiskan waktu di perpustakaan. Sekarang hubungan kami sudah
masuk tahun kedua, dia kuliah di salah satu Universitas Swasta di Depok,
sementara aku dan Sarah kuliah di salah satu Universitas Negeri di Bandung.
Biasanya Bintang ke rumahku sebulan sekali, kami menghabiskan waktu bertiga
bersama Sarah dengan berjalan-jalan ke tempat wisata atau sekadar pergi ke mal.
"Assalaamu'alaikum,"
ucap Bintang dan Sarah bersamaan.
"Wa'alaikumsalam,
masuk aja, Nak Bintang, Nak Sarah. Sebentar ya, Azuranya lagi siap-siap,"
ucap Ibu mempersilakan mereka masuk.
Mendengar
suara mereka, aku bergegas keluar kamar dan menghampiri mereka di ruang tamu.
“Ayo kita berangkat!” kataku penuh semangat. Rencananya kami ingin pergi mal.
"Kamu
yakin mau pake baju itu?” tanya Bintang.
“Emang
kenapa?” kataku balik bertanya.
“Ga
ada yang lain? Itu terlalu biasa, Ra," protes Bintang kepadaku.
Untuk
kesekian kalinya, Bintang mengatur caraku berpakaian. Aku menolak untuk
mengganti bajuku karena warna baju ini adalah warna kesukaanku. Bintang hanya
terlihat pasrah dengan wajah yang ditekuk.
Di
sepanjang perjalanan, Bintang diam saja dan fokus menyetir.
"Nanti
kita mampir ke toko buku, kan?" tanyaku berusaha memecah keheningan.
Kulihat
Sarah mengangguk mengiyakan, sedangkan Bintang hanya berdehem tanpa menoleh ke
arahku. Sangat menyebalkan!
Sesampainya
kami di mal, Bintang mengajak kami untuk pergi ke toko baju wanita. Katanya dia
ingin membelikanku sebuah baju, aku hanya menurut dan mengikuti langkahnya
menuju toko itu.
“Iih
Bintang, kok yang mau dibeliin baju Azura doang. Akunya nggak?” goda Sarah.
Bintang tak menanggapi, ia terus melangkahkan kaki melihat-lihat baju yang ada
di dalam toko.
Bintang
menghentikan langkahnya di jejeran atasan wanita, dia meminta kepada SPG yang
ada di sana untuk mengambilkan baju yang ia pilih yang seukuran dengan badanku.
"Baik,
Pak. Saya ambilkan dulu."
Tidak
lama kemudian, SPG datang dengan baju yang diminta Bintang. Sarah pun tak mau
kalah, ia ikut mengambil salah satu baju untuk dicobanya.
Bintang
menyuruhku mencoba baju itu di ruang ganti bersama Sarah yang juga mau mencoba
baju yang ia pilih.
Selesai
mengganti baju, aku melihat pantulan diriku di cermin. Aku hanya diam sambil
terus menatap pantulan diriku. Rasanya aneh, aku seperti melihat orang lain.
Aku dengan pakaian yang hampir memperlihatkan bentuk tubuhku, juga hijabku yang
sangat pendek.
“Azura,
kamu kenapa, kok malah nangis?” tanya Sarah mengagetkanku. Suaranya
menyadarkanku dari lamunan, bahkan air mata pun tak terasa kini sudah membasahi
pipi. Aku hanya diam tak menjawab. Merasa kecewa dengan diri sendiri, mengapa
dengan bodohnya aku menuruti semua perintah Bintang untuk mengubah
penampilanku? Begitupun dengan Sarah. Dia sahabatku, tapi malah ikut andil
membuatku seperti ini.
"Ra,
udah belum nyoba bajunya?" suara Bintang mengalihkanku. Aku segera
menghapus air mata, melihat ke arah cermin untuk memastikan keadaan wajahku.
Aku mengambil bedak tabur dari dalam tas, sedikit menepuk-nepukkannya ke
wajahku dan memoles sedikit gincu di bibirku
"Wah
… bagus Ra, cantik. Oke, aku bayar dulu ya, bajunya," kata Bintang. Namun
aku menolaknya karena aku tidak suka dengan model bajunya yang terlalu pas di
tubuh. Aku merasa malu memakainya.
Mendengar
penolakkanku, Bintang terlihat sedikit kesal. Dia pergi begitu saja ke arah
kasir.
“Sar,
mana baju kamu? Jadi mau dibayarin gak, nih?” tanya Bintang dengan nada yang
ketus. Sarah menggandengku ke arah kasir dan memberikan bajunya untuk dibayar.
Keluar
dari toko baju, kami pergi ke Restoran Jepang untuk makan siang. Setelahnya
kami mampir ke toko buku. Aku ingin membeli buku untuk mata kuliah, Sarah
memilih pergi ke rak di mana novel-novel fiksi berada. Sedangkan Bintang hanya
menunggu di kursi yang disediakan sembari bermain game di ponselnya.
Setelah
membeli buku, kami langsung pulang. Aku meminta mereka untuk menurunkanku
sampai depan rumah saja. Aku beralasan kalau aku lupa dalam waktu dekat ada
acara penting di tempatku bekerja, jadi aku harus meyiapkannya dari sekarang.
Setelah mobil mereka pergi, aku masuk ke dalam rumah untuk membersihkan diri
dan mendinginkan otak.
•••••
Saat
tengah malam, aku terbangun dari tidurku. Aku menatap lurus ke arah dinding,
memikirkan kejadian tadi siang saat di ruang ganti. Entah mengapa hatiku sangat
gusar dan merasa tidak tenang. Rasanya seperti ada sesuatu yang mengganjal di
hati. Aku beranjak dari tempat tidur dan kupaksakan diri untuk melakukan salat
malam.
Dalam
salat, aku merasa sangat dekat dengan Allah. Tanpa terasa, air mataku menetes
dan tangisku pun pecah dalam sujud yang panjang. Aku menangis dalam setiap
gerakan salatku. Hingga aku mengucapkan salam, aku masih belum bisa menghentikan
tangisku. Di keheningan malam itu, semua keresahan hatiku, aku ungkapkan pada
Allah. Aku benar-benar menyerahkan semua padaNya. Aku baru tersadar, ternyata
sudah begitu lama aku tak bermunajat seperti ini. Terakhir kali yang kuingat
saat menjelang aku UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri).
Aku
berdoa kepada Allah agar diberikan pentunjuk dan kemudahan untuk semua
urusanku, apa pun yang terjadi nantinya, aku memohon agar diberikan yang
terbaik. Selesai berdoa, aku kembali naik ke atas ranjang. Tiba-tiba aku
teringat pada Mbak Okta, Seniorku di ROHIS SMA. Dari beliaulah, aku mengenal
Islam lebih dalam. Tentang bagaimana menjadi muslimah yang sesungguhnya.
Berawal dari kekagumanku pada wanita shalihah itu, akhirnya Allah memberiku
kesempatan untuk hijrah. Aku mulai mengenal hijab dan mengikuti kegiatan
keagamaan di SMA.
Aku
mengambil ponsel di atas nakas, membuka room chat Mbak Okta dan
mengetikkan kata-kata di sana. Mulai dari bertanya kabar hingga mengajaknya
bertemu. Aku juga menceritakan semua kegalauanku selama ini, termasuk masalahku
bersama Bintang. Setelah dirasa cukup, aku pun tertidur dengan hati yang
tenang.
***
Allahu akbar
… Allahu akbar ….
Samar-samar
kudengar suara Azan Subuh. Aku terbangun dan bergegas ke kamar mandi untuk
mengambil air wudu.
