Minggu, 23 Oktober 2022

Tempat Kembali (Kumpulan Cerpen)

 

TEMPAT KEMBALI

 

 

 

TINTA PENA & LENTERA DIKSI

 

KMO CLUB BATCH 37 KELOMPOK 04 & 21


 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kata Pengantar

 

Alhamdulillah, setelah melalui serangkaian prosesi yang tidak mudah, akhirnya Antologi kami yang berjudul Tempat Kembali dari Kelompok 04 dan 21 KMOI Batch 37 ini dapat berhasil diterbitkan dengan baik dan sesuai waktu yang ditargetkan.

      Puji syukur yang sedalam-dalamnya kami panjatkan ke hadirat Allah Ta’ala yang telah menuntun jalan kami hingga bisa menuju ke tahap ini. Terima kasih tak terkira juga kami ucapkan kepada Tim KMO (Kelas Menulis Online) tanpa terkecuali yang telah menyediakan wadah bagi kami untuk belajar dan mendalami ilmu ke penulisan dengan fasilitas materi-materi yang luar biasa berkelas juga pematerinya yang andal. Memberikan kami kesempatan untuk saling mengenal satu sama lain dari berbagai daerah dan suku, mengapresiasikan diri dalam membuat sebuah karya, menyatukan beragam cerita, dan membingkainya dalam satu buku antologi. Semoga apa yang telah KMOI dan seluruh TIM berikan kepada kami, bisa menjadi amal jariah yang tidak akan pernah putus.

      Besar harapan kami, di ulang tahun ke-7 KMOI ini, semoga ke depan KMOI semakin maju dan terus memberikan yang terbaik bagi anak bangsa untuk memajukan dan meramaikan dunia literasi Indonesia. Melahirkan penulis-penulis berbakat dan berbobot yang dengan karyanya bisa mengubah peradaban ke arah yang lebih baik sesuai pedoman KMOI.

      Terakhir, semoga lahirnya buku antologi ini bisa membuat para pembaca menemukan makna tersendiri dari setiap kisah yang kami sajikan, menjadikannya bacaan yang bermanfaat, dan menempatkannya dalam list buku terfavorit.

      Apalah arti sebuah karya jika tidak ada penikmatnya. Karya ini kami persembahkan untuk para penikmat goresan tinta, pecandu rasa dalam bait-bait kata.

Sabang-Merauke, September 2021

 

Memoramy

PJ Kelompok

     

 

Sejumput kata dari Sahabat

Bismillahirahmanirrahim.

Terucap syukur pada Allah, telah memberi kami kemudahan dalam penyusunan antologi Tempat kembali. Buku ini kami persembahkan untuk Allah sebagai wujud syukur, orang tua, keluarga terdekat, serta sahabat semua yang membaca buku ini. Terima kasih yang tak terhingga kepada tim istimewa Tinta Pena & Lentera Diksi, atas kemurahan hati, menerima kritik dan saran dalam proses penulisan buku antologi Tempat kembali. Sebuah perjuangan yang mengharukan sekaligus melegakan yang kami (Tinta Pena & Lentera Diksi) tulis dengan harapan pembaca akan mendapatkan sebuah pelajaran dari tulisan kami ini.

Terima kasih juga kepada teman-teman tim antologi dan tim editor, karena telah bekerja begitu keras dalam proyek ini. Dan kepada kak Nur Afiah dan Kak Amy Darmi, PJ luar biasa kita, dan kakak-kakak terbaik yang selalu memberikan kami bimbingan dan dukungan.

            Tidak lupa kami haturkan terima kasih untuk keluarga kami, ayah, ibu, adik, kakak, suami, anak, dan juga sahabat yang jauh di mata tapi dekat di hati, yang selalu memberikan dukungan, motivasi, doa, dan kesempatan kepada kami untuk menulis dan menghasilkan sebuah karya bersama.

            Beragam kisah menarik tentang perjuangan melawan rasa menjadi beban dalam keluarga, keadaan hampir putus asa kemudian berhasil bangkit lagi. Memilih antara menyerah atau berjuang lebih keras lagi. Perubahan menjadi pribadi yang baru dan bermanfaat. Semuanya terangkum dalam buku antologi Tempat kembali. Harapannya buku ini bisa mengobati luka, serta membuatmu tetap tangguh dalam menghadapi setiap patah. Percayalah selalu ada kemudahan dibalik ujian yang kita terima. Seperti kata yang sering kita dengar, badai pasti berlalu. Akhirnya, kami Tinta Pena & Lentera Diksi memohon maaf apabila terdapat tulisan yang kurang berkenan, menyinggung, atau tidak sesuai dengan ekspektasi di hati pembaca. Salam pejuang literasi, dari kami Tinta Pena & Lentera Diksi.

Salam hangat,

Rr Syarifah Haniáh

 

 

DAFTAR ISI

Kata Pengantar. 2

Sejumput kata dari Sahabat 3

Bab 1. 6

*    Kun Marátussalihah. 6

Bab 2. 9

*    Shadow.. 9

Bab 3. 12

*    Beban menjadi kebanggaan keluarga. 12

Bab 4. 16

*    Keluarga Satria. 16

Bab 5. 19

*    Beban Orang Tua. 19

Bab 6. 21

*    Mama’s Wonderful Child. 21

Bab 7. 25

*    Sayap untuk Orangtua. 25

Bab 8. 28

*    Tidak Ingin Mengecewakan. 28

Bab 9. 31

*    Perjuangan menjadi yang terbaik. 31

Bab 10. 32

*    Tak cukup Sampai Disini 32

Bab 11. 35

*    Melawan Arus. 35

Bab 12. 39

*    Romantika kehidupan. 39

Bab 13. 43

*    Pulang Kembali 43

Bab 14. 47

*    Pada Mereka Kulabuhkan Segala Rasa. 47

Bab 15. 50

*    Rahasia Jalanan. 50

Bab 16. 55

*    PULANG.. 55

Bab 17. 59

*    Bersama Kesulitan datang pula kemudahan. 59

Bab 18. 64

*    Terdampar. 64

Bab 19. 69

*    Secarik Kisah. 69

Bab 20. 73

*    Mendekap rindu. 73

Bab 21. 77

*    Kembali PadaMu. 77

Bab 22. 82

*    Waktu untuk Pulang. 82

Bab 23. 86

*    Go Home, Son. 86

Bab 24. 90

*    RENO.. 90

Bab 25. 95

*    Telah Pergi 95

Kumpulan. 100

*    Bio Narasi 100

Bab 1.

Kun Marátussalihah

                                                              Hany Alatas

 

Saat becermin, Aku melihat sesosok tubuh sedang dengan bobot ideal, Wajah biasa saja, tidak kusam juga tidak tidak bercahaya, dengan sedikit noda-noda hitam di wajah. Memandang wajah, membuat Aku mengingat, beginilah wajah Ibu saat seusiaku. Memandang wajah Ibu saat ini, membuatku berpikir seperti inilah wajahku 25 tahun lagi, jika diberi umur panjang, mulai kusut dan keriput, tangannya mulai dipenuhi dengan kerutan. Ibu berperawakan kurus dan kecil.

Namaku adalah Aisyah. Aku dilahirkan di sebuah desa yang sangat jauh dari jangkauan kota, sebuah desa di Kabupaten Cilacap. Qadarullah, Aku dilahirkan di keluarga biasa. Ibu dahulu punya sawah warisan dan abahku PNS di instansi kantor layanan masyarakat.

Bagiku, Ibu adalah pahlawan keluarga yang memberi jasa terbesar dalam hidupku. Bagaimana tidak? Ibu melakukan banyak hal yang luar biasa dikehidupan yang penuh rintangan ini. Keringat dan darahnya seolah terkuras didedikasikan untuk keluarga.

Abahku adalah PNS yang disiplin berangkat pagi, pulang menjelang sore. Sehingga urusan anak dan rumah, Ibu yang mengerjakan sendiri. Aku memiliki empat saudara kandung, semua laki-laki. Meskipun Ibu memiliki sawah warisan dari kakek, namun penghasilann Ibu hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari, karena banyak tenaga yang harus dibayar untuk mengelola sawah warisan kakek. Untuk makan sehari-hari saja sering mengandalkan hasil dari kebun, ada kethewel (Nangka muda), daun lumbu dimasak bumbu kuning, cakra cikri untuk kluban/pecel. Ibu bercerita sambil mengingat masa kecil kami. Aku sendiri tidak membayangkan  Kakak yang pertama denganku si bontot hanya selisih 7 tahun, itu artinya hampir tiap tahun Ibu melahirkan.

 

Keributan antara Kakak Adik mewarnai kehidupan kami, berebut mainan, atau keinginan yang berbeda dan beruntun, membuat Ibu sering dibuat pusing dengan ulah kami. Dahulu Aku merasa diperlakukan tidak adil, dan tidak berharga karena perempuan sendiri yang diajarkan untuk selalu mengalah, Kakak adalah habib al atas dan Aku hanyalah seorang Syarifah yang keturunanku kelak mengikuti nasab suamiku. Bahkan pernah merasa hanya sebagai beban bagi kakak, sebab jika bepergian dengan kakak, Ibu akan selalu menitipkan Aku untuk diawasi. Kakak selalu marah, karena merasa terganggu dan tidak bebas.


             Dahulu meski Ibu punya sawah, namun karena Abah mendapat jatah beras bulog, maka Ibu menggunakan beras jatah bulog untuk dikonsumsi sehari-hari, beras yang sering bau, kutuan, itulah beras jatah dari pemerintah. Sampai akhirnya sawah dijual saatku MA, karena keinginan Ibu untuk naik haji.

 

Ibu selalu mengajarkan kami agar selalu hidup tegar. Ibu hanya tamat SMP karena mbah meminta Ibu untuk mondok di pesantren ketika masih kecil. Walaupun begitu, Ibu ingin agar anak-anaknya memiliki nasib yang lebih baik darinya. Ibu berpesan, apapun yang terjadi, kami harus menuntut ilmu setingginya. Bukan harta yang Ibu wariskan namun ilmu. Pesan itu selalu kami ingat dalam ingatan kami, dan akan Aku teruskan untuk anak-anakku.

 

Masalah demi masalah menghampiri hidupku, selama kuliah, bahkan semasa Wiyata bakti guru, kadang salah paham dan kadang berbuat salah dengan guru lain, membuatku makin memperbanyak stok sabar, sampai kini tingkat toleransiku terhadap teman makin besar, dengan memperkecil melakukan perbuatan yang kurang disukai teman dan saat teman berbuat salah terhadapku, Aku hanya tersenyum dan memaafkan, kadang perbuatan mereka tak mampu lagi melukai hatiku, karena Aku sudah menerima sifat baik dan buruknya mereka, apapun yang mereka lakukan Aku menerima dengan tangan terbuka. Diam dan memberi waktu untuk saling introspeksi dan tetap tersenyum menyapa, itulah yang kini Aku lakukan.

 

Entahlah. Namun jika Aku pikir ulang, ini adalah hasil didikan Ibu padaku si bontot perempuan sendiri yang dari kecil dibiasakan untuk mengalah pada Kakak, dan didikan untuk mandiri.

Saat ini, berkat kesabaran, keteguhan, serta semangat dalam menjalani hidup yang ditanamkan oleh Ibu telah membuahkan hasil. Kami terbiasa berada dalam kesulitan, dan terbiasa untuk memecahkan masalah, hal itu memberi pelajaran yang sangat berharga untuk kami menjalani hidup ini.

Dengan penuh kegigihan, abangku yang pertama memang tidak mau kuliah, hanya mengambil kursus administrasi perkantoran yang akhirnya kini berprofesi sebagai penjahit. Namun Kakak yang kedua sampai Aku yang kelima alhamdulillah dapat kuliah dan kini telah mendapatkan pekerjaan.  Kakak kedua di instansi PDAM, Kakak ketiga berprofesi sebagai Kepala SMP Swasta, Kakak keempat kerja di salah satu perusahaan maintenance terkenal dengan posisi pimpinan kantor cabang, Alhamdulillah Aku mengikuti jejak Abah berprofesi sebagai PNS. Pernah suatu kali merasa iri dengan teman-teman yang mempunyai Kakak yang sangat perhatian, memenuhi segala kebutuhannya, namun segera ku pupus agar makin tak kecewa, dan Aku hanya berharap pada Allah Azza Wajalla saja, hanya padaNya saja tempatku meminta.

Ibu selalu berpesan, “Kun Marátussalihah, Jadilah perempuan yang salihah.” Pesan itu akan selalu kuingat, apalagi saat diri merasa lelah. Doa Ibu di setiap Salat wajib dan sepertiga malam telah didengar oleh Allah 'Azza wajalla, hingga tembus langit ketujuh. Meski kini Aku belum bisa membahagiakan secara finansial, Suatu saat Aku bisa membalas semua kebaikan Ibu.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab 2

Shadow

Oleh: Junah

Haruskah tidak bertemu dengan setiap cahaya. Karena kelam itu menjadi bayangan yang tiap ada secercah cahaya kembali datang.

Perkenalkan, namaku Yenny usiaku dua puluh delapan tahun, saat ini menjadi single fighter. Bersama satu-satunya putra kesayangan yang bernama Yudho. Keadaan Yudho yang berbeda dengan anak lainnya mengharuskan fokus terhadap tumbuh kembangnya, kondisi semenjak lahir mengidap penyakit khusus membuatku menjadi fighter yang semakin tangguh lagi.

Ayahnya Yudho meninggalkan kami, ketika mengetahui bahwa Yudho tidaklah sempurna. Tepatnya di hari kelahiran Yudho, sungguh ironis nasibku. Tak ada terlintas mengejar agar dia bisa bertanggung jawab terhadap darah dagingnya. Masih terasa sakitnya melahirkan secara sesar, terasa lebih menyakitkan saat suami yang harusnya melindungi dan membuat semakin tegar tetapi dengan teganya dia mengucapkan talak. Biarlah aku "mampu" saat dia lebih memilih wanita lain.

Keluarga juga sangat terpukul melihat dia seperti itu. Tidak mau menerima keadaan anak kandungnya yang terlahir tidak sempurna. Malah lari dari kenyataan dan lebih memilih kesenangan pribadi bersama wanita lain. Paman yang geram terhadap ulahnya, sampai-sampai memukul keras wajahnya. Terjadilah perkelahian yang tidak bisa dihindarkan. Walau bersikeras, tetap tidak mengubah keputusannya. Akhirnya kami semua lelah dan membiarkannya pergi, sambil mendoakan akan ada waktunya dia kembali mencari anak kandung yang istimewa ini.

Tuhan maha segalaNya, walau ada tamparan keras dalam hidupku tetapi Tuhan pun memberikan sesuatu yang lebih indah lagi yakni arti keluarga yang sesungguhnya. Dengan kelahiran Yudho yang istimewa ini, menjadikan keluarga kami semakin perhatian dan semakin kompak. Jadi, aku tahu mana saja di antara kami yang berperilaku baik atau pura-pura baik. Kedua orang tua sangat menerima keadaan Yudho, perhatian mereka melebihi kasih sayang anak-anaknya. Begitu juga kakak dan adikku, mereka juga menyayangi Yudho melebihi segalanya. Aku sangat bersyukur memiliki keluarga yang sangat menyanyangiku dan selalu mendukung tanpa pamrih. Sosok ayah yang Yudho butuhkan, didapat dari kakek dan kakakku. Mereka memberikan kasih sayang Yudho layaknya seperti anak sendiri.