Ibu mengetuk pintu
kamarku dan mengajak Salat Shubuh bersama. Selesai
salat berjamaah, aku sempatkan untuk mengobrol bersama Ibuku. “Ra, Ibu
perhatikan akhir-akhir ini kok, kamu agak murung dan kurang bersemangat?
Apalagi kalo ada Bintang sama Sarah,” tanya Ibu sambil mengusap kepalaku dengan
lembut.
Tiba-tiba saja air mataku
mengalir. Ibu terlihat bingung dan khawatir melihat ku menangis. Beliau
bertanya, ada apa denganku? Aku hanya menggelengkan kepala sebagai jawaban, dan
akhirnya Ibu membiarkan ku menangis di dalam pelukannya.
Setelah tangisku mereda,
aku bercerita pada Ibu bagaimana tertekannya aku harus menjadi orang lain, aku
merasa selama ini Bintang sepertinya tidak benar-benar tulus padaku. Ibuku pun
akhirnya mengatakan isi hati terdalamnya bahwa sebenarnya dia kurang suka jika
aku bersama Bintang. Karena Ibuku melihatku banyak berubah. Aku jadi lebih
sensitif dan penampilanku jadi tidak natural lagi. Beliau memintaku untuk bisa
menjadi diri sendiri dan bersikap bijak. Namun jika dirasa aku sudah tidak
nyaman maka lebih baik berpisah dengan baik-baik, agar dikemudian hari masih
bisa tetap bersilaturahmi.
***
Ting!
HP-ku berbunyi, tanda ada pesan yang masuk. Aku membuka aplikasi chat-ku,
ternyata ada pesan dari Mbak Okta. Kubaca isinya, Masyaa Allah sangat menyentuh
hati. Ada beberapa pesan yang masuk dari Mbak Okta, selain menanyakan kabarku
sekarang dan menerima tawaranku untuk bertemu. Ada satu pesan yang begitu
mengena dihatiku dan membuatku semakin yakin untuk mengambil keputusan.
Isi pesannya adalah
[Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang
(tergantung) apa yang diniatkan; barangsiapa niat hijrahnya karena Allah dan
Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya." (H.R.
Bukhari)]
Bab 22
Waktu untuk Pulang
Paseutel
Awan
kelabu bergumul di langit bulan Agustus yang akrab dengan kemarau. Seakan-akan
turut membawa lara hanya untuk menghujam hati anak manusia.
Buntara
Adisatya—atau yang akrab disapa Tara—menghembuskan asap pekat dari batang
nikotin yang dihisapnya pagi ini. Di atas salah satu rooftop bangunan tempatnya
mengadu nasib, ia membagi kegundahannya bersama satu pack rokok dan sebuah
korek api. Semilir angin dibarengi kelamnya suasana mendung di pagi hari,
membuat pikiran Tara berkecamuk. Berkelana ke berbagai kenangan pahit yang
seharusnya ia lupakan sejak lama.
Tara
menghisap rokoknya dalam-dalam sembari memejamkan mata. Lalu, perlahan ia
menghembuskan asap nikotin itu entah untuk kesekian kalinya. Ia menjatuhkan
batang rokok yang hanya tersisa filter-nya, lalu menginjaknya. Kemudian, ia
kembali memejamkan matanya perlahan.
Kenangan-kenangan
itu terus menghujam pikiran Tara, memaksanya untuk terus mengingatnya. Tara
benar-benar tak diberi sedikitpun kesempatan untuk melupakannya.
Tak
tahan, Tara akhirnya membuka mata. Dan betapa terkejutnya ia ketika tiba-tiba
dirinya sudah duduk di sofa ruang tamu rumahnya dulu. Sebelum ia memilih untuk
menetap di suatu tempat.
Bohong
jika Tara tidak rindu. Bahkan sekarang, matanya berkaca-kaca saat menelisik
sekeliling ruangan ini. Dinding-dinding yang penuh dengan pigura foto, sofa
berwarna abu-abu kesukaan Tara, atau bahkan almari kaca yang penuh dengan piala
dan medali kejuaraan yang digeluti Tara sejak dulu.
“Tara!
Gimana bisa kamu dapat nilai 89?” bentakkan seorang wanita membuat Tara refleks
berdiri. Ia membalik badannya hanya untuk melihat seorang wanita muda—bunda Tara yang tengah menyeret anak laki-laki berseragam
merah putih dengan wajah murka. Tara geming. Cukup lama sebab antara percaya
tak percaya, bocah laki-laki itu adalah Tara kecil.
“M-maaf,
Ma ….” Tara kecil berkata lirih nyaris berbisik. Bukannya mengudang belas kasih
sang Bunda, ia malah mendapatkan kata-kata pedas dengan nada tinggi.
“Maaf?
Kamu itu, ya!” Bunda Tara mengangkat tangannya, bersiap untuk menghadiahi Tara
kecil karena nilai ulangan matematikanya itu.
Tara
jelas langsung memejamkan mata. Kenangan ini terlalu sakit untuk kembali ia
lihat. Apalagi, tanpa bisa melakukan apa-apa. Beberapa detik kemudian, ia
kembali membuka matanya. Hanya untuk mendapati dirinya kembali berada di
ruangan yang berbeda dari sebelumnya.
Dinding
abu-abu gelap ini … jelas kamar Tara. Dulu, saat ia masih tinggal bersama
keluarganya.
Di
ruangan ini, Tara melihat dengan jelas, bagaimana Ayahnya menghujami seorang
remaja laki-laki dengan pukulan-pukulan brutal. Remaja laki-laki itu adalah
Tara remaja. Beberapa jam setelah pengumuman kelulusan SMA diumumkan. Juga
sehari sebelum Tara memutuskan untuk angkat kaki dari neraka berkedok keluarga
itu.
Kali
ini, Tara memilih untuk tetap membuka mata. Hingga mata kelamnya berakhir
dengan tetesan air mata yang mengalir deras. Kedua tangannya mengepal, sarat
akan rasa kecewa juga dendam yang selama ini selalu tersimpan dalam pikirannya.
Buntara
Adisatya sudah mendeklarasikan bahwa ia benar-benar membenci dua manusia yang
disebutnya orang tua.
Tara
terdiam dengan segala emosi yang menggerogoti jiwanya. Sampai bayangan akan
kenangan di depannya itu memudar berganti dengan wajah sendu orang tuanya saat
tak sengaja bertemu dengan Tara di salah satu pusat perbelanjaan di Bandung.
“Tara,
maafin Ayah sama Bunda. Maafin semua perlakuan kami sama kamu selama ini, Tar,”
ujar sang Ayah dengan nada yang paling dibenci oleh Tara.
“Liat
perut Bunda. Kamu bakal jadi abang, Tara. Pulang, ya, Nak?” bujuk sang Bunda
yang membuat Tara muak setengah mati dan memutuskan untuk segera pergi dari
tempat itu. Meninggalkan kedua orang tuanya yang meneriaki namanya—memintanya
untuk kembali.
Tanpa
sadar air mata Tara menetes. Mengingat hal iti, itu membuat Tara merasa telah
menjadi anak yang sangat kurang ajar. Tak tahu balas budi.
Bahkan
kehidupannya setelah menjadi arsitek seperti impiannya pun terasa begitu hampa.
Tara seperti kehilangan hidupnya. Rumah tempatnya untuk pulang dan sekedar
melepas lelah jauh berbeda dari sebelumnya. Kelewat tenang, nyaris kesepian.
Hanya sunyi yang mengisi kehidupan Tara selama ini.
Tara
terisak. Ia memejamkan mata untuk lebih merasakan lara dalam hatinya. Merasakan
penyesalan yang teramat dalam hidupnya. Karena sebuah peringatan telah
menghampirinya hanya untuk membuatnya sadar bahwa yang dirinya butuhkan
sekarang adalah pulang. Pulang ke rumah yang sesungguhnya. Pulang untuk kembali
meraup kasih sayang dari keluarganya.
Tepat
ketika Tara membuka mata. Sadar bahwa dirinya tengah bermimpi dengan air mata
yang berderai. Tara bertekad dalam hati, mebisikkan pada pikirannya bahwa
inilah saatnya. Saat yang tepat untuk kembali ke masa lalu yang selalu berusaha
ia singkirkan. Inilah waktunya, Buntara.
Waktunya
untuk kembali pada kehidupanmu yang sesungguhnya
Bab 23
Go Home,
Son
Asri
Safitriyani
“Sesibuk apa pun kamu, sejauh apa pun
kamu pergi, keluarga merupakan tempat pulang. Uang dan popularitas tak mampu
membayar kebersamaan dengan keluarga.”
Malam ini adalah malam yang pekat nan
lekat. Purnama telah menjauh ke barat, menunggu giliran untuk kembali
berevolusi ke timur lalu, ke barat lagi Naira menatap ke angkasa, gelap dan
menakutkan. Ia hanya melihat segelintir bintang kecil yang berkelap-kelip
seakan memanggil Naira untuk mendekat, memetiknya.
"Udah dua bulan aku nganggur,
gimana nasib aku ke depannya. Kosan juga belum di bayar," keluh Naira.
Naira menatap kosong ke langit malam
itu, memikirkan nasibnya yang begitu-begitu saja. Ia kembali bergumam sendiri.
"Padahal dulu dari kampung niat banget mau tinggal di kota, mau punya duit
sendiri, sampai rela ninggalin Ibu dan adik-adik."
Naira mengembuskan napasnya pelan.
"Sekarang malah kehilangan kerjaan yang udah aku tekuni hampir dua tahun
ini."
Naira, gadis desa yang merantau ke kota
demi memenuhi kebutuhannya. Sudah hampir 2 tahun ia tinggal di kota yang
dijuluki Kota Kembang itu, bekerja di sebuah pabrik yang cukup terkenal. Walaupun
hanya sebagai buruh biasa, tapi gajinya cukup untuk memenuhi kebutuhan remaja
seusianya.
Saat
itu, setelah ia lulus SMA. Naira terpaksa meninggalkan Ibu dan ke dua adiknya.
Kehidupan teman-temannya yang mewah mendorong Naira untuk mengikuti trend anak
remaja pada umumnya, tapi ia bukan berasal dari keluarga kaya. Ibunya hanya
bekerja serabutan, sedangkan ayahnya entah kemana. Sejak kecil Naira tak pernah
mendapat kasih seorang Ayah. Hal itulah yang membuat dia tumbuh menjadi gadis
yang susah diatur dan kurang bersyukur.
"Ibu,
lepasin. Ira mau berangkat sekarang, ibu jangan kaya gini," ujar seorang
gadis yang tengah berusaha melepaskan pelukan seorang wanita paruh baya yang
tampak lusuh itu.
Wanita itu tampak menangis tersedu-sedu.
Mencoba membujuk anaknya agar tidak pergi. "Jangan, Nak. Jangan tinggalin
ibu sama ke dua adikmu." Bu Iyem mengusap air matanya pelan. "Ibu
akan berusaha memenuhi keinginan Ira, tapi ibu mohon sama Ira, jangan tinggalin
kampung ini. Kalau Ira mau kerja, kerja di sini aja sama Ibu," ujarnya,
masih menangis.
"Maafin, Ira, Bu. Tapi Ira harus
pergi. Ira gak bisa menjamin kehidupan Ira kalau sama ibu di sini."
Naira menghembuskan napasnya, mencoba
menahan agar air matanya tidak jatuh. Jika Ibunya seperti ini terus akan sangat
sulit untuknya meninggalkan kampung.
"Bu, Ira pengen kaya temen-temen
Ira. Punya hp bagus, baju bagus barang-barang bagus. Kenapa Ira harus lahir di
keluarga ini? Bahkan, Ayah sendiri, Ira enggak tahu." Air mata yang ia
tahan sedari tadi akhirnya jatuh, ketika ia menumpahkan segala emosi yang
mengganjal di hatinya selama ini. Bu Iyem hanya bisa menangis tak bisa menjawab
pertanyaan anak gadis satu-satunya itu.
"Maafin, Ibu, Nak. Bukan keinginan
Ibu kita hidup kaya gini. Ira hanya kurang bersyukur, coba Ira lihat. Banyak
orang yang hidupnya gak seberuntung Ira."
"Maaf, Bu, tapi Ira bener-bener
harus pergi sekarang. Ira janji bakalan ngasih kabar ke Ibu. Ira gak bakal
lupain Ibu."
Tapi sangat disayangkan, Naira
mengingkari janjinya sendiri, ia terlalu sibuk dengan dunianya yang baru.
Bahkan untuk sekedar menelepon pun Naira tidak punya waktu.
***
Sudah hampir dua bulan lamanya Naira
menganggur, selepas ia di-PHK tempo hari lalu, sampai sekarang masih belum juga
menemukan pekerjaan baru.
Pandemi yang semakin hari kian parah di
negeri ini membuat banyak pihak dirugikan, termasuk para pengangguran seperti
Naira. Banyak perusahaan dan toko-toko gulung tikar apalagi saat peraturan PPKM
diberlakukan. Jangankan untuk membuka recruitmen, menggaji karyawan yang ada
saja sebagian perusahaan sudah tak sanggup. Hingga terjadilah gelombang PHK besar-besaran
dibeberapa perusahaan. Bahkan mereka para pengusaha yang nakal memilih kabur ke
negaranya guna menghindari pemberian upah PHK.
Saat ini, Naira hanya bisa pasrah
meratapi nasibnya. Harus ke mana ia sekarang? Bahkan tempat yang ia tinggali
sekarang pun milik orang lain, sewaktu-waktu ia bisa diseret keluar oleh bu
Ana—pemilik kosan. Satu kata yang teringat di kepalanya saat ini 'Keluarga'
Iyapp, Naira masih punya keluarga. Keluarga yang ia lupakan dan telantarkan.
Keluarga yang selalu ada disaat Naira membutuhkannya, walaupun sering kali ia
mengacuhkan mereka. Dengan tangan yang bergetar dan isakan tangis, gadis itu
mengambil gawai di nakas samping tempat tidur. Mencoba menghubungi sang ibu di
kampung.
Ada perasaan ragu ketika Naira ingin
berbicara, takut ibunya tak mau menerima dia kembali. Takut jika ibunya telah
membenci dirinya. Tapi ini jalan satu-satunya.
"Ha--hallo ...,” ujar Naira
terbata-bata.
"Hallo, Ira, apa kabar kamu,
Nak?" jawab bu Iyem di sebrang sana.
Naira menggigit bibir dalamnya. “Ibu ...
Maafin Ira. Ira banyak salah sama Ibu. Ira nyesel, Bu."
Bu Iyem menjawab dengan perasaannya yang
campur aduk, sedih, senang dan juga kecewa. "Ira kenapa, sayang? Coba cerita,
Ibu selalu ada buat Ira."
"Ira kehilangan kerjaan, Bu,"
lanjut Naira dengan tangisnya.