Sejak kata talak itu terucap tidak pernah hadir kembali di antara kami. Yang harusnya dia memberikan kewajiban menafkahi anaknya pun tidak pernah didapatkan. Jadi, Yudho benar-benar sudah dibuang oleh ayah kandungnya sendiri. Bila diingat bayangan kejadian itu. yang ada hanya rasa sakit mendalam saja. Hancur yang berkeping-keping atas perilakunya yang kejam terhadap anakku.

Berjalannya waktu, saat ini Yudho berumur lima tahun, hari ini pertama kali membawa Yudho ke tempat sanggar lukisnya. Walau berkebutuhan khusus, tapi bakat melukis Yudho sudah terlihat semenjak dia berumur dua tahun. Tiap harinya hanya meminta kuas lukisnya untuk dipegang. Kami bersyukur dengan kelebihan yang Tuhan berikan kepada Yudho.

Kemampuan melukisnya sungguh luar biasa, walau masih balita sudah bisa melukis objek yang ada di sekelilingnya dengan sempurna dan bahkan benda-benda konkret yang ada dibenaknya juga terlukis di kanvas menjadi semakin indah. Karena memang sudah bakatnya, jadi kata-kata yang tidak pernah aku dengar dari mulutnya tertuang semua dari lukisannya.

Keadaan Yudho tidak bisa mendengar, berbicara dan juga bagian organ gerak bawah terbatas tidak bisa berjalan seperti anak lainnya. Tatapan mata anak yang tak berdosa, benar-benar jernih dan suci. Dia sering menartapku, mengisyratkan rasa terima kasih sudah bersamanya dan memancarkan rasa sayang yang terdalam dari hatinya. Terlebih aku ibu kandungnya, sangat menyanyanginya. Seandainya aku sama-sama bersikap membuang Yudho pada saat itu, maka akan terjadi penyesalan seumur hidupku.

Yudho banyak menghabiskan waktu duduk di atas kursi roda kecil, sambil melukis diteras depan rumah. Terlihat beberapa anak tetangga yang seumuran bermain bersama teman-teman lainnya. Mereka saling berlari-larian, mengobrol, berteriak dan lainnya. Tapi Yudho yang sedang asyik melukis tidak menghiraukannya, Yudho lebih menikmati kegiatan melukisnya, sesekali terdiam tersenyum melihat anak-anak tersebut saling bermain.

 Ada banyak lukisan karya Yudho di rumah kami, pada suatu saat ada saudara melihat bakat anakku Mengajak untuk bisa menampilkan beberapa hasil karya terbaik Yudho diacara tingkat kota. Karena memang hasil lukisan sangat bagus, akhirnya tahun kemarin Yudho (tepat empat tahun usianya), membuka pojok galeri di acara ulang tahun Pemkot (pemerintah kota).

Bermula dari acara tersebut Yudho menjadi semakin menyenangi bakat melukis. Kami asah bakatnya dengan memasukannya ke sanggar lukis sesuai arahan dari bapak Wali kota. Para donator juga berdatangan, memberikan perhatian khusus terhadap bakat melukis dan keterbatasan fisik Yudho.Hasil lukisan Yudho juga terjual dengan harga tinggi, jadi dapat menopang kehidupan kami sehari-hari.

Setelah Yudho tampil menjadi terkenal karena bakatnya, ayahnya hadir kembali mengakui bahwa dia adalah darah dagingnya. Pada awalnya aku merasa bahagia akhirnya Yudho diakui oleh ayah kandungnya sendiri. Namun dalam bathinku ‘akankah ini hanya bersifat semu’

Setelah beberapa lama kami bersatu kembali, terlihat bahwa keputusan ayahnya kembali bersama kami bukan dari hatinya tapi karena ingin memiliki banyak hal dari usaha atau kemampuan anaknya yang dibuangnya dahulu. Jadi memanfaatkan kelebihan Yudho agar bisa membeli apa yang diinginkan ayahnya.

Ketika tahu hal tersebut, aku kali ini yang bertindak tegas agar menjauhi ayahnya. Kasian Yudho bukan kasih sayang tulus yang didapat melainkan hanya menjadi sepi perah bagi ayahnya. Sebelumnya bayangan kelam yang sudah mulai hilang, kini kembali terbentuk menjadi bayangan yang makin besar membayangi betapa kelam hatinya sedari dahulu.

Akhirnya sekarang aku dan Yudho telah menutup rapat terhadapnya. Tidak lagi terbuai oleh ucapan manisnya. Dia seperti bayangan, yang tetaplah hanya bayangan. Kami ingin hidup tanpa bayangan itu, hidup bersama terang di mana-mana. Tanpa sedikitpun berharap bayangan kelam itu datang lagi.

 

 

 

 

Bab 3

Beban menjadi kebanggaan keluarga

Oleh: Salman.M.S.A

Dalam setiap keluarga pasti masing-masing orang memiliki keunikan dalam mengekspresikan ceritanya melalui sebuah tulisan hingga menjadi sebuah buku. Dalam mengisahkan keluarga, tentunya ada sebuah kebahagiaan maupun kesedihan hingga membuat kita harus derana.

Setiap cerita yang kita tuangkan, tentunya juga memiliki pelajaran yang begitu berharga. Apalagi persoalan keluarga. Seperti seorang pemuda yang bernama zaky. Zaky adalah orang yang dulunya membebani setiap langkah orang tuanya, kini menjadi seorang yang sukses dan menjadi kebangaan orang tuanya.

 Seorang yang berasal dari kota manado. Kota  yang diidentik dengan berbagai macam tempat-tempat sejarah dan juga memiliki keindahan alam yang begit terkenal di Indonesia. Zaky terlahir dari keluarga kecil yang sederhana. Di rumah, hanya tinggal berempat yaitu Ayah, Ibu, Zaky dan juga adiknya. Dalam keluarga, mereka memiliki karakter yang berbeda-beda. Ayah seorang yang cepat marah tapi bertanggung jawab dan adil dalam membagikan rasa kasih sayangnya. Ibu yang cerewet dalam mengatur tapi pengasih dan pemaaf kepada anak-anaknya. Adik yang sedikit childish dan sedikit bandel. Sedangkan Zaky seorang yang tegas tapi pintar dari bidang akademik.

Begitulah seorang zaky yang malas ketika bangun tidur. Bahkan di masa pandemi seperti ini, kemalasan zaky semakin bertambah. Apakah ini salah situasi yang menyebabkan bertambahnya kemalasan atau kemalangan dari seorang zaky yang tak mau belajar demi meraih masa depan yang cerah? Ibu dan ayahnya selalu protes akan nilai ujiannya. Setiap kali menerima hasil raport nilai, hasilnya tidak memuaskan. Melaink nilainya disuruh untuk dibalas. Supaya bisa naik ke kelas berikutnya. Dengan terpaksa, ibunya harus membayar itu semua.

Kegiatan makan malam yang mereka lakukan, ayah mengambil kesepatan untuk memberi nasihat kepada Zaky. “Zaky?," sapa ayahnya yang penuh perhatian

“Ya Ayah?”

“Sebenarnya Ayah mau tanya, kamu sebenarnya punya niat nggak untuk belajar?" Tanya ayah, "Akhir-akhir ini Ayah selalu memperhatikan tingkah lakumu yang tak pernah berubah. Sebenarnya apa yang kamu inginkan?” Lanjutnya sambil bertanya.

“Aku punya niat, Yah. Cuma aku malas disuruh untuk belajar daring . Apalagi sering mendapatkan tugas banyak, jadi terpaksa aku tak mau membaca isi pesan dari tiap grup kelas.” jawab Zaky.

Mendengar ucapan Zaky, Ayahnya mendekati sambil menyapu kepalanya dan perlahan-lahan berkata dengan lemah lembut, “ Ingat ayah selalu bayar loh nilaimu yang tak memuaskan itu. Bahkan ingin Ayah robek kertas itu. Mau, ya, berubah? Demi masa depan kamu kok! Kalau terus-terusan kamu malas, Ayah akan masukkan kamu ke pondok pesantren.” Zaky hanya bisa mengangguk paham.

Keesokan harinya, Zaky  bangun duluan dari Ibu dan ayahnya. Zaky dengan semangat pagi, langsung bersih diri dan membantu pekerjaan rumah. Mengetahui apa yang dilakukan Zaky, dalam hati Ibunya merasakan sebuah kebahagiaan yang melihat Zaky berubah dan suka membantu kepada Ibunya sendiri. Sisi lain, Zaky juga mengikuti lomba Q-fest yang diadakan oleh Mahasiswa ilmu Al Qur’an dan Tafsir. Lomba yang diikuti oleh Zaky adalah lomba cipta baca puisi islami yang tinggal beberapa hari lagi akan segera dimulai. Yah tentunya, untuk berhadapan dilomba nanti, membutuhkan kesiapan yang cukup banyak, tapi Zaky dengan tenangnya mengatakan kepada dirinya sendiri sambil mengadah ke langit, “pasti saya bisa”.

Melihat akan hal itu, teman Zaky bernama Felix heran melihat tingkah si Zaky yang duduk di teras rumah sambil berbicara ke langit. Sangking penasaran, Felix menghampiri Zaky dan menanyakan keanehannya. Zaky merespons dengan memberitahu alasannya..

Menjelang beberapa hari kemudian, acara sudah di depan mata  Zaky. Karena, persiapan Zaky yang sudah matang,  tentunya bagi Zaky adalah hal yang biasa-biasa saja. Sebelum dia pergi, dia meminta kepada Ibunya, sebuah penyemangatan 

“Kamu pasti bisa kok. Alhamdulillah Ibu bersyukur, melihat tingkah kamu yang akhir-akhir sangat baik dari sebelumnya. Ibu dan Ayah bangga kepadamu. Semoga perilaku seperti ini, harus lebih di update terus menerus, ya?” ujar Ibu sambil mengusap kepala  Zaky

“Bismillah, siap Bu. Insya Allah, perkataan ibu akan aku simpan terus menerus. Sampai ia menjadi darah daging untuk memotivasikan diri sendiri. Kalau begitu aku mau pamit bu. Acaranya udah mau mulai.”

“Oh, ya, Nak. Hati-hati  di jalan.”

“Siap Bu. Assalamu’alaykum.”

“Wa’alaykumussalam Warahmatullah wabarakatuh”

Sesampai di kampus, melihat di deretan samping pangung banyak sekali peserta yang ikut, tetapi itu tidak membuat Zaky merasa gugup atau merasa tak pantas. Dia tetap memberanikan dirinya. Bagi Zaky, hasil yang murni berawal dari proses yang kuat. Ketika acara dimulai, semua peserta disuruh untuk mengambil nomor undian dan mencari duduk yang sudah di sediakan oleh panitia berdasarkan nomor undiannya. Para peserta segera menuju tempat pengambilan nomor undian. Zaky mendapatkan nomor 12 dari 20 peserta cipta baca puisi. satu persatu tampil dengan sangat keren bahkan intonasi sangatkan tepat. Akhirnya sampai pada nomor peserta 12 yaitu Zaky.

“Bismillah pasti saya bisa,” ujar Zaky sambil mengepal tangannya.

Setelah berdiri di atas pangung, Zaky memulai puisinya. Semua tamu undangan dan juga para peserta, hening begitu saja melihat zaky menampilkan cipta baca puisinya. Penghayatan yang pas, intonasi yang begiu teratur, dan volume suara yang begitu rapi.

Selesai Zaky menampilkan puisinya, semua orang berdiri dan menepuk tangan kepada Zaky. Siapa yang mengira, bahwa usaha tidak akan mengecewakan hasil. Setelah selesai semua peserta menampilkan cipta baca puisinya, maka semua para juri merapatkan hasil dari semua peserta yang hebat-hebat semua. Para juri kebingungan siapa yang akan mendapatkan juara nanti.

Maka selesai dari rapat juri, akhirnya pengumuman juara lomba, segera dimulai.

“Baiklah, disampaikan para peserta agar duduk kembali ke kursi berdasarkan nomornya. Baik, sebelum saya membaca hasil kesepakatan juri dan juga berdasarkan analisis dari juri, maka kami berharap teman-teman yang agar memasang dada kalian, untuk mensyukuri dan mengikhlaskan.” Ujar Panitia

“oke saya mulai dari juara 3 ya. Juara 3 adalah ... selamat kepada saudari Salsabila dengan nilai 220. Peserta juara 2, selamat kepada taufiq hidayah dengan nilai 233, dan yang terakhir... waah pada tegang ya? Hehehe.”

Terdengar dari kejauhan asal suara pengumuman juara, akhirnya Ibu, Ayah, dan Adik ikut merasakan ketegangan bersama para peserta dan tamu undangan. Zaky melihat keluarganya hadir, merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Ibu dari kejauhan mengepalkan tangannya, dan mengerakkan bibirnya, dengan berkata “kamu pasti bisa!”.

“okeh teman-teman, juara 1 di raih oleh saudara zaky dengan nilai 250.”

Ibu, ayah dan adik mendengarnya merasa terharu, tersenyum hingga menetaskan air mata kebahagiaan. Zaky  dari kejauhan merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Setelah menaiki panggung dan disuruh untuk menyampaikan kebanggan yang luar biasa, “Aku begini, karena ibu dan ayahku. Ibu adalah penyinaran bagi kehidupanku sedangkan ayahku, adalah pahlawan yang melindungi cahaya tersebut agar tidak dipengaruhi oleh hal yang membuat penyinaran itu redup. Terima kasih Ibu dan Ayah, aku bangga kepada kalian,” ujar Zaky sambil menyeka air mata di pipinya. Selanjutnya adalah sambutan dari Gubernur yang memberikan apresiasi kepada Zaky sebagai pemenang beasiswa.

Mendengar akan hak itu semua terharu dan ibu merasakan kesyukuran yang luar biasa. Siapa yang mengira awalnya hanya menjadi beban orang tua, kini menjadi kebanggaan yang luar biasa.


 

Bab 4

Keluarga Satria

Oleh Samin Farizky

 

            Keluarga adalah sebuah organisasi terkecil di dunia, yang terdiri dari seorang suami, istri, dan anak-anak. Disebut organisasi karena terdiri dari orang-orang dan aturan yang harus dipatuhi. Setiap keluarga mempunyai tujuan masing-masing, tetapi kebanyakan tujuan adalah keluarga yang bahagia. Menurut Islam keluarga bahagia adalah keluarga yang sakinah mawadah warohmah. Artinya keluarga yang tenang, penuh cinta dan kasih sayang. Intinya adalah mendapat rida Allah SWT.  Dari pernikahan yang dibangun atas dasar cinta maka akan terwujud keluarga sakinah mawadah warohmah. Seperti keluarga Fatimah Ra dengan Ali bin Abi Thalib Ra, Keluarga Nabi Yusuf AS dengan Zulaikha atau keluarga Nabi Muhammad Saw dengan Khadijah Ra.

 

            Salah satunya keluargaku. Nama lengkapku Satria Muhammad Ihsan. Dalam keluarga besar, menjadi panutan dalam segala hal, terlebih dalam hal agama. Dibanggakan karena terkenal sebagai seorang Ustaz yang biasa mengisi pengajian, khotbah-khotbah, dan acara peringatan hari besar Islam lainnya. Diandalkan pula untuk menyelesaikan segala masalah, termasuk masalah keuangan. Sebagai kepala keluarga dari sebuah keluarga kecil yang baru terbentuk, atas pernikahan dengan gadis pilihanku dan mendapat rida kedua orang tua. Ya, gadis yang beruntung itu bernama Cahaya Suci, panggilannya Cahya. Aku dan Cahya membangun keluarga atas dasar cinta. Aku  bekerja sebagai seorang Wiraswasta, sedangkan Cahya sebagai seorang guru SDI. Selain sebagai wiraswasta, juga aktif sebagai imam masjid dekat rumah. Masjid An-Nur namanya. Kalau di Masjid, aku di panggil Pak Ustaz Satria. Kami menempati rumah petak, yang di kontrak dengan membayar tahunan. Kami belum memiliki rumah sendiri. Jarak rumah dengan tempat Cahya mengajar hanya berjarak 500 meter, sementara jarak rumah kami dengan Masjid An-Nuur berjarak sekitar 100 meter..

 

Saat waktu zuhur tiba, toko ditutup untuk salat berjamaah. Setelah salat menjemput Cahya di sekolah. Kemudian makan siang bersama di rumah. Cahya jarang masak, karena tidak sempat, kami senantiasa membeli lauk-pauk matang di warung.  Selain memang jarang masak, kami berniat membantu tetangga yang berjualan lauk-pauk matang.

Kemudian kami makan siang bersama. Kami asik menikmati makan siang dengan percakapan kecil diantara kami. Jampun menunjukkan pukul 13.30 WIB saatnya aku kembali ke toko laundry. Seperti biasa kalau waktu zuhur tertulis di pintu toko sedang isoman (istirahat, solat, makan). Para pelanggan sudah hafal jam buka-tutup toko. Segera aku berpamitan kepada Cahya untuk kembali ke toko.

 

Terik matahari yang lumayan panas, mengantarku ke tempat usaha, disertai hembusan angin yang membuat pepohonan menari-nari mengiringi perjalann.  Tak berapa lama pergi, datanglah seorang ibu setengah baya. Setelah dibukakan pintu dan dipersilahkan masuk serta duduk. Kemudian Istriku menanyakan maksud dan tujuan ibu tersebut. “Begini Nak, saya Ibu Haryati yang tinggal di dekat masjid. Tujuan datang kemari hendak meminta tolong meminjam uang,” ucapnya penuh harap. Dia menceritakan permasalahan yang dialaminya dan akibat yang akan diterima.

 

Cahya menghubungiku, menceritakan apa yang terjadi di rumah dan mohon jawaban. Aku berpikir keras bagaimana caranya membantu wanita itu, bahkan kini diriku juga sedang membutuhkan uang. Aku yang menjadi kebanggaan keluarga dan harapan dari masyarakat tidak mau jika sampai keluarga mendengar jika aku yang menjadi kebanggaanya malah membiarkan seseorang kesusahan di depan mata. Akhirnya dengan ikhlas memberikan pinjaman dengan menggunakan uang tabungan. Awalnya Cahya tidak setuju saat kuberitahu, dia merasa tidak seharusnya aku melakukan itu ditengah kepayahan kami. Namun, akhirnya dia luluh dan setuju juga setelah beberapa nasihat dan kuingatkan tentang ceramah yang sering kudengar.

 

“Alhamdulilah,” ucapku.

 

Aku merasakan lega dada ini, nafas lancar dan degup jantug normal. Semua organ tubuh terasa normal. Ya, karena telah mampu menjadi seorang yang bermanfaat untuk orang lain. Keadaan toko setelah itu menjadi ramai pelanggan, ada yang menaruh dan mengambil. Dalam melayani selalu kutebarkan senyum dan kata-kata yang memuji, sehingga pelanggan merasa senang dan terhormat.

 

“Allahu akbar ... Allahu akbar,” suara muazin masjid An-Nur mengumandangkan azan asar, kubereskan toko dan menutupnya kemudian bergegas ke masjid. Setelah salat kubuka kembali toko. Toko tutup jam 17.00 WIB. Jeda waktu satu jam biasa ramai pelanggan. Saat sedang membereskan pakaian, datang seorang wanita paruh baya, dia merupakan pelangganku. Tak kusangka ternyata dia memberikan 10 lembar uang ratusan. Aku masih bingung dan tak percaya atas apa yang kuterima. Wanita tersebut menceritakan bahwa dia sangat berterima kasih, karena aku telah mengembalikan cincin emas pernikahan dan kartu atm miliknya yang terbawa saat akan di laundry. Setelah wanita tersebut pamit, kuberucap memuji Allah SWT dan merenung, “Ya Allah, betapa cepatnya Engkau balas perbuatan hamba, Kau berikan balasan seratus persen, aku membantu wanita di rumah, lalu Kau datangkan wanita lain untuk mengantar balasan kebaikan, terima kasih ya Allah,” renungku dalam hati.

 

Jam menunjukkan pukul 17.00 WIB lebih tiga menit. Aku membereskan toko dan menutupnya. Lalu pulang penuh kegembiraan, diiringi hembusan angin sore aku kembali ke rumah. Mentari dan rembulan akan bertukar peran, sebelum azan magrib berkumandang aku telah sampai dirumah. Cahya menyambut dengan senyumnya yang termanis, yang sering di hadirkan untukku, kubalas senyumnya dengan senyum pula.

 

“Assalamu’alaikum,” ucapku.

 

“Wa’alaikumussalam warohmatullahi wabarokatuh,” jawab Cahya lengkap.

Setelah membukakan pintu dan mencium punggung jemariku, kami beranjak ke dalam. Cahya telah menyiapkan air putih dan perlengkapan mandi. Setelah istirahat dan berbincang kecil dengan Cahya, aku mandi. Saat azan magrib berkumandang aku pamit  untuk mengimami jemaah masjid An-Nur. Aku baru kembali setelah isya.

 

            Jam menunjukkan pukul 21.00 WIB, kami bergegas ke peraduan untuk istirahat. Sebelum tidur kami biasakan bersiwak dan berwudu, kemudian sebelum memejamkan mata kami membaca surat al-ikhlas, istighfar, doa kaum muslimin dan sholawat Nabi masing-masing tiga kali, barulah membaca do’a tidur. Lampu kamar kami matikan, karena begitulah Rasulullah Saw mengajarkan.

 

 

 

 

Bab 5

Beban Orang Tua

 Rosikhatul Baroroh

Beban keluarga, baru terlintas kata itu setelah lulus sekolah. Ketika kita sedang berproses bagaimana susahnya masuk kerja, bagaimana susahnya masuk PTN, bagaimana susahnya berpikir agar setelah lulus nanti kita tidak mengganggur dan jadi beban keluarga.

Dari situ aku berusaha untuk memperjuangkan agar bisa masuk PTN dan akhirnya gagal, temanku selalu mendukungku dan memberi semangat dengan kata, "Banyak Jalan Menuju Roma." Sambil menunggu pendaftaran Perguruan Tinggi Swasta dibuka, aku berusaha untuk melengkapi berkas-berkas persyaratan untuk melamar kerja nanti. Aku pergi kesana kemari untuk mendapatkan surat-surat itu dan semua itu dilaksanakan ketika libur Ujian Nasional. Lelah, letih, dan antrian yang panjang ku nikmati agar kelak aku bisa bercerita pengalamanku kepada teman-teman yang mungkin setelah lulus sekolah juga ingin bekerja.

Setelah semua berkas lamaran kerja lengkap dan mencoba melamar pekerjaan, tetapi belum dapat juga. Tidak menyerah itu kuncinya. Minggu depan aku mencoba lagi, gagal lagi, mencoba lagi, dan gagal lagi. Hingga akhirnya pendaftaran Perguruan Tinggi Swasta pun dibuka. Aku langsung daftar jalur bantuan Bidikmisi. Sambil menunggu pengumuman aku masih berusaha untuk melamar pekerjaan hingga pada akhirnya Tuhan memberi rezeki, aku diterima disebuah Perusahaan menjadi Pelayan Supermarket dan dua minggu lagi aku akan training di Perusahaan itu.

Namun, ketika pulang dari selepas melamar kerja, dikejutkan kabar gembira lagi. Aku diterima di Perguruan Tinggi Swasta tersebut, Masya Allah betapa senang dan terharunya aku dihari itu. Rasa bimbang dan bingung harus melanjutkan yang mana.

 Pada akhirnya lebih memutuskan untuk memilih lanjut di Perguruan Tinggi Swasta tersebut, karena aku pikir ini kesempatan emas yang tidak akan datang dua kali, untuk pekerjaan aku bisa cari di tempat lain lagi. Aku urus semua berkas-berkas yang belum lengkap. Tidak ku sangka bisa kuliah tanpa uang Orang tua.

Setelah masuk kuliah, aku mencoba ikut organisasi yang ada sangkut pautnya dengan alam. Setiap hari menjalani dunia perkuliahan sampai akhirnya UTS dan  UAS selesai aku jalani. Nah, ini peluang lagi untukku agar bisa melamar kerja, aku mencoba melamar kerja kesana kemari, belum dapat kerjaan juga lalu aku terus mencoba lagi dan akhirnya aku menemukan link lowongan kerja yang hanya sementara, ini cocok untukku. Aku daftar dan akhirnya di terima, bisa datang langsung untuk tes di sana. Aku lulus dan mulai bekerja.

 

Aku bekerja di yang lumayan cukup besar di daerah Tangerang, pabrik kosmetik dan gajinya pun lumayan. Aku bisa memberi sebagian gajiku untuk kedua Orang tua dan keponakan-keponakan ku yang lumayan banyak. Aku nyaman di Perusahaan tersebut sampai akhirnya Organisasi di kampus mengharuskan aku untuk selalu ada di sana karena akan mengadakan suatu acara di Bogor (kegiatan alam). Aku bisa menjalaninya, aku menginap di kampus. Pagi-pagi mandi di kampus dan langsung pergi kerja, pulangnya lagi aku ke sekretariat untuk diskusi tentang acara nanti, itulah Kegiatan selama seminggu ini, dan hanya bisa bertahan satu Minggu. Aku diharuskan ikut ke Bogor, sedih karena dengan sangat terpaksa aku harus berhenti dari pekerjaan tersebut. Itulah konsekuensinya bagaimana kita harus mengatur waktu sebaik mungkin antara kuliah, organisasi dan perkerjaan belum lagi waktu bersama keluarga.

 

Aku memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan tersebut dan melanjutkan organisasi. Hingga akhirnya perkuliahan berlanjut lagi, aku naik tingkat menjadi semester dua, hari-hari terus kujalani hingga pada akhirnya Indonesia mulai terserang virus yang namanya virus Corona, biasa dijuluki pandemi Covid-19.

 

Akhirnya semua pendidikan dan perkuliahan terpaksa dirumahkan, belajar via online. Aku tinggal di rumah, karena sebelumnya waktu kuliah offline aku tinggal di kost-an. Nah, ketika online juga aku ada peluang lagi, karena kuliah hanya 4 hari, dan 3 harinya aku bisa untuk bekerja dan bisa memberi rezeki kepada kedua Orang tua ku.

Kerja menjadi Pelayan toko dengan gaji perminggu. Lumayan untuk jajan hehe... Aku kuliah sambil kerja dan bisa bantu keluarga ku di rumah. Ada faedahnya juga belajar via online, aku bisa memaksimalkan waktu di rumah. Kakak-kakak ku bangga, aku tidak menyusahkan orang tua dan bisa membahagiakan mereka sedikit demi sedikit, selama di rumah aku punya banyak sekali waktu untuk bisa berkumpul bersama keluarga.  Tamat

Bab 6

Mama’s Wonderful Child

Rofianti devi

 

Diriku di umur tujuh tahun akan bertanya, “Apa Lulu beneran berat?” dengan mata berkaca-kaca menahan tangis dan rasa sesak di dada. Bibirku akan bergetar kemudian kugigit saat air mata mulai mengalir. Bibi-bibi kompleks akan panik, bingung ingin membalas apa. Aku hanya akan menunggu saat kedua bibi itu malah saling lirik dan saat kesabaranku habis, tangisku pecah setengah menjerit.

Diam berarti ‘iya’. Itu yang kupelajari dari Mama. Jadi, jawaban yang kuterima adalah ‘Iya, Lulu berat’ itu yang kusimpulkan. Aku berat, berarti Mama tidak akan lagi menggendongku. Mama tidak kuat menggendong yang berat-berat. Itu yang Mama katakan saat menurunkan galon dari gendongannya dan menggelindingkannya ke arah dispenser.

“Ma, apa Lulu berat? Kalau Lulu beneran berat apa Mama tetep mau gendong Lulu?” tanyaku kala itu saat Mama datang karena mendengar tangisanku. “Bibi-bibi tadi bilang kalau Lulu itu beban. Setau Lulu beban itu berat dan Mama tidak kuat kalau gendong yang berat-berat,” cerocosku saat Mama memintaku bercerita.

Aku ingat tubuh Mama menegang mendengar jawabku. Tangannya yang penuh kapal mengelus-elus lembut punggungku. “Tidak kok. Lulu sama sekali tidak berat,” jawab Mama. Wajahku cerah seketika saat mendengarnya. Senyum lebar menghiasi pipi tembam tujuh tahunku. “Jadi Lulu bakal digendong Mama terus?” tanyaku dan kulanjut dengan seruan, “Yey!” saat mengangguk, mengiyakan.

Keraguanku terselesaikan. Iya. Tapi ucapan-ucapan yang menyebutku sebagai beban masih terus kudengar. ‘Bukan. Lulu bukan beban. Kata Mama, Lulu tidak berat.’ Itu yang kukatakan untuk membalas mereka. Beberapa akan diam. Beberapa lainnya lagi akan membalas dengan kata-kata yang tidak kalah menyakitkannya.

Kalimat itu terus berulang bagai mantra di dalam kepalaku. Semua keraguanku lenyap saat mengingatnya. Tapi hal itu membuat orang disekitarku menjadi lebih jengkel. Mereka tidak lagi puas hanya dengan cemoohan. Buku catatan, pensil, penghapus, dan barang-barangku akan disembunyikan. Aku akan dijegal di lorong kelas dan terkunci di kamar mandi adalah pengalaman yang paling mengerikan bagiku.

Mengadu kepada guru juga bukan sebuah pilihan. Itu hanya akan membuat tindakan mereka semakin menjadi-jadi. Lagipula guru ‘lah menjadi alasan mengapa mereka tidak menyukaiku. Anak aneh, memiliki bagus, dan disukai guru. Itu semua cukup untuk mengusik ketenangan mereka.

Di bangku menengah atas, aku belajar untuk diam. Aku hanya akan menunduk saat mereka mengata-ngataiku. Aku tidak mau lagi melihat wajah Mama yang mengangis saat dipanggil ke sekolah dan mendengar yang apa yang kualami. Aku tidak mau melihat wajah kelelahan Mama yang harus bekerja lebih keras untuk membayar sekolah baruku yang lebih mahal.

Keyakinaku semakin hancur saat mendengar ucapan teman setimku dalam olimpiade sebagai perwakilan sekolah. “Sebaiknya kamu bersungguh-sungguh. Berusahalah untuk menang. Kalau kamu kalah kamu hanya akan menjadi anak aneh yang tidak berguna. Berusahalah untuk menang agar orang tuamu bangga dan bukannya menjadi beban bagi mereka.” Aku mengingat setiap kata dari ucapannya dan terus berulang di kepalaku bagai kaset rusak.

Aku membantah, tentu saja. Tapi percuma. Karena raut kelelahan dan tangis Mama yang berusaha dengan keras ia sembunyikan seketika terlintas di kepalaku. Hari itu aku kalah. “Peringkat 13,” jawabku kepada Mama. Aku ingat rasa kekecewaan sekilas terlihat di balik senyumnya.