Bu Iyem terdiam. Ada perasaan senang
ketika putrinya masih menganggap dia ada, tapi di sisi lain dia juga kecewa.
Sikap putrinya belakangan ini sedikit menorehkan luka yang cukup dalam bagi
seorang ibu. Dia paham, mungkin putrinya ini hanya khilap, mungkin putrinya ini
hanya terobsesi dengan uang dan popularitas. Dan sekarang Naira kehilangan
semua itu. Karena uang bukan segalanya.
Ibu mana yang tega melihat anaknya
menderita, sekalipun sang anak telah mengecewakan, ibu tidak kan pernah
meninggalkan. Walaupun sang anak keras
kepala dan kadang sering membuatnya menangis, tapi
percayalah
... Seorang ibu
tak pernah menyesal karena mencintai anaknya.
"Nak, Ibu selalu menantikan kamu
pulang. Sudah hampir dua tahun, Ibu belum melihat wajahmu lagi di dalam kamarmu
ini. Kadang, untuk mengobati rindu, Ibu mengambil baju dalam lemari dan
mencucinya. Rutinitas yang masih ibu lakukan sampai saat ini."
"Pulanglah, Nak barang sejenak
saja. Sapalah istana kecilmu ini yang sudah lama tak tersentuh. Pintunya selalu
terbuka buat kamu, Nak."
Tangis Naira semakin pecah, tatkala
ibunya berucap demikian. Naira kira ibu akan membencinya karena sikap dia yang
seolah tidak memiliki keluarga. Tapi ibunya mau menerima di kembali. Naira
menyesali perbuatannya.
"Iya, Bu, Ira akan kembali,
tungguin Ira di rumah, Bu," lirihnya masih tersedu-sedu.
***
Mungkin rumah Naira bukan bangunan yang
megah, tetapi di dalamnya tersimpan banyak kisah yang tak ternilai. Banyak
kenangan indah tercipta saat berada di samping ibu dan adik-adiknya. Ibu Naira
bukan orang kaya, tetapi ia selalu mencoba membahagiakan anak-anaknya dengan
berbagai cara.
Sekarang Naira paham, keluarga selalu
menjadi tempat ternyaman baginya. Sejauh apa pun Naira pergi, seindah apapun
tempat yang ia kunjungi, keluarga akan tetap menjadi tempatnya kembali.
Saat dia terjatuh, akan ada ibunya yang
selalu memeluk dan menangkan. Saat dia gagal, akan ada adik-adiknya yang
senantiasa memberi dukungan untuk berjuang kembali.
Maka, saat dia bahagia, ada ibu dan
adik-adik yang harus ia bahagiakan. Keluarga adalah segalanya.
Karena sebaik-baiknya tempat berlabuh
adalah keluarga.
Bab 24
RENO
Sanggemintang
Reno,
pemuda energik yang memiliki segala hal yang diinginkan orang-orang. Ia tampan,
kaya, memiliki kecerdasan di atas rata-rata, kemampuan retorika yang menawan,
dan pandai menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Kehidupan penuh kemewahan
sudah dirasakannya sejak dalam kandungan sang ibu hingga kini ia beranjak
dewasa.
Di
sekolah, Reno menjadi primadona. Namanya seharum parfum yang digunakannya. Ah,
dari jarak 2 meter saja semua orang dapat mengetahui koridor mana yang dilalui
Reno.
Walau
segala kesempurnaan seolah dimilikinya, Reno tak pernah bangga dengan semua
itu. Ia merasa ada kehampaan di sudut hatinya. Tetapi, ia tak tahu dengan pasti
apa yang membuatnya merasa hampa.
Layaknya
seorang pelajar yang disibukkan dengan persiapan ujian masuk perguruan tinggi,
Reno pun disibukkan dengan segala bimbingan belajar dan pemantapan. Soal demi
soal dilahap hingga tak bersisa, seiring kesiapannya menghadapi ujian yang
semakin mantap.
Hari ujian
masuk perguruan tinggi pun dimulai. Reno dengan segala persiapannya mengerjakan
soal ujian dengan lancar. Waktu ujian seakan-akan bergulir cepat hingga tak
terasa alarm tanda ujian berakhir menggema di sepanjang koridor tempat Reno
melaksanakan ujian. Para peserta ujian kemudian serentak menghentikan
aktivitasnya dan bersegera pulang dengan penuh harap.
Beberapa
bulan kemudian, Reno mengecek website
kelulusan ujian masuk perguruan tinggi. Ia terlonjak girang melihat hasil ujian
karena berhasil masuk ke perguruan tinggi yang diidamkannya. Ibunda dan
keluarganya pun turut berbahagia atas keberhasilan Reno tersebut. Setelah
pengumuman itu, ia pun disibukkan dengan segala persiapan masuk perguruan
tinggi; tak terkecuali ibunya. Walaupun ibunya seorang janda yang ditinggal
mati dan woman entrepreneur yang
sukses sekaligus sibuk, ibunya tetap
mendampingi Reno menyiapkan segala keperluan sebagai mahasiswa.
***
Beberapa
bulan setelah resmi menjadi mahasiswa...
Bugh! Terlihat dua pemuda bertabrakan.
“Aduh!
Maaf,’’ ujar pemuda tinggi berkacamata. Ia mendongak melihat pemuda lain yang
sempat bertabrakan dengannya seraya menyesali karena terlalu fokus menunduk
memikirkan tesisnya.
“Kamu ...?”
tanya pemuda tinggi berkacamata itu lagi. Netranya seketika membulat melihat
sosok pemuda di depannya. Blink! Ia akan
jadi pemuda hebat. Selintas pikiran berkelebat di benak pemuda tinggi
berkacamata.
“Aku,
Reno.” pemuda itu menjawab sambil mengulurkan tangannya hendak berjabat tangan.
“Hai,
Reno. Aku, Kamil.” pemuda tinggi berkacamata itu pun mengulurkan tangannya.
Kedua pemuda itu kemudian berjabat tangan dan berbincang seolah-olah dunia di
sekitar mereka senyap seketika. Tak lama berselang, suara azan berkumandang.
“Eh, udah
azan. Salat di masjid, yuk!“ ajak Kamil pada Reno. Ajakan Kamil disambut Reno
dengan sukacita. Sejak menjadi mahasiswa di perguruan tinggi ini, Reno merasa nyaman
untuk ke masjid tiap waktu salat. Tak disangka, hari ini ia bertemu dengan
Kamil, mahasiswa yang mengambil program pascasarjana di fakultas yang sama
dengannya dan aktif juga di komunitas keislaman pascasarjana.
Sejak hari
itu, Kamil dan Reno menjadi sahabat. Reno menganggap Kamil layaknya seorang
kakak sekaligus guru. Kamil dengan sabar membimbing Reno di beberapa mata
kuliah dan tak segan diajak berdiskusi tentang Islam. Reno mengakui keluarganya
tak terlalu rajin beribadah. Reno dapat menghitung berapa kali ia dan keluarganya
melakukan salat dalam setahun. Itu pun hanya di hari-hari besar keagamaan.
Namun setelah bertemu dengan Kamil, Reno belajar banyak hal tentang Islam;
termasuk belajar salat. Ketika Kamil mengatakan salat adalah tiang agama Islam,
Reno sempat bergetar ketakutan. Jika salat tak tegak, maka bangunan agama akan
hancur. Setinggi apapun capaian dunia seseorang, jika tanpa menegakkan salat di
kehidupannya, maka semua itu tak bernilai apapun di hadapan Tuhan. Sejak saat
itu, Reno belajar melaksanakan salat tepat waktu dan perlahan belajar khusyuk
setiap salat.