Hari itu aku bersumpah untuk berusaha lebih keras lagi. Aku hanya tersenyum dan berceloteh tentang alasan mengapa aku harus belajar sampai malam saat Mama menyuruhku tidur. Kerja kerasku terbayar. Aku pun lulus sebagai peringkat satu dengan lusinan piala dan piagam yang mengiringi langkahku. Namun, keraguan masih terus menggembung di dadaku. Tidak cukup.

Aku tidak melanjutkan pendidikanku. Ijazah SMA dan gangguan yang kuderita membuat pilihanku menjadi terbatas. Komikus, itulah yang kupilih. Mama selalu memuji gambarku. Begitu juga semua guruku pada masa sekolah. Aku cukup percaya diri. Aku mengirimkan naskahku ke berbagai penerbit. Mengajukannya ke berbagai platform baca online juga. Tertolak bukan hal baru bagiku. Rasa ketakutan menjadi beban Mama lebih besar daripada rasa putus asaku. Aku terus berusaha keras. Hingga akhirnya karyaku dikenal banyak orang.

“Lalu siapa sosok yang paling berjasa dalam kesuksesan yang Kak Lulu capai hingga saat ini?”

Pertanyaan itu diutarakan oleh si pembawa acara setelah diriku menceritakan perjalanan kesuksesanku, from zero to hero. “Mama. Tentu saja Mama saya.” Aku menoleh menatap Mama di bangku penonton. Ia menutup mulutnya, air matanya mengalir, tapi aku tahu itu adalah tangisan haru.

“Bisa dijelaskan kenapa Mama Kakak bisa menjadi orang yang paling berjasa?”

“Waktu kecil, dokter bilang saya mengidap ADHD. Mudahnya, saya bukanlah anak yang bisa diam. Hiperaktif gitu. Mengurus anak yang bahkan akan hilang dari pandangan dalam kedipan mata itu bukan hal yang mudah. Apalagi sebagai seorang single parent. Tapi Mama mampu. Mama selalu sabar dan berusaha sebisa mungkin untuk membuat saya bahagia. Orang-orang selalu memandang kasihan keluarga kami. Mereka selalu mengasihani Mama karena memiliki anak seperti saya. Tapi Mama membantah semua omongan itu. Mama bangga mempunyai saya sebagai anaknya.”

Aku menatap Mama dengan senyuman. “Dalam perjalanan kami ke sini, saya bertanya kepada Mama. ‘Apa Mama bangga dengan Lulu? Apa Lulu masih menjadi beban bagi Mama?’ Mama langsung memeluk saya dengan erat. Bahkan saya sempat ketakutan karena sulit bernapas.” Aku tertawa pelan mengingat kejadian tadi.

“Mama bilang, ‘Mama selalu bangga dengan Lulu. Lulu tidak pernah menjadi beban Mama. Lihat! Lulu mau masuk TV! Anak Mama bakal masuk TV! Sekarang ibu-ibu kompleks lain juga pasti bakal sependapat dengan Mama!’”

Pembawa acara itu mengungkapkan kekaguman setelah mendengar jawabanku. Pertanyaan demi pertanyaan terus terlempar dan tanpa sadar acara ini telah selesai. Aku keluar gedung dengan tangan yang terkaitkan dengan lengan Mama. “Lulu bukan beban. Lulu itu anak Mama yang paling hebat! Mama bangga dengan Lulu. Mama sayang banget sama Lulu.”

Aku tersenyum lalu memeluk Mama, “Lulu juga sayang banget sama Mama. Banget, banget, pake banget. Mama itu harta karun Lulu! Eh, Mama bau kecut!”

 

 

 

 

 

 

Bab 7

Sayap untuk Orangtua

Rizky Nur Aini

 

Seorang gadis yang terlahir dari keluarga sederhana bernama Kamila. Kamila terlahir dari seorang ibu yang bernama Fatimah dan ayahnya bernama Ahmad. Kamila adalah seorang gadis dengan empat bersaudara, Kamila merupakan anak gadis diantara tiga saudara laki-laki nya. Kamila anak yang rajin, berbakti, dan pemalu. Kamila dan saudaranya di didik oleh orang tua mereka dengan disiplin dan keras. Setiap dari mereka mendapatkan nilai yang buruk membuat orang tua khawatir. Oleh karena itu, orang tua kamila selalu menekankan suatu pendidikan yang baik untuk anak-anak mereka.

Meskipun Kamila adalah anak gadis diantara 3 saudara laki-laki nya, ia adalah anak yang menonjol. Prestasi ia peroleh selalu selama dalam pendidikan. Mulai dari sekolah TK, dan SD Kamila selalu mendapatkan juara kelas. Berbeda dengan ketiga saudaranya. Meskipun Kamila selalu mendapatkan juara, tidak selalu Kamila mendapatkan pujian dari orangtua. Ketiga saudaranya juga diminta untuk seperti Kamila yang selalu mendapatkan nilai bagus. Kemampuan setiap orang tidaklah sama, dan setiap orang memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing.  Kertika sampai dewasa pun, Kamila tetap menjadi juara kelas hingga sampai di perguruan tinggi, Kamila tidak pernah mendapatkan kategori rendah atau buruk.

Kamila berharap suatu saat nanti bisa memberikan kebahagiaan dan menjadi kebangga kedua orang tuanya. Bisa memenuhi segala kebutuhan keluarga. Namun, nilai yang bagus di sekolah tidak selalu menjadi patokan untuk anak menjadi seorang yang sukses nantinya. Kakak Kamila yang saat sekolah tidak begitu pintar dan sering dimarahi orang tua ia telah berhasil menjadi seorang polisi. Kakak Kamila yang bernama Afwan menjadi seorang polisi di luar daerah. Afwan menjadi orang yang sukses, dia telah bisa membantu ekonomi keluarga, memberikan kedua orang tua mau, dan membiayai sekolah adik-adiknya. Kamila yang merupakan anak kedua menjadi minder akan hal itu, Kamila merasa ia tidak menjadi apa-apa.

Setelah lulus kuliah, Kamila mengajar di yayasan sebagai pekerja honorer. Awal memulai mengajar, Kamila baik-baii saja menerima dan semangat dalam menjalani kesibukannya sebagai pengajar dan ikhlas menerima upah yang diberikan. Meskipun jika di hitung, upah yang diterima Kamila tidak cukup untuk kebutuhannya. Kamila ingin sekali memberikan uang gajian disetiap bulannya kepada orang tua. Namun, apalah daya dengan upah yang tidak seberapa membuat Kamila merasa harus mencari pekerjaan tambahan.

Ketika dalam keluarga ditempatkan pada posisi kekurangan, orang tua bingung membutuhkan uang. Kamila tercengang, karena ia ingin sekali membantu, namun tidak memiliki uang. Keadaan yang seperti itu, membuat suasana menjadi berubah. Orang tua Kamila merasa, “Jika tidak bisa membantu finansial orang tua hendaknya Kamila membantu pekerjaan rumah” kata orang tua Kamila. Hal-hal sepele menjadi penyebab suatu masalah dan masalah. Batin Kamila merasa tertekan, dia ingin sekali bisa meringankan beban kedua orang tuanya, tapi jangankan membantu, mencari pekerjaan saja, dirinya harus bersusah payah.

Hingga akhirnya segala aktivitas online Kamila lakukan demi mendapatkan tambahan uang. Namun, kembali Kamila mengalami jatuh bangun dalam usahanya. Muulai dari menjadi reseller kaus kaki dan hanya bertahan tiga bulan. Selanjutnya, Kamila mencari uang dengan melihat konten-konten yang diunggah oleh aplikasi yang menghasilkan uang, walau sehari hanya mendapat tiga ribu rupiah. Sampai begitu kondisi Kamila hanya untuk membantu finansial orang tuanya. Setelah usaha melihat konten dirasa Kamila tidak memberikan hasil optimal, Kamila berpindah haluan berpindah berjualan madu online. Dia menawarkan kepada teman dekat dan tetangganya. Sayang, Kamila mendapatkan ejekan karena usaha yang saat ini dijalaninya. Namun, bagi Kamila, saat muda dan memiliki banyak waktu luang untuk berusaha, dia akan melakukannya. 

Selain itu, Kamila juga mencoba membuat makanan ringan untuk dijual, gaji dari mengajar ia gunakan sebagai modal usaha tersebut. Kamila mencoba membuat makanan ringan dan mengemasnya sendiri. Hal tersebut Kamila lakukan dari tahap awal, agar Kamila tahu modal pertama dengan hasil pertama apakah bisa cukup atau melebihi gajinya dari mengajar. Makanan yang telah siap untuk di jual, Kamila titipkan di warung-warung terdekat. Sebagian warung dan tempat perbelanjaan tidak menerima karena tidak banyak orang yang menyukai makanan itu. Hal tersebut membuat Kamila hampir putus asa. Seribu langkah ia lakukan untuk bisa membantu dan membahagiakan orang tua. Dalam pemikiran Kamila hanyalah orang tua dan orang tua. Entah ia berusaha untuk menampilkan bahwa ia bisa atau tidak mau kalah dengan kakaknya Afwan. Tetapi tujuan utama dari segala usahanya adalah untuk membahagiakan orang tua.

Tahun telah berganti, dan usia Kamila selalu bertambah. Namun keadaan tidak berubah, usaha yang Kamila kembangkan tidaklah berbuah manis sampai sekarang. Usaha makanan yang ia kerjakan terkakhir juga tidak sama sekali memberikan hasil. Gaji yang ia gunakan sebagai modal hangus, hingga akhirnya Kamila tidam memiliki pegangan uang sama sekali. Kamila termenung, apa yang harus ia lakukan lagi untuk menghasilkan uang. Sambil terdiam, melihat cerita teman di media sosial banyak sekali yang menawarkan kosmetik dan perawatan tubuh. Melihat hal tersebut Kamila mencoba lagi untuk menjual produk kosmetik. Namun, Kamila berfikir jika menjual kosmetik harus memiliki wajah cantik agar pembeli tertarik dan menyakinkan kalau kosmetik nya bagus.

Kamila merasa tidak percaya diri, namun disekolah Kamila juga ada teman yang menjual kosmetik. Tetapi paras tidak sesuai dengan pemikiran Kamila mulai dari itu, Kamila merubah pola pikirnya dan menghilangkan rasa tidak percaya dirinya akan kesesuaian parasnya untuk menjual kosmetik. Selang beberapa hari, Kamila mencoba menghubungi pihak penawaran penjualan kosmetik ternama. Akhirnya Kamila memulai usaha menjadi penjual kosmetik. Kamila mencoba mencurahkan isi hatinya tentang sagala usaha yang ia coba kepada mentor penjual kosmetiknya. Lalu sang mentor memberikan solusi akan masalah yang ia alami. Serta mencoba memberikan keyakinan jika dalam usaha harus gigih dan tekun, kuat mental dan selalu berusaha. Setiap kegagalan itu wajar, namun dengan kegagalan itu bisa bangkit atau malah terpuruk yang akan menentukan keberhasilan seseorang.

Kamila berfikir, apakah ini adalah usaha terakhir Kamila dalam mencoba dalam hal usaha. Karena Kamila disini merasa yakin, dan terarah dari sebelumnya. Setiap hari Kamila di bimbing bagaimana menawarkan kepada pembeli, dan bagaimana menarik pelanggan. Setiap ada bimbingan Kamila langsung memberikan aksi dan setelah itu di evaluasi dan itu dilakukan setiap hari selama 6 bulan. Kamila tidak menyangka jika akhirnya rezekinya di sini. Hasil dari usaha ini Kamila bisa memberikan mobil kepada orang tua. Orang tua bangga dengan Kamila segala usaha dan cara Kamila lakukan dan akhirnya membuahkan hasil yang luar biasa dan Kamila tidak pernah menduga sebelumnya. Memang benar, usaha tidak akan pernah membuahkan hasil. Yang terpenting nukan lah seberapa banyak kamu jauh. Namun, berapa banyak kali terjatuh namun berapa kali juga untuk daoat bangkit dan berusaha kembali.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab 8

Tidak Ingin Mengecewakan

                                                           Rita Tatha

Abimana yang baru saja masuk ke rumahnya, segera mendudukkan tubuhnya begitu saja di atas sofa ruang tamu. Dia memijat pelipisnya dengan perlahan, untuk mengurangi rasa sakit di kepalanya yang terasa begitu berdenyut. Beberapa hari terakhir ini, pekerjaan Abimana sangatlah sibuk hingga membuat dia seringkali melupakan makan siangnya, bahkan terkadang dia tidak makan siang sama sekali.

Abimana sering merasakan sakit di ulu hatinya, rasa sakit yang menjalar sampai ke seluruh tubuhnya, bahkan rasa sakit itu terkadang terasa panas yang membuat tubuhnya terasa seperti terbakar. Namun, dia seolah tidak peduli dan tetap memforsir tenaganya untuk terus bekerja, karena dia tidak ingin mengecewakan kedua orang tua yang selama ini selalu membanggakan dirinya.

"Kamu sudah pulang, Bi?" Abimana menoleh ke belakang, dia melihat bapaknya berjalan mendekat ke arahnya.

"Sudah, Pak. Baru saja pulang," sahut Abimana menghentikan gerakan tangannya.

"Istirahatlah, simpan tenagamu baik-baik, karena besok kamu masih harus berkerja." Abimana mengangguk mendengar perintah bapaknya, dia segera berpamitan untuk kembali ke kamar.

Sesampainya di kamar, Abimana merebahkan tubuhnya di atas kasur tanpa melepas kemeja ataupun sepatunya. Dia memegang perutnya yang kembali terasa begitu nyeri, bahkan rasa sakit itu sampai membuat dadanya terasa begitu sesak. Dia menghirup napas panjang dan menghembuskan dengan cepat.

"Aku mohon, kuatlah wahai tubuh. Masih panjang jalan yang harus kita di tempuh," gumam Abimana sembari memejamkan matanya dan berusaha menguatkan dirinya sendiri.

***

Wajah Abimana terlihat sangat pucat, semalam dia terus saja mengerang kesakitan karena rasa sakit di perutnya, seolah ada sebilah parang yang menghunusnya. Ibu Eni-ibu Abimana, sudah menyuruh Abimana untuk tidak bekerja, tetapi Abimana bersikukuh untuk tetap berangkat bekerja.

"Pak Abi, rapat sudah hampir dimulai," panggil Leni, sekretaris Abimana di kantor. Abi tidak menyahuti, dia hanya beranjak bangun dari duduknya. Namun, belum juga dirinya berdiri tegak, pandangan matanya berkunang-kunang. Bahkan, dia memegang meja kerjanya untuk menompang tubuhnya agar tidak terjatuh.

"Pak Abi, baik-baik saja?" tanya Leni sambil berjalan mendekati Abimana dengan raut wajah yang terlihat khawatir.

"Aku baik-baik saja, Len." Baru saja Abimana menutup mulutnya, tubuhnya sudah jatuh terkulai di atas lantai. Leni segera berteriak minta tolong saat melihat Abimana yang pingsan.

Mendengar kabar anaknya pingsan dan dilarikan ke rumah sakit, kedua orang tua Abimana menjadi begitu khawatir dan segera menyusul Abimana ke rumah sakit. Sesampainya di sana, mereka segera melihat keadaan Abimana yang terlihat lemah dengan selang infus di sampingnya.

"Bagaimana keadaan anak saya, Dok?" tanya Ibu Eni cemas.

"Dia menderita sakit maag akut, apalagi saya yakin kalau akhir-akhir ini dia tidak menjaga pola makannya dengan baik," terang Dokter Farhan.

"Kenapa kamu tidak menjaga pola makanmu dengan baik, Bi?" Pak Rudi menatap wajah putranya yang terlihat sangat pucat.

"Maaf, Pak. Akhir-akhir ini pekerjaan Abi sangat sibuk, jadi terkadang Abi melupakan makan siang Abi." Abimana menyahut dengan suara lirih. Pak Rudi menghembuskan napasnya dengan kasar.

"Bi, jangan lagi kamu ulangi. Kamu boleh bekerja keras, tetapi kamu harus jaga pula kesehatanmu. Semua yang kamu lakukan, Bapak selalu bangga kepadamu, cepatlah sembuh."

"Baik, Pak." Pak Rudi mengusap bahu anak semata wayangnya itu dengan perlahan. Baginya, Abimana adalah anak yang sangat membanggakan dengan segudang prestasi yang dia miliki. Namun, Abimana selalu ingin terlihat sempurna, hingga dia selalu bekerja terlalu keras karena dia takut membuat kedua orang tuanya kecewa. Padahal, bagi kedua orang tuanya, sejauh ini Abimana sudah membuat mereka sangat bangga dan tidak pernah sekalipun mengecewakan.

 

Bab 9

Perjuangan menjadi yang terbaik

                                              Risnilasari Jamaluddin

 

Berbicara soal perjuangan, mungkin agak berat rasanya berjuang tanpa diiringi dengan keikhlasan dan kesungguhan. Bagaimana rasanya tertolak di universitas impian, bagaimana rasanya jatuh bangun memperjuangkan sebuah mimpi.  Dari situ aku memahami banyak hal, bahwa hidup ini tidak semudah yang aku fikirkan. Akan banyak air mata, bahkan patah hati yang kurasakan ketika takdir tidak sejalan dengan impianku.

Berawal dari mengharapkan salah satu Universitas terbaik yang ada di Negeri Kinanah, namun ternyata bukan takdirku. Kuputuskan untuk kembali berjuangan di tahun kedua untuk bisa berkuliah di Universitas Al Azhar, namun nyatanya takdir belum juga berpihak kepadaku. Rasanya sangat sakit, ketika mengharapkan lebih namun belum bisa menggenggamnya. Aku bertekad untuk menjadi yang terbaik walaupun di tempat yang berbeda. Bagaimana pun caranya harus jadi yang terbaik. Terlebih aku lebih suka di bidang Agama, ada beberapa kampus yang menjadi pilihanku dan kulabuhkan hatiku untuk memilih Ma’had sebagai tempat saya menuntut ilmu.

Pertama kali bergabung dengan orang-orang hebat, para ustaadz dan ustadzah yang latar belakangnya sudah tidak diragukan lagi. Membuat saya sedikit meragukan kemampuan saya apalagi bertemu dengan teman-teman seperjuangan yang rata-rata lulusan pesantren, ma’had, dan lainnya. Seorang gadis lulusan madrasah yang bermimpi ingin bersekolah di Al Azhar. Sangat mengkhawatirkan jika dibandingkan dengan kemampuan yang teman seperjuangan ku punya.

Kutekad kan niat, kugiatkan usahaku, dan kulangitkan do’a. Ini semua awal dari mimpi-mimpiku. Akhirnya pengumuman nilai final keluar, dan aku bersyukur bisa merasakan di posisi pertama. Ini adalah bukti dari perjuanganku yang berusaha mencari dan mendaftarkan diri kesana kemari tanpa dukungan dan restu orang tua. Di awal perkuliahanku aku tidak mendapatkan restu dari kedua orang tuaku, namun bagaimana pun caranya aku harus bisa meyakinkan mereka bahwa aku bisa. Rasa haru dan bangga menjadi satu. Perjuanganku akhirnya berbuah hasil yang indah. Semua pengorbananku, semua patah hatiku selama ini akhirnya bisa terbayarkan. Aku bersyukur skenario Allah sangat indah untukku.

Aku yang saat ini masih menempuh pendidikan di 2 universitas sekaligus, alhamdulillah tidak pernah mengeluarkan biaya dari orang tua, terlahir menjadi sosok yang tidak enakan dalam hal apapun utamanya dalam meminta uang sama orang tua, menjadikan ku sosok yang lebih mandiri. Segala bentuk kebutuhanku terkadang kalau masih bisa kuselesaikan sendiri, akan kuselesaikan sendiri.

Aku bangga dengan pencapaian dan semua kerja kerasku, akhirnya apa yang kuimpikan satu persatu sedang kuwujudkan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab 10

Tak cukup Sampai Disini

Rizki suryadi

            Orang kaya tak jauh dari kata mewah dan barang mahal, Michel adalah anak Sulung dari pengusaha besar, tak heran kalau Michel sangat dimanja Dan bisa membeli barang yang ia inginkan.

karena michel sering dimanja, ia sering merengek apabila ada masalah dan tidak bisa mendapatkan yang ia inginkan. Suatu saat michel di skors dari sekolah karna kepergok menyontek oleh gurunya, Michel pun mengadu ke orang tuanya tentang masalah ini dan meminta agar ia tidak di skors kalau tidak michel akan mogok makan selama sebulan.

Orang tua Michel pun tak tega jika anaknya bersedih, dan pergi ke sekolah untuk menghapus sanksi yang diberikan ke michel. Ketika ayah michel berhadapan dengan Kepala Sekolah yang berharap bisa menghapus sanksi anaknya, namun sang kepala sekolah tidak menghiraukan omongan Ayah Michel, dengan kesal ayah michel menelpon asistenya untuk mengantarkan uang 500 juta untuk menyogok Kepala Sekolah tersebut. Ketika asisten datang ayah michel langsung mengambil uang dan memberikan uang tersebut ke Kepala Sekolah, Kepala Sekolah yang sedang membutuhkan uang untuk biaya persalinan anaknya pun langsung menerima uang sogokan tersebut.

Dua bulan berlalu, perusahaan orang tua michel mengalami kerugian besar yang mengakibatkan harus menjual 70% saham perusahaanya tersebut dan pindah kerumah yang lebih kecil.

Michel yang tadinya menjadi idola disekolahnya sekarang di bully karna ia sudah menjadi kere dan di kucilkan, karna ngga terima sekaligus malu michel tidak ingin berangkat sekolah dan marah ke orang tuanya agar mengembalikan perusahaan seperti semula. Namun apa boleh buat semua sudah terjadi dan inilah yang harus diterima dengan lapang dada.

Michel di pindahkan kerumah saudaranya di kampung agar michel bisa berubah ke arah lebih baik.

Ketika di kampung michel bangun tidur siang dan engggan membantu bersihkan rumah karna seumur hidup ia tidak pernah melakukan itu.

Silih bergantinya waktu, budhe yang merawat michel meninggal. Disitu Michel tak terima kenapa orang yang baik seperti budhe meninggalkanya sangat cepat. Ketika semua orang menangis di dekat budhe Michel lebih memilih menyendiri di teras rumah dengan menahan tangisan.

Setelah meninggalnya budhe, michel mulai membiasakan melakukan kegiatan rumah tangga yang biasa dikerjakan budhenya. Meskipun sulit untuk dilakukan Michel paksakan lakukan itu karna kalau bukan dirinya siapa lagi yang akan membantunya.

            Tak terasa Michel sudah lulus dengan nilai yang bagus, semua orang dan temanya heran kenapa Michel bisa mendapatkan nilai sebagus itu, padahal ia jarang belajar. Meskipun Michel  tidak pernah belajar, tetapi saat ia mencontek dan membaca contekan tersebut otomatis apa yang Michel baca langsung bisa diingat itulah kelebihan Michel.

            Saat waktu Pendaftaran di perguruan tinggi  baru, Michel ragu bisa masuk universitas favorit ini, michel pun mulai melaksanakan ujian di kampus barunya dan berharap bisa lolos. Setelah lama mengerjakan ujian michel menunggu hasil ujian tersebut.  Tak di sangka michel berada di posisi ke 5 dari ribuan orang yang mengerjakan ujian. Akhirnya Michel bisa menjadi kuliah di kampus favorit pilihanya

Saat Michel lulus Kuliah, ia di kabari orang tuanya untuk kembali ke kota asalnya dan tinggal bersama keluarganya kembali karna masalah pada keluarganya sudah sedikit reda. Michel pun mengiyakan ajakan orang tuanya untuk kembali pada keluarganya. Setelah pindah Michel mendapatkan teman yang senasib denganya, namun temanya Michel tidak pernah bebuat yang merugikan seperti yang dilakukan Michel. Michel pun belajar dari temanya agar tidak melakukan hal bodoh karerna hanya melampiaskan amarahnya.

            masalah yang menimpanya dan melihat dampak kedepanya. Silih bergantinya waktu, Michel terpilih untuk mengikuti lomba robotic mewakili sekolahnya di tingkat nasional dan dipilih untuk mengukuti lomba Marcing Band tingkat internasional membawa nama daerah sekaligus nama Indonesia. James pun berhasil mendapatkan juara di 2 perlombaan tersebut.

          Dengan hasil kejuaraan tersebut, michel mendapatkan uang sebanyak 200 juta dan berniat untuk membangun usaha dari uang lomba tersebut.

            Disini kita tahu betapa bermanfaatnya waktu apabila kita menggunakanya dengan sebaik mungkin. Belajarlah selagi masih ada usia, jalani selagi masih bisa.

Bab 11

Melawan Arus

Binar Sendu

Tepat saat matahari tenggelam di horizon barat, suara adzan menggema di langit kota. Seorang gadis memasuki rumah dengan langkah malas. Dia sadar ada seseorang yang menunggunya di ambang pintu. Sang gadis melihat ada tatapan marah yang menyambut kedatangannya. Sang gadis juga sepenuhnya sadar bahwa hari ini dia bersalah.

“Ini jam berapa? Kok baru pulang?” Seseorang di ambang pintu menyambut kedatangan gadis dengan pertanyaan.

“Sekarang magrib. Itu adzannya kedengaran,” jawab sang gadis sekenanya. Lalu pergi masuk ke kamar tanpa ada percakapan lagi. 

Seseorang di ambang pintu−tepatnya ayah hanya menggelengkan kepala menghadapi anaknya.

Gadis itu Hilma. Gadis yang merasa harinya kacau. Mood-nya buruk. Hilma masih merasa kesal setelah ia diserang panggilan telepon dari ayahnya, ibunya,dan juga kakaknya. Sebenarnya Hilma ada acara pentas seni di sekolahnya. Hilma tidak diizinkan mengikuti acara sampai malam. Padahal puncak acara dilakukan di malam hari. Hilma tak masalah jika dia memang tidak bisa mengikuti puncak acara. Tapi perlakuan protektif dari ayah, ibu, dan kakaknya yang berlebihan membuat Hilma kesal. Memang sejak jam setengah lima sore, ponsel Hilma diserang terus dengan panggilan. Ketika diangkat hilma hanya menerima omelan untuk segera pulang. Hilma rasa perlakuan ini terlalu berlebihan.

Inilah yang dirasakan Hilma sebagai seorang anak bungsu di keluarganya. Merasa dirinya terkekang. Dalam keluarganya memiliki aturan yang begitu membatasi Hilma untuk melakukan segala sesuatu. Hilma selalu diberikan tuntutan agar Hilma mengikuti ekspektasi orang tuanya. Ini sangat berat bagi Hilma. Ditambah dirinya yang tidak bisa mengikuti arus zaman yang sangat lekat di jiwa remaja sepertinya.

“Dek inget ya, kalau pulang jangan terlalu sore. Kalau ada kegiatan yang mendesak gapapa. Tapi kalau cuma pensi pulang lebih awal kan bisa.” Ibu memulai pembicaraan di sela Hilma makan. Sudah diduga oleh Hilma kalau topik ini akan dibahas lagi oleh Ibunya.

Hilma mengangguk. “Jangan diulangin ya. Lalu kenapa tadi orang rumah telepon nggak diangkat?” Ibu benar-benar ingin memojokkan Hilma di masalah ini.

“Cukup, bu. Sebelum berangkat ibu berpesan jangan pulang malam. Aku udah nurutin kok. Aku pulang magrib karena diperjalanannya yang lama.” bela Hilma dengan suara yang parau. Rasanya ingin menangis. Masalah kecil yang selalu ditekankan sebagai kesalahan Hilma.

“Kok malah alasan sih, anak zaman sekarang memang susah dibilangin ya?” Ibu pergi menuju ruang tengah tempat ayah berada. Ibu menggeleng seperti memberi kode ke ayah.

Hilma bergegas menuju kamar. Menenggelamkan wajahnya di bantal dan menangis semau dia. Hingga tanpa sadar dia terlelap dalam tidur. Meratapi hidupnya yang terasa hampa. Hilma merasa hidupnya terkekang. Hilma tidak bisa melakukan yang biasanya dilakukan remaja sepertinya. Seperti pergi jalan-jalan bersama teman, berpacaran, atau hal sederhana seperti kegiatan pentas seni di malam hari pun tidak Hilma rasakan. Gadis biasa yang dibatasi dan dituntut banyak hal. Hilma biasanya menjadi orang minoritas yang melihat kaum mayoritas melakukan kebebasan dalam hidupnya.

***

Sekarang Hilma berada di ruang tengah. Menonton televisi dengan volume kecil. Sekarang adalah tengah malam. Hilma sudah bangun dari tidurnya. Setelah melaksanakan salat isya, Hilma memilih melihat televisi sendirian. Hilma ingin me time untuk memperbaiki mood. Hilma memilih melihat televisi daripada bermain ponsel. Karena bermain ponsel membuatnya semakin hampa.

“Dek, kok enggak tidur?” suara Zhafira−kakak Hilma di depan pintu kamarnya.

“Ini baru bangun tidur kak,” jawab Hilma tanpa menoleh.

“Kamu masih kesal ya sama kejadian tadi sore?” Zhafira menghampiri Hilma.

“Tau aja,” jawab Hilma singkat.

“Sabar ya dek,” hibur Zhafira yang telah duduk di samping hilma.

            “Kak, aku mau curhat.” Hilma menatap kakaknya.

“Curhat aja.” Zhafira merapikan duduknya. Siap mendengarkan.

“Kakak merasa dibatasi enggak sih sama ayah ibu? Banyak aturan dalam keluarga yang membuat kakak enggak bebas. Aku merasa begitu, Kak. Rasanya Hilma tuh capek ngikutin ekspektasi ayah ibu. Hilma merasa gagal terus. Gagal menjadi Hilma yang diharapkan ayah ibu. Hilma juga capek menjadi remaja yang enggak mengikuti arus zaman. Setiap hari aku harus melawan arus yang ada demi mengikuti ekspektasi keluarga ini.”

Zhafira tampak berpikir mendengar curhatan adiknya.

“Kakak juga pernah merasakan. Tetapi ada beberapa hal yang enggak seburuk pikiran kita kok. Kalau kita mau melihat dari sudut pandang berbeda,” ucap zhafira.

“Maksud kakak?” Hilma mengerutkan dahinya.

“Oke maksudmu melawan arus tuh gimana?’

“Ya aku merasa dibatasi. Misalnya aku enggak boleh keluar malam. Aku enggak boleh pacaran. Di antara teman-teman yang lain aku tuh kontras, Kak. Beda banget.”

“Hil, kalau menurut kakak kamu enggak sedang melawan arus,” ucap Zhafira.

 “Tapi Hilma masih kesal kak. Keluarga kita terlalu berlebihan protektifnya.”

“Jadi kamu merasa hidup di keluarga otoriter?” tanya Zhafira.

“Ya seperti itu,” jawab Hilma dengan wajah kesal.