Perubahan
Reno diketahui oleh sang ibunda. Alhasil, Reno diminta pulang ke rumah di hari
libur kuliah. Ibundanya tidak
mempermasalahkan akademik sebab akademik Reno selalu memuaskan, bahkan mendapat
beasiswa. Yang dipermasalahkan adalah perubahan Reno ke arah yang radikal
karena bergabung dengan lembaga keislaman dan aktif di masjid. Sebenarnya, Reno
tidak hanya aktif di lembaga keislaman dan masjid. Tetapi, Reno telah menjelma menjadi
aktivis di badan eksekutif mahasiswa, himpunan mahasiswa, bahkan menjadi
asisten di laboratorium. Mengetahui ibunya sangat menentang perubahan dirinya,
Reno tetap menyampaikan keberatannya melepaskan aktivitasnya terkait Islam dan
masjid. Reno dan ibunya pun beradu argumen. Sebagai seorang anak, Reno selalu
berusaha menjaga intonasi dan mimik wajahnya setiap menyampaikan argumen pada
sang ibu karena dalam Islam berbakti dan berbuat baik pada orang tua merupakan
kewajiban seorang anak. Namun, ibunya tetap bersikeras agar Reno menjauh dari
segala aktivitas keislaman dan masjid.
“Baiklah.
Jika kamu tidak mau menghentikan aktivitasmu di sana, maka Ibu akan mogok makan
sampai kamu berhenti!” ancam ibunya. Reno mendesah pelan, kemudian berkata:
“Wahai Ibu, Reno menemukan nilai-nilai berharga setiap kali Reno mendalami
agama kita. Di masjid itu, Reno dibimbing agar mampu mengaplikasikan
nilai-nilai tersebut. Tak hanya di masjid, tapi di setiap detak jantung Reno.
Nilai itu seolah sudah menjadi jantung kebahagian Reno, Bu.” Reno diam sejenak
menatap lembut wajah ibunda tercinta. “Reno tetap akan berbakti pada Ibu. Tapi
Reno pun tak mampu hidup jika jantung Reno harus dicabut.” ujar Reno kemudian
bersimpuh di hadapan ibunda tercinta. “Maafkan Reno, Bu. Reno tak mampu melepas
kebahagiaan Reno sebagai aktivis masjid.” lanjut Reno seraya mencium telapak
kaki ibunya sembari terisak. Amat berat bertentangan dengan wanita yang sangat
ia hormati dan sayangi. Namun, seruan Tuhannya untuk menyerukan Islam ke setiap
jiwa lebih agung. Karena sejatinya, sebelum menjadi apapun setiap orang adalah
penyeru di jalan agamanya.
“Jika kamu
masih bersikeras, maka Ibu akan cabut semua fasilitas yang Ibu berikan padamu.
Mulai detik ini juga!” Ibunya kemudian berlalu dengan amarah berkecamuk
sekaligus kesedihan yang amat mendalam. Reno menatap nanar punggung ibunya.
“Maafkan Reno, Ibu.”
***
Setelah
pertemuan dengan sang ibu, Reno kembali disibukkan dengan agenda akademik di
perguruan tinggi. Tak ada yang berubah dengan kepribadian dan prestasi Reno.
Satu hal yang sangat berubah---menurut orang-orang di sekitar Reno, adalah
seorang Reno yang identik dengan fasilitas lengkap nan mewah itu sudah tiada.
Setelah sang ibu menghentikan segala sokongan dana dan semua fasilitas, Reno
menjadi mahasiswa sangat sederhana. Ia harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan
hariannya. Hal ini membuatnya semakin disiplin dalam manajemen waktu. Walaupun
Kamil menawarkan banyak bantuan, Reno menolak dengan santai. Biaya kuliah sudah
aman karena Reno mendapatkan beasiswa tiap semester. Ia pun bisa tinggal di
asrama yang disediakan oleh kampusnya demi menghemat biaya hidup. Walau
kehidupannya menjadi serba terbatas, Reno tetap bersyukur dan berbahagia. Ia
merasa kehampaan di hatinya hilang begitu ia mengenal Tuhan dan agamanya. Ia
memiliki keluarga baru di komunitas agamanya di lingkup perguruan tinggi,
Keluarga Mahasiswa Islam. Keluarga tempatnya kembali setiap letih berjibaku
dengan tugas kuliah dan juga pekerjaan. Tempatnya beraktivitas menajamkan
bakatnya. Tempatnya diingatkan akan misi sucinya, menyeru dan mengajak manusia
kembali pada Tuhannya.
Walaupun
ibunda tercinta tetap menutup hati dan juga pintu rumah untuk Reno. Namun, Reno
tetap menunaikan bakti pada orang tua. Ia secara rutin mengirimkan kabar melalui
pesan elektronik pada ibunya terkait kondisinya, perkembangan prestasinya,
aktivitasnya, pekerjaannya dan segala curahan hati anak pada ibunya. Selain
itu, Reno pun selalu memanjatkan doa untuk ibunya. Bumi menyaksikan setiap
tetes air mata yang tumpah dari matanya. Angin menjadi penyambung
bisikan-bisikan doanya. Semesta pun menjadi saksi atas setiap aksi Reno
menjemput ridho Tuhannya. Akhirnya, Tuhan Yang Maha Lembut pun berkenan
melembutkan hati ibunda tercinta.
***
Reno lulus
dengan predikat cumlaude sekaligus
lulusan tercepat di angkatannya. Walaupun sibuk bekerja, Reno tetap berusaha
menjaga prestasi akademiknya. Hari bahagia itu lengkap ketika ia mengetahui ibu
dan keluarganya datang. Reno segera berlari ke dalam pelukan sang ibu. Mereka
berpelukan dan menangis melepas rindu. Berkali-kali, ibunya menciumi Reno yang
terlihat gagah dengan jubah dan toganya. Putra semata wayang ibundanya itu
telah menjelma menjadi pemuda yang berilmu dan rendah hati.
“Maafkan
ibu terlambat, Nak.” ujar ibu seraya menghapus air mata yang membasahi pipi
putranya. Reno menggelengkan kepalanya sembari berkata, “Terima kasih sudah
datang, Bu.” Ibu dan anak itu pun
kembali berpelukan.
Kamil yang
mendampingi Reno ikut terharu melihat kejadian itu. Ia yang sudah lebih dulu
lulus dan wisuda, sengaja hadir mendampingi Reno wisuda. Ia menyangka Reno akan
sendirian tanpa kehadiran keluarga. Syukurlah, kekhawatirannya tak terjadi.
Setelah
puas melepas rindu, Reno mengenalkan Kamil pada ibu dan keluarganya. Reno
sangat bersyukur dipertemukan dengan Kamil, seseorang yang sudah dianggap
sebagai keluarga sekaligus sosok yang mampu memberikan jawaban atas kehampaan
yang dirasakannya selama ini. Reno memahami bahwa keluarga adalah tempatnya
melabuhkan diri sehingga ia ingin menciptakan surganya di dunia. Lebih jauh
lagi, ia ingin menjadikan surga dunianya menjadi surganya kelak di sisi
Tuhannya. Karena, ia meyakini bahwa segala yang ada di sisi Tuhan adalah lebih
baik dan kekal.
Bab 25
Telah Pergi
Arima
Yanti Saragih
Lagi, kaki ini melangkah kembali kesini. Penghuni
rumah di hadapanku ini sungguh luar biasa. Aku ragu mengetuk
pintu."Sepertinya aku pulang saja," gumamku seraya menghela napas
dengan berat. Aku pun meninggalkan rumah sederhana itu dengan langkah enggan.