“Kakak pernah ngerasain itu kok. Kakak juga merasa dibatasi. Tapi kakak sadar setelah mendengarkan kata-kata dosen kakak.” Zhafira memberikan senyum yang bermakna.

“Emang kata-kata dosen kakak tuh apa?” Hilma bertanya penasaran.

“Keluarga adalah madrasah pertama manusia. Keluarga adalah pelabuhan diri manusia,” ucap Zhafira dengan semangat. Zhafira merapikan duduknya. Siap menjelaskan.

“Keluarga adalah madrasah pertama manusia. Tempat manusia pertama kali dikenalkan dunia. Keluarga juga pelabuhan diri. Kalau dianalogikan manusia itu kapal dan keluarga sebagai pelabuhan. Nah di pelabuhan, manusia itu diberi didikan dasar dalam hidup, diberi petunjuk arah tujuan kapal kita, dan tempat yang memberi energi kita sebelum berlayar. Tentu tempat kita berlabuh ketika ada masalah. Bagaimanapun ayah dan ibu adalah pelabuhan yang terbaik buat kita. Kalau dipikir didikan dan larangan mereka adalah hal yang memang wajar. Larangan yang mereka berikan memang dilarang di agama. Itu demi kebaikan kita. Tidak masalah kita menjadi kapal yang melawan arus air. Karena bisa jadi kita sampai ke tujuan dengan berlayar melawan arus. Bisa jadi dengan melawan arus justru membawa kita berlabuh ke tempat yang indah. Kalau kita mengikuti sembarang arus bukankah bisa membawa kapal kita ke pusaran yang bahaya? Atau ke air terjun yang bisa memberikan kehancuran? Iya kan?”

Hilma mencerna kalimat kakaknya baik-baik. Rasa bersalah yang semakin besar di hati Hilma. Dia sadar selama ini dia belum bersyukur.

“Aku hanya memberikan pemahaman dari sudut pandangku aja kok, Hil. Semua tergantung kamu bagaimana menyikapinya,” ucap Zhafira. Lalu membuka ponselnya memberikan waktu Hilma berpikir.

“Kak, Hilma sekarang sadar,” ucap Hilma sambil tersenyum. Zhafira tersenyum mendengar kalimat adiknya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab 12

Romantika kehidupan

Oleh: Artysays

Gumpalan awan gelap masih menggelayut, tampak serombongan burung terbang rendah di langit. Mungkin sebentar lagi hujan akan turun.

Di sisian jalan raya terlihat seorang anak laki-laki berseragam SD sedang berlari tergesa-gesa seakan diburu waktu.

Tiba di rumah, anak laki-laki yang ternyata beenama Chiko itu bergegas masuk tanpa mengucap salam padahal terlihat ayahnya sedang duduk santai sambil membaca koran di ruang tamu yang ia lewati.

“Ucap salam dulu sebelum masuk rumah, Ko,” tegur sang ayah seraya menatap ke Chiko.

“Nggak sempet, Yah, Chiko buru-buru ada urusan,” sahut Chiko yang kini sudah berganti pakaian, seraya menyambar kunci sepeda motor yang tergeletak di meja di hadapan ayahnya.

Begitulah keseharian Chiko. Semenjak kepergian ibunya, Chiko menjadi anak yang susah diatur. Segala kemauannya harus dituruti, membuat ayahnya khawatir dengan perkembangan Chiko. Ia tidak betah tinggal di rumah. Pulang ke rumah hanya untuk makan, ganti baju, lalu pergi lagi. Melihat kondisi anak sulungnya yang susah diatur, ayahnya berencana memasukkan Chiko ke pesantren.

Selepas magrib pemuda belasan tahun itu baru pulang. Ayahnya berencana mengajak Chiko bicara dari hati ke hati.

“Kalau sudah selesai makan, ayah mau ngomong, Ko,” ucap ayah kepada Chiko.

“Siap, Yah,” jawab Chiko singkat.

Dalam hitungan menit pemuda tanggung itu sudah menyelesaikan makannya.

“Mau ngomong apa, Yah?” tanya Chiko penasaran.

“Setelah lulus sekolah dasar masuk pesantren ya, Ko,” ucap ayah penuh harap.

“Masuk pesantren! kayak kurang kerjaan aja, Yah.Chiko begitu terkejut mendengar ucapan ayahnya.

Ayahnya berusa membujuk dengan berjanji akan memenuhi segala permintaannya hingga Chiko akhirnya mau masuk pesantren. Keesokan harinya, Chiko dan ayahnya survei ke beberapa pondok pesantren. Akhirnya pilihan Chiko jatuh ke sebuah pondok pesantren di daerah terpencil yang berhawa dingin.

Sebulan sekali ayah menjenguk Chiko di pesantren. Banyak sekali perubahan pemuda tanggung itu. Terlihat raut muka bahagia di wajahnya. ayah melihat perkembangan Chiko menuju ke arah yang lebih baik.

“Jadi anak saleh ya, Ko!” pinta ayah penuh harap.

“Siap, Yah,” jawab Chiko seraya mengangguk.

Waktu berjalan begitu cepat, dua tahun sudah Chiko belajar di pesantren. Hingga pandemi melanda dunia tak terkecuali Indonesia. Pesantren di mana Chiko belajar juga terkena imbasnya. Pertengahan bulan Maret 2020 sekolah diliburkan-termasuk pesantren tempat Chiko belajar. Semua santrinya di pulangkan Chiko pun kembali lagi pulang ke rumah.

Tak berselang lama, Chiko kembali bergaul dengan teman-teman lamanya. Pergaulan Chiko yang sekarang lebih parah, ia bergaul dengan anak jalanan bahkan sampai berhari-hari tidak pulang ke rumah.

Sudah satu minggu, Chiko tidak pulang ke rumah. Ayahnya begitu resah, ia berusaha mencari Chiko ke berbagai tempat yang sering dikunjungi sewaktu SD dengan dibantu saudara dan teman kerja. Berbekal informasi dari teman-teman sekolahnya, akhirnya Chiko berhasil ditemukan.

Mendengar ponsel bordering, ayah segera menyambarnya, ternyata kepokannya yang bernama Sarah menelepon.

“Aku melihat Chiko ngamen di bawah lampu merah pusat kota, Om,” terdengar suara Sarah di ujung telepon sesaat setelah ayah menggeser tombol hijau di ponselnya. Sarah juga berkata hampir tak mengenali Chiko dengan penampilannya yang sekarang.

Tak lama setelah menutup telepon, sang ayah bersama Dedi—omnya Chiko, yang juga kakaknya satu-satunya segera meluncur ke lokasi menjemput Chiko.

Alhamdulilah, ia masih dipertemukan dengan Chiko. Ayah marah besar kepadanya.

Mau jadi apa kau, Nak!” bentak ayah.

Plakk! Sebuah tamparan mendarat di pipi Chiko. Seolah tidak merasakan sakit, ia hanya diam menunduk. Penampilan baru Chiko yang sekarang bertindik, bertato, dan berpakaian lusuh layaknya anak jalanan.

“Kenapa kamu, Nak! Apa yang terjadi denganmu?”  teriak Ayah Chiko penuh amarah.

Jangan diam saja, jawab Chiko?” bentaknya lagi.

“Chiko nggak mau Ayah menikah lagi,” jawab Chiko sesunggukan menahan tangis.

Akhirnya anak laki-laki itu mengungkapkan apa penyebab yang membuatnya menjadi berontak.

“Calon ibumu orang baik, Ko, dia nanti yang akan merawat kamu dan adikmu.” Ayah mencoba meyakinkan Chiko.

Perlahan-lahan ayahnya memberi pengertian kepada Chiko, bahwa ayahnya membutuhkan sosok seorang wanita di rumah itu untuk menjadi pendamping sekaligus ibu untuk Chiko dan adiknya.

Seiring berjalannya waktu, Chiko mencoba memahami apa yang ayahnya katakan. Hingga akhirnya Ayah menikahi wanita salihah pilihannya. Namanya Tante Aisyah, seorang wanita yang tidak hanya cantik fisiknya saja, tetapi juga cantik perilakunya.

Namun, setelah pernikahan ayahnya, Chiko kembali tidak pulang lagi. Ayah beserta ibu barunya mengelilingi kota mencari keberadaan Chiko. Hingga mereka menemukannya dan memaksanya pulang. Kondisinya sekarang semakin parah. Tidak hanya penampilannya yang acak-acakkan, Chiko juga sudah merokok dan mengenal minuman keras. Pergaualan bebasnya dengan muda-mudi jalanan sudah tidak terkendali.

Sekembalinya ke rumah, Chiko berusaha disadarkan bahwa pergaulannya tidak benar. Berbagai cara ditempuh ayah dan ibunya untuk menyadarkan Chiko. Semuanya tidak ada yang instan, perlu waktu untuk keluar dari lingkaran pergaulan jalanan.

Dengan penuh rasa sabar dan kasih sayang, perlahan ayah dan ibunya bisa membuat Chiko sadar dan mau berubah. Mereka memutuskan untuk kembali menyekolahkan Chiko, melanjutkan sekolah menengah pertamanya. Alhamdulillah, Chiko lulus sekolah menengah pertama.

Chiko melanjutkan sekolah menengah atas di kotanya. Dengan pola asuh penuh kasih sayang, banyak perubahan Chiko kearah yang lebih positif. Seperti teman-teman yang lain, Chiko pun kini bersekolah dengan baik.

Tahun pertama Chiko bersekolah di sekolah menengah atas, ayahnya jatuh sakit. Sebulan lebih dirawat di rumah sakit, Chiko tidak mau membayangkan hal-hal buruk tentang ayahnya.

Jodoh, rejeki, maut ada di tangan Yang Mahakuasa. Manuasia berusaha Tuhan yang menentukan. Tepat di akhir tahun 2023 ayah dipanggil Yang Mahakuasa.

“Tuhan, hukumlah Chiko, tetapi jangan Kau ambil Ayah!” teriak Chiko tak kuasa menahan tangis.

Tante Aisyah yang sedari tadi diam, tiba-tiba tak sadarkan diri. Para pelayat menangis terharu melihat kondisi saat itu.

Semua yang telah terjadi menyadarkan diri Chiko. Dengan bimbingan Tante Aisyah, Chiko dan adiknya menjadi anak saleh kebanggaan keluarga.

 

Kendal, 21 Agustus 2021

------------------------------------------------------------------------

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab 13

Pulang Kembali

Aulia Kurniasih C

 

     “Riki Sanjaya, udah mama bilang kamu jangan pulang malem! Kenapa sih, kamu itu bandel banget kalo di bilangin?” teriak dari seorang wanita yang sudah berumur 45 tahun yang merupakan ibu dari anak laki-laki yang bernama Riki Sanjaya.

     “Iki udah bilang sama Mama, udah izin sama papa juga kalo hari ini, Iki kumpul-kumpul sama temen sebelum lulus dari sekolah,” ucap Riki mencoba menjelaskan.

     “Mama tahu, tapi seharusnya kamu tahu waktu dong, Ki. Kamu inget peraturan di rumah ini apa? Semua orang yang tinggal di rumah ini dilarang pulang lebih dari jam sepuluh. Kamu tahu itu, kan? Tapi apa yang kamu lakuin sekarang?

     Kamu pulang di atas jam sebelas malam, Ki. Kamu ngapain aja di luar sana! Kalo papamu tahu, kamu sudah dicoret dari kartu keluarga!” marah ibunya. Riki tak bisa menjawab dan memilih untuk diam dan menunduk.

     “Untung aja papamu itu lagi di rumah kakek. Kamu itu harusnya liat tuh, adek kamu. Dia gak pernah langgar aturan rumah kita. Dia juga berprestasi gak kayak kamu!” lanjut ibunya masih dengan amarah yang menggebu.

     Riki diam dan mencerna ucapan ibunya. Apa di sini ia sedang dibanding-bandingkan dengan adiknya sendiri? Riki jadi merasa dirinya juga ikut kesal karena ibunya malah membandingkannyaa dengan adiknya. Dia ya, diaRiki ya, Riki. Mereka berdua berbeda dan tak suka dibandingkan.

     Riki berjalan masuk ke dalam kamarnya, membantingkan tas yang ia bawa. Kesal? Tentu saja! Padahal tadi bersama sahabatnya ia merasa senang, tapi saat ia pulang semuanya hancur. Apakah Riki salah? Ia sudah meminta izin terlebih dahulu dan berbicara kemungkinan ia pulang malam kepada papanya sendiri. Namun, apa yang dilakukan mamanya? Apa papanya tak memberi tahu mamanya? Demi apa pun Riki sangat kesal.

     Dengan perasaan yang masih kesal dan marah, Riki memejamkan matanya. Riki punya rencana untuk besok. Ia tidak suka dikekang seperti ini dan dengan hasil pemikiran marahnya Riki memustuskan untuk pergi dari rumah besok.

      Pagi hari ini Riki sudah berkemas memasukkan pakaiannya ke dalam tas. Riki sudah memikirkan hal ini. Tanpa ada yang mengetahui, Riki itu sudah mengejar beasiswa kuliah di UI dan kemarin ia mendapat kabar bahwa ia mendapatkan beasiswa tersebut. Kemarin, Riki ingin mengabari orang tuanya. Namun apa yang ia dapat sebelum mengatakan hal tersebut? Ia malah dimarahi habis-habisan oleh ibunya sendiri.

     “Iki, kamu mau kemana?” tanya ibunya heran saat melihat anak pertamanya berkemas.

     “Tadinya Iki mau bilang ke Mama, kalo Iki dapet beasiswa buat kuliah, tapi Mama marah-marah. Sekarang Iki mau pergi ke Depok sambil nyari kosan di sana,” ucap Riki dengan wajah dinginnya.

     “Loh, gak bisa gitu dong, Ki! Kta bisa cari bareng. Tunggu papamu pulang dulu,” kekeh ibunya.

     “Gak usah, Ma. Iki pergi sendiri aja. Urusin aja adek yang bentar lagi masuk SMP. Iki berangkat. Assalamualaikum,” balas Riki lalu pergi dari hadapan ibunya.

     “Riki … kenapa kamu keras kepala sekali, kamu bakal tahu rasanya kalo dunia luar itu gak sebaik yang kamu pikirkan. Mama gak doain yang jelek-jelek buat kamu, tapi setelah ini semoga kamu sadar atas tindakan kamu,” gumam ibunya dengan cemas sambil melihat kepergian anaknya itu.

     Berbekal uang lima ratus ribu, Riki sampai di Depok dengan selamat. Riki mulai bertanya kepada orang-orang di daerah sana tentang kontrakan atau kosan yang ada di daerah tersebut. Akhirnya setelah beberapa kali berkeliling, ia mendapatkan kontrakan kecil yang harga sewanya cukup murah.

     “Cukup untuk ditinggali sendiri,” gumam Riki saat melihat rumah kontrakan yang akan ia tempati. “Oke saatnya berbenah.” Riki berucap dengan pasti.

     Setelah berbenah di kontrakannya, Riki membaringkan dirinya di kasur kecil yang akan ia tiduri untuk waktu yang lama. Riki merongoh uang sakunya, ia baru saja membayar setengahnya kontrakan ini, ia berpikir bagaimana cara melunasinya? Sedangkan ia sendiri tak mempunyai pekerjaan.

     Riki memutuskan akan mencari pekerjaan di dekat daerah ini untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mulai sekarang.

     Setelah beberapa hari mencari pekerjaan dengan penuh perjuangan dan sempat ditolak di beberapa tempat ia melamar sebelumnya, akhirnya ia diterima kerja di sebuah café di sekitar daerah tempat kosnya.

     Riki pernah ditolak di sebuah toko hanya karena CV yang ia buat tak sesuai harapan dan berakhir dengan Riki yang mendapatkan makian di sana. Untungnya ia mendapatkan pekerjaan setelah beberapa hari kemudian. Tubuhnya sekarang sudah agak kurus, dikarenakan ia yang kadang lupa makan dan juga terlalu kecapekan.

     Riki menghela napas, ternyata sesulit ini mencari pekerjaan.

Mulai besok, Riki akan mulai bekerja di café tersebut. Awalnya, Riki menjalaninya dengan senang hati, tapi semakin ke sini ia malah semakin lelah, gajinya belum turun tapi pemilik kontrakan sudah meminta uang pelunasan. Riki rasanya ingin menyerah saja apalagi ia sendirian. Andai saja ia bersama keluarganya—Riki tiba-tiba saja teringat akan keluarganya, mungkin dia merindukan mereka walau tak pernah ia pedulikan tentang perasaan itu.

     Hari ini ia akan mendapatkan gaji pertamanya. Riki sangat senang. Namun musibah datang. Di perjalanan pulang, Riki dijambret dan uang gaji pertamaya hilang begitu saja. Riki menangis, dengan putus asa ia akhirnya memutuskan untuk pulang.

     “Ma, Riki harus gimana sekarang? Ternyata semua ini gak sesuai sama yang Riki harapin.” gumamnya dalam hati.

     Sesampainya di kontrakan, tak disangka ibunya bahkan keluarganya ada di sana. Riki berlali memeluk ibunya sambil menangis dan menceritakan hal yang ia alami. Keluarganya mengetahui tempat tinggal Riki dari salah seorang teman dekatnya.

     “Ma, tadi Iki dijambret di jalan, gaji pertama Iki buat bayar kontrakan udah gak ada,” adu Riki sambil menangis di plukan ibunya.

     “Kamu gak papa, kan, Ki?” tanya papanya cemas.

     “Gak kok, Pa. Alhamdulillah, Iki selamat.”

     “Kamu bandel. Seharusnya kamu tahu dunia luar gak sebaik apa yang kamu pikirkan,” ucap ibunya sambil mengelus surai rambut Riki.

     Iki janji gak bakal pergi lagi dari Kalian, Kalian rumah Iki dan Pelabuhan diri Iki.” Penyesalan akhirnya menyadarkan Riki.

     Semuanya tersenyum, akhirnya anak laki-laki itu mengerti. Tidak salah jika ingin mandiri dan jauh dari keluarganya, tapi gunakanlah cara yang benar jangan gegabah seperti yang Riki lakukan.

     Riki sekarang sudah pulang kembali, ia menyadari begitu besar kesalahannya karena bertindak dalam keadaan marah. Sekarang ia kembali kepada keluarganya yang merupakan rumah baginya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab 14

Pada Mereka Kulabuhkan Segala Rasa

 Arniyati Arifuddin

 

            Annisa, adalah putri terakhir dari pasangan Bapak Arifin dan Ibu Khofifah. Ia dikenal sebagai pribadi yang santun, lembut, dan sangat ceria. Kerena kepribadiannya itulah yang membuat orang-orang selalu ingin berteman dengannya.

            Ahad, 11 januari 2021. Bismillah,” ucapnya seraya melangkahkan kaki ke luar rumah. Dengan penuh semangat berjalan menghampiri motornya, lalu mengendarai menuju kantor.

“Pagi yang sangat cerah,” gumamnya sembari tersenyum.

Annisa menempuh perjalanan 25 km untuk bisa sampai di tempat kerjanya. Perjalanan yang cukup jauh. Namun pemandangan laut yang ia lalui membuatnya tak pernah mengeluhkan perjalanan melelahkan tersebut. Annisa sangat menikmatinya, sebab laut punya keindahan tersendiri di matanya.

Pagi itu, ia cukup ceria untuk memulai aktivitasnya di kantor. Sesampainya di kantor, ia langsung menuju ke dalam ruangannya. Di sana Annisa menemukan sebuah surat yang bertuliskan namanya. Dengan perasaan cemas, ia pun membuka lalu membaca surat tersebut.

“Ya Allah … ternyata tugas saya di kantor ini hanya sampai di sini,” lirihnya lalu meneteskan air mata. Nampaknya surat yang bertuliskan namanya itu adalah surat PHK dari bosnya.

Tak lama kemudian, Annisa mencoba mengatur napas perlahan-lahan, lalu sesekali mengusap dada.

“Tenang, Nis, tenang … Allah pasti punya rencana yang lebih baik.” Annisa mencoba menguatkan dirinya sendiri.

Setealah merasa tenang, barulah ia mengabari ayah, bunda, dan kakaknya melalui Whatsapp grup.

[Ayah, Bunda, dan Kakakku yang baik hati, Annisa punya kabar mengejutkan, Nih!] tulisnya.

[Kabar apa, Nak?] balas ibunya yang sangat penasaran.

[Allah punya rencana lain lagi untuk Nisa, Buk! Baru saja, Nisa menerima surat PHK.]

[Tenang, Dek! Kamu bisa kerja di kantor kakak, kok! Nanti kakak bantu ngomong ke bos kakak, ya.] Kini Arsan--kakaknya yang membalas, mencoba menenangkan adiknya.

Arsan adalah satu-satunya kakak yang dimiliki oleh Annisa. Persaudaraan mereka sangat harmonis. Di mata Arsan, Annisa tetaplah puteri kecil yang manja, yang selalu membawa keceriaan di rumah dan wajib ia lindungi. Begitupun sebaliknya. Bagi Annisa Arsan adalah sosok kakak yang multifungsi. Bisa menjadi seorang teman, sahabat, bahkan bisa menjadi bodyguard yang selalu mengawalnya kemanapun ia mau.

 [Udah, nggak perlu sedih karena PHK. Insya Allah, ada rezeki lain yang sedang menantimu di tempat lain, Nak.] sang ibu kembali mencoba menenangkan anaknya.

Tak lama kemudian, Annisa pun membereskan barang-barangnya yang ada di kantor. Setelah semuanya beres, ia berpamitan kepada rekan-rekannya. Setelahnya ia bergegas ke parkiran tempat di mana ia memarkir motornya untuk pulang. Saat itu cuaca lagi mendung, tetapi ia beranggapan bahwa mendung tak berarti hujan. Dengan percaya diri, ia pun mengendarai motornya tanpa menghiraukan cuaca tersebut. Namun anggapan Annisa itu rupanya salah, takk berselang lama setelah ia meninggalkan parkiran, hujan turun dengan derasnya. Ia mencari tempat untuk berteduh dan memakai mantel.

            “Duh ternyata hujannya turun beneran,” gumamnya lalu tersenyum.

Setelah Annisa selesai memakai mantel, ia pun melanjutkan perjalanan. Seperti biasa, gadis itu sangat menikmati setiap perjalanannya. Entah itu perjalanan menuju ke kantor, ataupun perjalanan pulang ke rumah. Namun, tiba-tiba di tengah jalan ada seekor anjing yang melintas tepat di depan motornya. Dengan refleks, Annisa membelokkan setir motornya ke arah kiri dengan maksud menghidari anjing tersebut. Nahas, rupanya ada pengendara lain di belakang Annisa yang melaju begitu cepat dan akhirnya dengan tidak sengaja menabrak Annisa.

            Gubrak! Terdengar benturan yang begitu keras.

Annisa dan motornya terhempas jauh ke bibir jalan. Warga yang saat itu melihat kejadian lalu segera menghampiri dan menolongnya. Segeralah Annisa dilarikan ke rumah sakit terdekat. Sesampainya di rumah sakit, Annisa langsung ditangani oleh dokter. Dan salah satu petugas rumah sakit lainnya mencoba menghubungi keluarga Annisa.

            “Halo, Bisa bebicara dengan, Bu Khofifah?” tanya suster saat teleponnya tersambung.

            “Iya, dengan saya sendiri. Maaf, ini dari mana, ya? balas ibunya Annisa di seberang telepon.

            “Ibu, sebelumnya tenang ya, ini dari Rumah Sakit Wahidin. Saya mau mengabari Ibu kalau anaknya sedang dirawat. Baru saja mengalami kecelakaan di Jalan Poros Takalar,” terang sang suster memberi kabar.

Mendengar kabar anaknya kecelakaan, Ibu Khofifah pun tak kuasa menahan kesedihannya. Ia sangat syok. Hatinya sangat hancur. Namun ia berusaha menenangkan dirinya. Setalah merasa tenang, berulah bergegas menuju ke rumah sakit. Setelah Ibu Khofifah sampai di rumah sakit, rupanya sudah ada Ayah Annisa dan Arsan di sana. Mereka terus berjaga di samping Annisa, lalu sesekali terdengar Annisa mengeluhkan sakit di bagian kepalnya. Dengan spontan, ayah, ibu, dan kakaknya mengusap kepala annisa secara bersamaan. Sangat jelas terlihat begitu peduli dan sayangnya mereka terhadap Annisa.

Walau ia sedang terbaring di rumah sakit karena kecelakaan yang menimpanya, Annisa tetap merasakan kebahagiaan. Ia tak kekurangan kasih sayang. Bagi sebahagian orang, rumah sakit adalah tempat yang sangat menyeramkan. Banyak pasien yang memilih untuk dipulangkan lebih cepat, dibanding harus berlama-lama di rumah sakit. Akan tetapi tidak bagi Annisa. Rumah memang selalu menjadi tempat yang paling menyenangkan dan menenteramkan untuk pulang, tapi bagaimana mungkin ia memaksakan diri untuk pulang ketika tujuannya pulang bukan lagi berupa ruang, malainkan ayah, ibu, dan kakaknya. Dan kini mereka ada di sini, selalu ada di samping Annisa dalam setiap keadaan. Suka, duka, tak pernah terlewatkan.

 

 

 

 

 

Bab 15

Rahasia Jalanan

Nira Tamara

Aku menegangkan badan seraya menggertakkan gigiku. Sekarang hujan, aku dan Adik-adikku masih berada di luar di larut malan begini sambil berteduh di salah satu ruko seorang pria baik yang memperbolehkan kami berteduh. Aku mengencangkan rangkulan di badan Adik-adikku semakin erat, mereka kedinginan dan yang bisa kulakukan hanya memeluk dan merangkul mereka, serta memakaikan jaketku kepada mereka guna mengurangi rasa dingin yang ada. Hingga akhirnya hujan pun berhenti.

Kami beranjak, berpamitan pada sang pemilik ruko dan berniat pulang ke rumah. Namun, kekhawatiran muncul di benakku. Uang yang kami dapat belum cukup, aku yakin jika sampai di rumah pada saat ini ... kami akan kena hukum.

Namun, mau tak mau aku tetap membawa keempat Adikku pulang. Dari si bungsu Reona, Naka, Jona, dan yang paling besar Maraka. Karena jika aku tak membawa mereka pulang, mereka akan kedinginan berada di luar sepanjang malam dan pasti tidak dapat tidur dengan nyenyak dan akhirnya mereka bisa sakit. Apa? Sakit? Tidak, tidak ... aku tidak mau melihat Adik-adikku sakit.

Maka di sinilah aku sekarang. Berdiri di depan pintu rumah, sedang Adik-adikku berlindung di belakangku seraya memegang erat pinggangku dengan dipenuhi rasa takut. Sesekali mereka mengintip ke depan.

“Maaf, Om. Hasil ngamen sama jualan cuma terkumpul segini, jauh dari target yang ditetapkan,” ujarku dengan pasrah menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.

“Kurang ajar! Kalian tahu kan, konsekuensinya?” delik Om Garvi tajam dengan seringai yang menghiasi bibirnya.

Aku mengangguk dalam tunduk, lalu tiba-tiba kedua ajudan Om Garvi dengan paksa berusaha menarik tubuhku dan keempat Adikku. Aku tak bisa diam saja.

“Om Garvi, to-tolong lepaskan Adik-adikku. Di sini yang salah aku! Aku yang nyuruh mereka buat langsung neduh pas hujan turun, aku yang ngajak mereka banyak istirahat, makanya waktu ngamen bisa berkurang dan sedikit dapat konsumen.

Tolong yang kena hukum aku aja om! Jangan Adikku! Buat masa hukumanku jadi ditambah empat jam! Pokoknya aku yang  menanggung masa hukuman mereka! Jangan sentuh mereka.” Aku berteriak panik memohon kepada Om Garvi.

Hingga akhirnya pria berumur 26 tahun itu menyeringai enteng dan berkata, “Baiklah kalo itu mau kamu, si sok pahlawan. Akan aku turuti. Cepat bawa dia ke dalam!”

Aku bernapas lega meski ada rasa takut menyelimuti. Aku sempat melambaikan tangan dengan senyuman yang hangat kala melihat keempat Adikku berkumpul dengan muka kebingungan melihatku yang diseret paksa. Mereka terlihat sedih hingga ada yang  menangis. Aku membuka mulut dan mencoba melontarkan kalimat penenang kepada mereka.

Kakak Cuma pergi sebentar aja kok, Kakak mau diajak main sama Om Garvi,” ucapku dibarengi senyum paksa agar mereka tidak lagi menangisi kepergianku.

“Kamu gak liat nih, muka Kakak bahagia? Tungguin Kakak ya, Kakak pasti balik kok, lanjutku.

Hal itu tentu membuat senyum mereka terukir di masing-masing wajah dan melambai dengan semangat ke arahku, kecuali Reona. Ia masih tetap dengan wajah yang ditekuk dan bergeming, seperti sedang memikirkan sesuatu.

Kini aku sedang menjalani hukuman. Berbagai siksaan dari mulai pukulan hingga lainnya aku dapati dari dua pasang tangan lelaki dewasa yang tadi menyeretku. Yang bisa kulakukan hanya menangis, meringis menahan rasa sakit. Setelah beberapa jam disiksa, akhirnya masa hukumanku terlepas.

Sebelum keluar aku juga peringati perihal penghasilan per hari kami yang jangan sampai kurang dari target. Eh-atau ... lebih ke ancaman? Entah lah! Satu hal pasti yang kulakukan setelah terlepas dari ruang hukuman ialah beranjak dan mencari Adik-adikku dengan tubuh lunglai dan lemas ini.

Langkahku terhenti kala melihat mereka. Namun, bukan raut wajah bahagia yang kutampakkan. Aku terkejut, berdiri kaku karena syok melihat wajah keempat Adikku yang sama babak balurnya sepertiku.

“Kak, kok main bareng omnya enggak seru ya, kenapa malah sakit, Kak?” lirih salah seorang Adikku-Naka, dengan wajah polosnya bertanya seraya memegang matanya yang bengkak dan membiru.

Aku terdiam, tanpa sengaja meneteskan air mata, lalu aku mengamuk, berlari menghampiri Garvi sialan yang mengingkari janjinya. Padahal masa hukumanku sudah ditambah empat kali lipat jamnya demi menanggung hukuman Adik-dikku. Akan tetapi dia berbohong! Membuat keempat makhluk polos tanpa dosa itu memiliki banyak memar berwarna ungu kebiruan hingga beberapa bagian yang membengkak di sekujur tubuh mereka. Apa dia waras!

Aku berjalan terburu-buru menuju pria itu. Lalu dalam sekali gerakan, meninjunya sekeras-kerasnya. Persetan dengan masa hukuman dan ganjaran yang akan kudapat, persetan dengan amukan para pria dewasa ini. Pikiranku kalut. Aku sangat marah. Mereka membohongiku.