Air mata menggenang di pelupuk mata, kemudian perlahan
membasahi pipi yang mulai keriput akibat terpaan matahari. "Ya
allah," rintihku.
"Ingot!"
Terdengar suara dari belakang, dan aku pun menoleh.
Dadaku berdebar melihat Bapak dan Emak setengah berlari menghampiri.
"Ya Allah Nak! ini berenan Ingot?" Wanita
paruh baya itu menghambur kepelukanku. Beliau terisak, membuatku tak kuasa
menahan tangis.
"Akhirnya, anak Bapak pulang," lirih bapak
sembari mengusap kepalaku. Kulihat bola matanya memerah, mungkin tak kuasa
menahan haru. Namun, sepertinya beliau sekuat tenaga menahan agar tidak
meneteskan air mata seperti emak dan aku.
"Kami merindukanmu, Anakku," ujar Emak di
sela isaknya.
"Ingot juga rindu, Mak," aku tergugu.
Mereka mengajakku masuk, tetapi aku ragu melangkah
membuat mereka heran lalu menatapku.
"Bukankah Ingot tidak boleh menginjak rumah
ini," jelasku sendu, kening mereka berkerut.
"Dulu Ingot bersumpah tidak akan menginjakkan
kaki lagi dirumah ini," ujarku terisak, menyesali ucapanku dulu.
Bapak mengelus punggungku." Sumpah itu tidak
berlaku bagi kami selagi darah kami mengalir di tubuhmu, Nak."
"Emak sama Bapak sudah memaafkan Ingot, jauh
sebelum Ingot pergi meninggalkan rumah," tutur Ibu.
Seketika aku langsung bersimpuh di hadapan mereka.
Memeluk erat kedua kaki pasangan suami istri ini." Ya Allah ampuni Ingot!
Ingot sungguh menyesal Mak. Pak," isakku.
Suara kokok Ayam membangunkanku, aku mengerjapkan mata
menghalau rasa ngantuk. Saat kantuk hilang, mata imi berkelana dan baru menyadari kamar ini masih seperti
terakhir kali aku tempati. Tidak berubah sedikit pun.
Aku bergegas keluar kamar, suasana sepi tidak ada Emak
dan Bapak." Udah keladang kali yah, tapi biasanya kan, habis solat subuh
berangkat."
Isi rumah terlihat berantakan. Aku heran. Padahal, Emak
tidak suka rumah tidak rapi.
"Mungkin Emak buru-buru yah?" aku sibuk
menduga-duga.
Tikar banyak terhampar di ruang tamu, membuatku
berpikir keras berusaha untuk mengingat kejadian kemarin. Akan tetapi hasilnya
nihil."Sebanyak itu yang datang kerumah untuk melihatku pulang?"
tanyaku.
Merasa aneh dengan
keadaan sekitar, ada baskom berukuran sedang di pojok ruangan, tertutup sehelai
kain berwarna hitam. Lekas kuperiksa, ada beras dan banyak lembaran uang
pecahan. Tak cukup sampai disitu, halaman rumah juga kuperhatikan. Banyak kursi
berserakan. Kain berwarna hijau dibentangkan membentuk persegi empat di samping
rumah.
Kemarin aku tidak melihat
pemandangan seperti ini, dengan cepat kuberbenah ingin menanyakan keanehan ini
pada Emak.
***
Kupegang erat rantang di
tangan, membayangkan dua paruh baya itu memuji hasil masakanku. Tinggal
melewati satu ladag milik orang lain, maka sampailah ke ladang Emak.
Aku berselisihan dengan namboru Bune, ia begitu
kaget bertemu denganku.
"Nak Ingot yah? Udah makin cantik aja. Kapan
pulang nya gadis?" tanyanya haru.
"Kemarin sore, Namboru,"
jawabku dengan senyum tipis.
"Namboru turut senang kamu
baik-baik saja Boru, ngapain lah kau ke juma?" tanyanya
heran.
"Mau ngantar rantang ini sama Emak Bapak Namboru,
tadi pagi belum sempat makan."
Perempuan setengah abad itu terhenyak mendengar
penjelasanku, netranya berkaca-kaca membuatku bingung.
"Istigfar, Boruku. Istigfar. Ya
Allah!" serunya, sembari mengelus punggungku.
"Maaf ya Namboru! Ingot buru-buru udah ditunggu,"
pamitku, merasa tidak suka dengan orang yang baru saja menyapaku. Apa yang
harus di-istigfar-kan dari perkataanku?
Wanita paruh baya itu membisu, bingung bagaimana
menyadarkan lawan bicaranya."Semoga engkau jadi anak yang kuat dan
sabar,"lirihnya, seraya menatap iba.
Setelah menempuh perjalanan yang lumayan jauh, kini
aku sudah sampai di gubuk. Duduk di andar melepas penat. Bola mata
bergulir mencari keberadaan Emak dan Bapak. Lelah menunggu ditambah angin
sepoi-sepoi membuatku mengantuk, aku naik ke atas gubuk lantas membaringkan
tubuh. Perlahan mata ini terlelap.
"Nak bangun, hari sudah sore."
Sontak aku terbangun mendengar bisikan Emak."Mak.
Pak. Maaf. Ingot ketiduran." Sembari mengucek mata.
"Tidak apa-apa--- makasih yah Nak untuk
makanannya," Emak tersenyum bahagia, sesekali Bapak yang duduk di samping
istrinya mengangguk-angguk.
"Mulai sekarang Ingot janji bakalan selalu masak
buat Emak dan Bapak," ujarku, untuk menebus kesalahanku karena membantah
perintah mereka. Melampiaskan kemarahan dengan kabur dari rumah.
Mereka hanya tersenyum simpul, ada gurat kesedihan di
mata mereka.
"Boleh kami tau apa saja keseharian Ingot di
rantau sana?"tanya Bapak.
Mendadak aku membisu, ragu untuk menceritakannya.
Kutatap wajah keriput mereka satu persatu-satu. Ekspresi wajahnya mereka
menyiratkan kasih sayang.
"Ingot ... jadi kupu-kupu malam Mak. Pak,"
cicitku. Mataku memerah.
"Bahkan aku sudah menjadi istri simpanan.
Sekarang sudah diceraikan dan diusir. Tidak tau harus kemana. Jadi Ingot
memberanikan diri untuk pulang,"jelasku tergugu, karena rasa penyesalan
menghantuiku.
Aku tidak berani mengangkat wajah, dan siap menerima
segala konsekuensi. Tapi Emak dan Bapak menangis sambil memelukku dengan erat.
Tubuhku membeku karena tidak siap menerima perlakuan mereka yang tidak terduga.
"Maafkan kami yang tidak bisa mendidikmu. Tidak
bisa merawatmu. Tidak bisa pula menjagamu," rintih Bapak. Baru kali ini
kulihat beliau menangis.
"Apapun kesalahan anak, itu merupakan kesalahan
orang tua ... yang tidak bisa menjalankan tanggung jawabnya. Ya Allah! Ampuni
kami."
"Sejauh manapun Ingot nanti pergi, jika hendak
pulang, pulang lah Nak! Keluargamu selalu menantimu." Emak mengecup
keningku. Beruntungnya aku memiliki orang tua sesabar mereka.
"Nak, boleh kami meminta sesuatu?" Ucap Emak
terdengar lirih, aku mengangguk cepat.
"Tolong perbaiki dirimu Nak, bantu kami
menjalankan tanggung jawab terhadapmu yang belum terlaksana." rintihnya.
"Di ruangan sempit dan dingin itu kami kesakitan,
Nak." Bapak memohon.
Suara burung Elang membangunkanku dari
tidur. Hari sudah beranjak sore, membuka rantang yang kubawa. Tidak tersentuh
sama sekali, semua sudah dingin.
"Di ruangan sempit dan dingin ... bukankah itu
kuburan?" Aku tertawa sumbang, menertawai kebodohanku. Emak dan Bapak
sudah meninggal dua hari yang lalu. Aku terjebak dalam mimpiku, seolah-olah itu
adalah nyata.
Aku memutuskan pulang. Tiba dihalaman rumah,
pandanganku tertuju pada kain hijau di samping rumah. Itu adalah tempat
memandikan mayat.
"Pelabuhanku telah
pergi, kini aku harus berlabuh pada pelabuhan sendiri."
Selesai
Catatan kaki:
Boru: Panggilan untuk
anak perempuan
Namboru: Bibi (Panggilan
kepada saudara perempuan ayah kita, juga terhadap perempuan yang keturunan
semarga yang urutannya setingkat dengan ayah kita.
Andar: Sisi, pinggir
Bionarasi
Bab 1 Kun Marátussalihah
Rr Syarifah Hani’ah, S.Pd.I. Cilacap, 12 September 1979
kegiatan sehari-hari Ibu Rumah Tangga, ASN, Herbalis, Aku terlahir dari
pasangan RH Ali Abdurrahman alatas dan Yuchanidz Ali, Guru madrasah dari tahun
1998 sampai kini, Kini Aku tinggal di Perum Griya Jembar Lestari no 15 gumilir
cilacap Utara, email: flanelsyarifah@gmail.com HP 087763543547. Sampai hari ini
Aku baru tergugah membuat 12 antologi, 1 karya solo yang berjudul “Kerajaan
Numeric”
Bionarasi
Bab 02 Shadow
Perkenalkan penulis bernama Junah, nama yang
begitu sangat singkat, terkesan jadul, tetapi menurut penulis itu membawa
keberkahan. Lahir di Kota Serang, Banten pada tanggal 02 Meli 1986. Seorang ibu
dari empat anak. Disela mengurus rumah tangga dan bekerja sebagai guru
sekaligus dosen. Killing time untuk penulis adalah dengan menulis dan berjualan
online. Penulis sekarang berdomisili di daerah Jonggol, Kampung Ceger RT 02 RW
06 Desa Sukamaju, Kabupaten Bogor. Motto dalam menulis adalahharus dengan hati
karena akan mengukir prestasi sejarah dalam diri. Tetap semangat Literasi!
Semangat menulis untuk kaum emak-emak.
Bab 03 Beban menjadi kebanggaan keluarga
@Salman.M.S.A, lelaki pegagum
senja. Kelahiran 9 januari 2000 kini memiliki Hobi menulis buku yang ia tekuni
akhirnya membuahkan buku berjudul, “Aku dan Senjaku” dan “Habis ujian terbitlah
keberkahan”. Saat ini ia sedang berkuliah di Institut Agama islam Negeri Manado
dengan mengambil jurusan ilmu Al Qur’an dan Tafsir.
Bab
04 Keluarga Satria
Seorang Bapak
dengan seorang istri dan seorang putri dan putra. Yang hobi mendengarkan ceramah
KH. Zainuddin MZ. Setelah banyak berkecimpung di masyarakat kini tumbuh
kecintaannya pada dunia tulis-menulis. Berharap dari hasil karyanya dapat
menginspirasi dan memotivasi masyarakat lebih baik. Dapat dihubungi di email saminfarizky3476@gmail.com atau fb
@Samin Farizky
Bab
05 Beban Orang Tua
Namaku Rosikhatul Baroroh, lahir pada tanggal 29
April 2001 tepatnya di sebuah desa di kabupaten Tangerang. Aku anak bungsu dari
9 bersaudara, dan kini aku masih melanjutkan pendidikan di Universitas Swasta
di Tangerang. Sedikit bangga dengan diri sendiri karena bisa kuliah tanpa harus
menggunakan uang orang tua.
Bab 06 Mama’s Wonderfull child
Rofianti Devi. Putri bungsu
dari tiga bersaudara dengan nama pena Tifa Noir, anagram dari kata Rofianti.
Hobi membaca, baik bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. No day without
reading. Tertarik dengan mental issues dan cerita dengan genre
fantasi, aksi, petualangan, misteri, dst. Menulis untuk berekspresi, bebas dan
tanpa terganggu kehidupan pribadi.
Bab 07 Sayap untuk Orang Tua
Rizky Nur
Aini adalah yang menulis cerita ini, penulis lahir dari ibu yang bernama Sri
Mulyani dan ayah yang bernama Eka Jaka Sugiyarto dengan empat bersaudara.
Penulis dilahirkan di Sragen, pada tanggal 16 April 1998. Penulis berdomisili
di desa Ngrampal, RT 31 RW 10 Kebonromo, Sragen. Penulis menempuh pendidikan
dimulai dari taman kanak-kanak di TK Pertiwi Kebonromo 4. Lalu, sekolah dasar
di SDN Kebonromo 3, setelah itu di sekolah menengah pertama di SMP N 3 Sragen
dan dilanjutkan di sekolah menengah atas di MA N 1 Sragen. Setelah lulus SMA,
penulis melanjutkan di perguruan tinggi IAIN Surakarta selama 3 tahun sembilan
bulan dengan jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah. Sekarang penulis
terjun ke dunia pendidikan dengan mengajar di MI Al Husna Tangen, Sragen.
Bab
08 Tidak Ingin Mengecewakan
Rita
Anggraeni atau biasa dipanggil Rita Tatha, perempuan kelahiran 13 Oktober 1994
di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah ini, memiliki hobi membaca dan menulis sejak
remaja, kini dia mulai aktif menggeluti bidang kepenulisan.
Facebook:
Rita Anggraeni (Tatha)
instagram
@tathabeo
Email:
anggraenirita349@gmail.com
Bab
09 Perjuangan menjadi yang terbaik
Namaku Risnilasari Jamaluddin, lahir di Sungguminasa
pada tanggal 15 Mei 2000. Aku anak ke 3 dari 4 bersaudara, sekarang saya sedang
menempuh pendidikan di Universitas Muhammadiyah Makassar untuk Program S1 dan
Ma’had Al-Birr Unismuh Makassar untuk Program I’dad Lughowy. Banyak perjuangan
dan suka duka selama saya menempuh pendidikan di Jenjang perkuliahan sampai
akhirnya bisa merasakan jadi yang terbaik
Bab
10 Tak Cukup Sampai Disini
Rizki Suryadi, dilahirkan di
Tangerang. Putra bungsu dari lima bersaudara. Hobi basket dan saat ini
bersekolah di SMKN 5 Jember. Pernah mengikuti lomba internet of think tingkat
provinsi dan nasional, serta pernah mengikuti lomba marchingband tingkat
internasional.
Bab
11 Melawan Arus
Binar Sendu, nama pena milik Atifa Nur Nazira. Gadis
yang lahir di Jakarta pada tanggal 06 Mei 2004. Anak bungsu dari dua bersaudara
yang sedang mencari jati dirinya. Gadis yang memiliki cita-cita penulis sejak
di bangku sekolah menengah pertama. Jejaknya bisa ditemukan di akun
instagramnya @atifannz.
Bab
12 Romantika Kehidupan
Suwarti Solehah dengan nama pena Artysays adalah
seorang ibu dengan empat buah hati. Di sela
ruitinitas bekerja dan mengurus keluarga mencoba hal baru di dunia literasi
dengan harapan bisa menghasilkan tulisan yang bermanfaat. Baginya usia bukan
penghalang untuk terus mengasah talenta menghasilkan karya luar biasa.
Berdomisili di Kendal. Untuk mengenal lebih jauh bisa add FB : Artysays, Ig : @artysays. Terima kasih.
Bab
13 Pulang kembali
Aulia
Kurniasih Cahyati atau kerap disapa Aul/Lia. Seorang gadis kelahiran Bandung 9
juli 2005. Mempunyai moto hidup ‘Walaupun aku terjatuh aku akan terus belari menuju impianku’. Mempunyai hobi menulis dan membaca novel. Menulis
baginya adalah hobi yang di mana membuat dirinya menumpahkan segala perasaan yang
ia rasakan lewat sebuah tulisan. Saat ini ia tercatat sebagai siswa di SMAN 1
Pangalengan. Jejaknya bisa ditemukan di akun
Instagram @aulia.ul_
Bab
14 Pada Mereka Kulabuhkan Segala Rasa
ghu_ARoba’ adalah nama pena dari pemilik nama asli Arniyati
Arifuddin. Lahir di Kambara, pada 01 November 1992. Seorang konsultan kesehatan
yang hobi membaca, menulis, dan traveling. Bercita-cita menjadi penulis hebat
dan menginspirasi banyak orang, yang karyanya tidak hanya di minati masyarakat
Indonesia. Malainkan bisa menembus pasar internasional. Fin her on
instagram : @Arniyati Arifuddin and my second account @ghu_aroba
Bab
15 Rahasia Jalanan
Nira Tamara
adalah nama pena dari Arintha Nuril Ammara. Lahir di Pekanbaru, 18 Maret 2007. Seorang pelajar yang hobi membaca,
berujung menjadi hobi menulis dan menghayal. Bercita cita menjadikan karyanya
bermanfaat bagi banyak orang dan dikenal banyak orang. Find her on instagram @nira.tamara
Bab
16 Pulang
Dipa1_3 adalah nama pena milik Arya Karuna. Lahir
di Sukabumi, 13 Oktober 2000. Seorang laki-laki yang mulai menyukai menulis
semenjak bangku kuliah. Bercita-cita menjadi seorang yang berguna di masa
depan. Temukan saya di Instagram @Dipa1_3 atau @akph04
Bab
17 Bersama kesulitan datang pula kemudahan
Ayu Ainun
Mardiyah adalah nama asli dari penulis. Lahir di Lampung dan saat ini sedang
menempuh pendidikan perguruan tinggi di IAIN Metro Lampung. Mempunyai banyak
karya dan bisa diterbitkan merupakan salah satu impian penulis sejak SMA. Dan
kini penulis sudah menulis beberapa karya antologi bersama KMO. Jejak bisa
diikuti melalui sosial media Instagram dan KBM
@Ainunwhd dan email ukasall12@gmail.com.
Bab
18 Terdampar
Nafira adalah nama
pena saya, yang memiliki nama asli Arianita yulianingsih, lahir pada tanggal 04
oktober 1993, di Batam. Saat ini ingin memulai mencoba terjun di bidang
kepenulisan dengan bermodalkan hoby menonton film dan mengkhayal, berharap
dengan menulis bisa memberikan karya yang terbaik. Sambil berbagi pengalaman
melalui tulisan. Untuk berbagi cerita bisa temui akun instagram saya
@Arianita786.
Bab
19 Secarik Kisah
Perkenalkan namaku Arti Nur Hayati, asal dari Klaten
Jawa Tengah. Walau begitu aku tinggal di solo. Hal yang aku suka selain menulis
adalah jalan-jalan dan kadang sering sepedaan di sawah. Itu hal kecil tentang
aku.
Bab
20 mendekap Rindu
Asmaul
Mufi. Lahir di Purworejo, 19 April 1997.Anak pertama dari 3 bersaudara. Tinggal
di sebuah desa di Purworejo. Orang tuanya seorang buruh tani. Aktivitas
sekarang sedang bekerja di sebuah toko di Purworejo. Lulus SMK muhammadiyah 1
Lendah, Kulonprogo, Yogyakarta pada tahun 2015.
Berawal dari hobi membaca, suka mencari tahu profil
penulis dari sebuah buku yang di kagumi, dari sana terinspirasi untuk membuat
karya. Pengalaman hidup yang penuh perjuangan dan pelajaran membuatnya termotivasi
untuk mengabadikan lewat tulisan.
Bab
21 Kembali PadaMu
Zerura adalah nama pena milik Ayesha
Ransi. Yang memiliki arti surga dalam bahasa Basque. Penulis memiliki harapan
jika kelak karyanya bisa memberikan manfaat untuk banyak orang, sehingga bisa
membawa nya ke surga. Lahir di Jakarta, pada 08 Oktober 2006. Saat ini penulis
bersekolah di Home Schooling Permata Sunnah, yang berada di Kranggan, Bekasi.
Dan duduk dibangku SMP kelas 3. Find me on Instagram Ayransi_95
Bab
22 Waktu untuk Pulang
Paseutel adalah
nama pena dari seorang gadis bernama Arianti Salamatul Firmania. Gadis penyuka
sastra dan musik Korea. Gadis yang bermimpi untuk membahagiakan orang
disekitarnya. Gadis yang bisa kalian kenal lebih dekat di Ig : @paseutel
Bab
23 Go Home, Son
Asri Safitriyani, Lahir 18 tahun yang
lalu, tepat tanggal 12 Februari di kota dodol, Garut. Alumni Madrasah Aliyah Al-Khoeriyah,
jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial. Aktif dalam kepengurusan komunitas dan
organisasi lantas tak membuatnya lupa akan hobi dan impiannya. Selain menulis,
ia sangat suka dunia luar, menjelajah alam, mendengarkan musik, menghayal, dan
membaca novel, cerpen, serta puisi. Menulis adalah menjejak aksara dan berbagi
cerita pengalaman sehingga ia akan terus menulis. Menulis itu indah, kata-kata
juga indah. Sekalipun ia kadang suka kurang ajar dan kasar.
Kalian bisa lebih mengenal Asri lewat akun
media sosialnya, Instagram @sftryniasr1202, Twitter @lamunansenja, Facebook
@Asri Safitriyani dan Wattpad @sftryni serta situs blog miliknya
@Sftryni012.blogspot.com
Bab
24 Reno
Sanggemintang
adalah nama pena milik Arum Amalia. Lahir di Banjarmasin pada 31 Desember.
Seorang ibu rumah tangga yang hobi membaca, menulis, dan menggambar.
Bercita-cita menjadi penulis inspiratif dan produktif berkarya. Akun Instagram
yang dapat dikunjungi @sanggemintang atau @amalia_rum
Bab
25 telah Pergi
Hai! Salam kenal yah.
Namaku Arima Yanti Saragih, Asli suku Batak Simalungun. Anak dari pasangan
Saelan Saragih dan Rosmida Purba. Ada nama penanya juga, Pecandu Rindu.
Kelahiran 2003, anak ketujuh dari sembilan saudara. Asal dari Siboras Hulu,
salah satu desa dari Kota Tebing Tinggi, Medan. Punya akun sosial media:
Facebook @Pecandu Rindu, Instgram @arimasaragih, Whatsapp/Telegram 082277206708
Tidak ada komentar:
Posting Komentar