Persis seperti yang telah kuprediksi, langsung saja aku dipukuli tanpa ampun dengan berbagai umpatan kotor yang tanpa henti-hentinya keluar dari mulut mereka. Aku meringis, sekujur tubuh sudah penuh dengan luka akibat siksaan dari mereka. Aku bersujud guna melindungi tubuhku dan memeluk diriku sendiri. Aku menyunggingkan sebelah bibirku. Meski harus babak belur, diri ini tak menyesal. Aku merasa puas karena berhasil memukul Garvi sialan itu.

Setelah mereka puas menyiksaku dan meninggalkanku sendiri, aku kembali ke kamar tempat aku dan keempat Adikku tidur dengan mengendap-endap. Jam sudah menunjukkan pukul dua pagi, dan mereka semua sudah terlelap dengan damai. Aku terduduk di sisian tempat tidur, memandangi wajah mereka yang sudah memar dan bengkak itu, lalu tersenyum pahit dan menangis.

Aku Kakak yang tak becus ya, aku payah. Tak bisa melindungi adik sendiri. Maaf ... maaf ... maaf ....”

Kata itu kuucapkan berulang kali seraya memeluk lututku dan menangis. Namun tak kuduga, kurasakan tubuh kecil memelukku dari belakang. Kurasakan tangan mungil itu mengusap punggungku. Ternyata Reona.

“Gak papa, Kakak gak salah kok, Om Garvi si sialan yang memang bajingan,” ujarnya tenang sambil memelukku.

Oh, wow! Aku senang dengan fakta bahwa aku baru saja dibela. Namun, gadis ini baru saja mengumpat, ya? Astaga, belajar dari siapa dia.

Aku hanya terdiam sambil sesenggukan lalu berkata, “Jangan ngomong kasar,

Gadis kecil itu hanya mengangguk dan lanjut memelukku. Aku tersenyum, rasanya nyaman ... sekali. Sudah lama aku tak mendapatkan pelukan dan kalimat penenang dari seseorang. Sebenarnya memalukan, tapi  si bungsu memang terkadang suka bersikap seperti orang dewasa. Lalu seusai itu, kami tertidur lelap.

***

Pagiku disambut dengan sebuah koper yang tergeletak. Aku segera didorong keluar dari rumah itu bersamaan dengan koperku. Aku berteriak, menggertak, memaksa masuk ke dalam. Kalau aku diusir, bagaimana nasib Adik-adikku? Aku panik, kalut, tapi tak bisa berbuat apa-apa.

Aku berencana untuk pergi ke kantor polisi, di sana aku melaporkan segala kejadian yang aku dan Adik-adikku alami. Syukurlah laporanku diterima, lalu polisi bergegas menyergap tempat Om Garvi. Adik-adikku dibawa bersamaan dengan Om Garvi beserta kawanannya yang memperkerjakan anak yatim piatu yang terlantar itu. Akhirnya mereka mendapat ganjarannya.

Usai penyergapan, kami dibina dan dikirim ke panti asuhan. Di sana kami mulai menata hidup, dididik dan disekolahkan dengan benar. Kami bahagia, hingga tak terasa sampailah waktunya aku akan masuk ke jenjang perguruan tinggi yang kudapat melalui program beasiswa dan terpaksa harus merantau.

Aku dan Adik-adikku sedih bukan main, kami menangis bersama kala aku harus izin untuk berpamit. Namun bagaimanapun sedihnya, aku harus pergi juga. Sesekali aku janji akan pulang saat hari libur ke panti guna bertemu mereka.

Mereka, Adik-adikku. Keluargaku yang tak sedarah, tetapi kami memiliki ikatan yang mengalahkan fakta bahwa kami tak sedarah.

Mereka, tempatku pulang kala dunia berlaku kejam kepadaku.

Mereka, tempatku bersandar dengan posisi paling nyaman.

Mereka itu rumahku. Tempatku berlabuh, layaknya sebuah kapal yang beristirahat usai berperang melawan ombak dan luasnya lautan. Aku tak membutuhkan apa pun selain mereka berempat.

Bab 16

PULANG

 Dipa1_3

“Ci, enggak balik ke rumah? Tiga kali lebaran loh, kamu enggak balik,” omel Restia sembari berbaring di kasur memainkan HP. Eci tidak mendengarkan Restia, malah asyik mendengarkan musik melalui headsetnya.

“Ci, dengar enggak sih, aku ngomong? Woyy!” Restia mencabut headset yang terpasang di telinga Eci. Kontan saja Eci menempel*ng kepala Resti.

Plak!

“Urusan gua sih, Res. Kenapa sih pengen banget gua pulang! Enggak betah berdua?” hardik Eci. Resti hanya bisa memelototinya tanpa bisa membalas. Ia lantas tidak memedulikan Eci, lanjut untuk memainkan HP.

Dalam batinnya, sebenarnya rasa ingin pulang sudah lama menyesakkan dada Eci. Tiga kali lebaran ia habiskan di Bogor bersama Restia—teman satu perjuangannya hingga kini. Tidak ada acara silaturahmi ke tetangga dan sanak saudara, apalagi salat Idulfitri berjamaah seperti yang ia lakukan saat berada di kampung halamannya, Singaparna. Namun, hal yang mengganjal hatinya sampai ia tak ingin pulang adalah, rasa sakit, takut, dan malu yang akan ia tanggung.

***

“Ci, coba sini, Ayah mau ngomong sama kamu.” 

“Kenapa, Yah?”

Kedua ayah dan anak itu duduk di teras rumah. Hawa dingin kala itu menjalari tubuh Eci. Suara bakaran rokok ayah serta seruput kopi di mulut Eci saling sahut terdengar.

“Ci, sudah waktunya kamu kerja atau ... menikahlah. Ayah sekarang udah sepuh, enggak bisa apa-apa lagi. Ayah enggak minta banyak-banyak, cuma ingin menimang cucu dan melihat kesuksesan kamu. Ibu kamu juga udah enggak ada, ayah enggak sanggup untuk menemanimu terus. Coba kamu kerja yang benar, atau lebih bagus cari suami. Ini buat kebaikan kamu juga. Sekarang umur kamu sudah mau 22 tahun, nunggu apa lagi? ”

Eci hanya diam saja. Tidak berani menjawab apalagi membantah.

“Atau, mau ayah carikan calon?”

Kontan Eci terkejut. Belum sempat menjawab, ayahnya sudah berkata, “Ya, baiknya ayah carikan saja, daripada kamu tidak dapat, kan?”

Hati Eci mencelos. Ia tidak dapat berkata-kata.

Siang hari, rumah Pak Umar begitu ramai disesaki keluarga Eci. Pak Umar merupakan sesepuh kampung yang memiliki seorang putra bernama Gunar. Usianya empat tahun di atas Eci. Ia dewasa, tegas, dan ramah kepada siapa saja. Tidak lama setelah kedatangan keluarga Eci, proses lamaran berlangsung dan acara pernikahan berjalan dengan seharusnya.

Setelah satu tahun rumah tangga berjalan, sifat asli dari Gunar mulai terlihat. Ia kesulitan untuk mengontrol emosi. Jika sedang marah, ia bisa memaki bahkan memukul Eci dan menghancurkan barang-barang di sekitarnya. Eci tidak tahan dengan perlakuan Gunar. Suatu ketika, Eci tidak sengaja terlalu banyak menaruh garam pada sup kesukaan Gunar. Kebetulan, Gunar sedang ada masalah dengan pekerjaannya sebagai pedagang di pasar. Tak ayal sendok dibanting dan sup ia tumpahkan.

“Masakan apa ini? Enggak becus!” teriak Gunar penuh amarah.

Kontan saja Eci mendidih dan membalas, “Suami durhaka. Enggak tahu apa aku capek-capek bikin ini!”

Bukannya mereda, bak api disiram bensin, Gunar mulai memukuli Eci hingga babak belur. Eci tidak tahan dengan semua ini. Ia memutuskan untuk diam-diam pergi sejauh mungkin dari Gunar dan Singaparna.

Saat itu ia memilih kabur ke Bogor hingga akhirnya bertemu dengan Restia.

Jika Eci mengingat hal itu, ia akan menangis terisak. Terkadang, Restia memergokinya. Ia tidak berusaha bertanya apalagi mengusik, hanya menemaninya sampai selesai menangis.

Hari lebaran semakin dekat dan Eci masih gundah akan keputusannya. Kembali ke Singaparna atau lebaran di Bogor untuk ke sekian kalinya. Ia terngiang akan nasihat Restia yang tampak sederhana tapi membekas.

Saat masih berada dalam kebingungan, Eci mendapat kabar bahwa ayahnya jatuh sakit. Ia semakin bingung dan takut mendapati gunjingan para tetangga dan juga Gunar. Rasa trauma itu masih membekas hingga sekarang.

“Ti, apa aku pulang aja, ya?” tanya Eci kepada Restia tiga hari sebelum lebaran.

“Kamu mau pulang?” sambar Restia. Ia cukup terkejut mendengar keinginan pulang sahabatnya itu.

“Ih, kemarin kamu yang dorong-dorong aku biar pulang, sekarang malah kayak kaget gitu.”

“Ya, terserah kamu sih, kamu mau terus lari dari masalah atau menghadapinya? Dan tentang ayah kamu ... bukannya kamu mau bahagiakan beliau? Kalau iya, hadapilah semua masalahmu. Sekarang ayahmu lagi sakit juga, kan. Pulanglah,” ucap Restia memberikan pengertian.

Eci memikirkannya berulang kali hari itu.

Pagi hari, ia terbangun. Ia niatkan untuk pulang saat itu juga. Diguncangkannya tubuh Restia yang masih terlelap dalam tidurnya, mungkin masih menyelam dalam lautan mimpi.

“Resti, Tia ... Res,”

“Hmm,” gumam Resti

“Anter ke Stasiun Bogor, yuk! Aku mau pulang.”

Restia terenyak. Setengah linglung, ia tersenyum, “Ayo! Aku cuci muka dulu.”

Sampai di Terminal Kampung Rambutan, Eci langsung menaiki Karunia Bakti Singaparna. Pikirannya melayang kepada ayahnya yang tergolek lemas, juga kepada Gunar yang telah menyiksa mental dan fisiknya.

Sore hari Eci sudah menjejakkan kaki di Singaparna, tempat kelahirannya. Ia naik bus tiga perempat menuju rumahnya. Butuh waktu dua puluh menit untuk sampai di hadapan rumahnya. Gegas ia mengetuk pintu rumah.

“Assalamualaikum, Ayah, Eci pulang!”

Terdengar suara pintu dibuka, Gunar muncul dari balik pintu dan ia terkejut bukan main. Laki-laki yang dulu menyiksanya, kini sedang berada di rumahnya, merawat sang ayah. Eci terlihat kikuk, begitu juga Gunar.

“Eci, maafkan saya, sekarang saya sadar,” ucap Gunar seraya meraih tangan Eci.

“Kamu udah sadar dengan semua perbuatanmu?” tanya Eci lemah.

“Maafkan saya, Eci. Saya tidak bisa membalas kebaikanmu yang lain kecuali merawat ayah. Maaf, beribu maaf ....”

Eci terisak, sementara Gunar mencoba menenangkannya.

“Ayah di mana? Bagaimana keadaannya?”

“Ada di kamar. Kamu lihatlah sendiri, beliau sangat merindukanmu.”

Mereka berdua berjalan menuju kamar, terlihat Ayah Eci sedang terbaring lemah.

“Ayah, ini Eci,”

Terlihat air mata mengalir di pipi sebelah kirinya. Eci menangis tersedu-sedu, kemudian memeluk ayahnya. Sedang Gunar tak kuasa lagi menahan haru sekaligus sesal di hati. Ayahnya sudah tahu semua ini, juga tak kuasa menahan haru dan sedih.

Pada akhirnya, mereka masih sempat untuk merayakan Idulfitri bersama-sama.

Gugatan cerai pada akhirnya ditujukan dan dikeluarkan dua minggu usai Idulfitri. Gunar dan Eci sudah sama-sama mengerti dan paham, bahwa mereka tidak bisa bersama. Sedang Ayah Eci, meninggal tak lama setelah mereka melakukan gugat cerai.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab 17

Bersama Kesulitan datang pula kemudahan

Ayu Ainun mardiyah

Pukul 06.30 setiap pagi adalah waktu yang biasa diluangkan keluarga Aulia untuk menonton berita. Siaran favorit di waktu baik, meski hanya singkat, sebab terpotong kesibukan masing-masing. Bapak yang sibuk harus bergegas ke area kontruksi sebelum mandor memberi teguran,  Ibu yang sibuk dengan pisau dan cabai di kedua tangan, dan Aulia yang harus pergi ke sekolah untuk menunaikan mimpi-mimpi nya. Waktu singkat itu tidak merubah kehangatan  keluarga Aulia, hari-hari dilalui meski Pandemi Covid 19 mengantui. Keluarga Aulia tetap yakin dengan segala ketetapan Allah SWT, tidak ragu sedikit pun meski, ekonomi keluarganya terhimpit.

Hari Senin cerah ketika mimpi-mimpi Aulia ditata rapi oleh dukungan dan doa-doa kedua orang tua beserta keluarga. Ketika asa yang telah di pupuk, tumbuh subur bersama hadirnya mentari. Kandas sebab berita yang mencekam erat nadi Aulia, datang bagai kilat tak menyapa. Berita yang membuat Aulia harus kembali menata ulang impiannya.

***

"Kriiing..kriting."

"Halo, Assalamualaikum, siapa ini?" tanya ibu Aulia sambil meregangkan celemek, dan menata dapur kotornya.

"Wa'alaikumussalam, Bu, Maaf apa benar ini Ibu Aisa, isteri Bapak Sofwan?" tanya seorang pria dengan nada gagah namun santun.

"Benar, Pak saya isterinya. Ada apa ya, Pak menelepon saya?" tanya Ibu yang mulai khawatir, mencoba menerka maksud tujuan pria itu menelpon dirinya.

"Begini, Bu, sebelumnya saya mohon maaf, saya minta Ibu tenang dan mohon untuk bersandar atau duduk dulu jika Ibu saat ini sedang berdiri," pinta pria yang tidak di kenal itu. Lalu Ibu menurutinya dengan duduk di bangku warung, berharap kabar baik yang akan ia dengar.

"Baik, Bu, kami dari pihak penanggung jawab proyek tempat suami Ibu bekerja, ingin memberi tahu dan mengucapkan bela sungkawa yang sedalam-dalamnya, atas meninggalnya Bapak Sofwan. Kami mohon Ibu tenang ya, kami akan mengurus semuanya."

Kabar itu bagai hujan di siang bolong, seketika tubuh Ibu terhuyung bersama hembusan angin. Tanpa aba-aba tubuh Ibu tergeletak dengan ponsel yang terus berdering. Dik Salwa yang hendak mengambil bukunya yang tertinggal di warung, kaget ketika melihat Ibu yang tertidur di lantai dingin. Bergegas memanggil tetangga, aku yang hari itu sedang bersiap dan berdoa di dalam kelas, untuk meengerjakan ujian akhir sekolah tidak tahu menahu soal kepergian Bapak. Fokus mengeluarkan semua amunisi yang ku pelajari sebelumnya, berusaha menatap lamat-lamat semua soal dengan percaya diri, dan yakin, seperti kata Bapak dua hari lalu untuk tetap berusaha maksimal atas segala kesempatan.  Namun sekarang keberangkatan Bapak tidak akan pernah kembali pulang ke rumah. Bapak telah kembali kepada-NYA pemilik hati dan jiwa semua manusia

***

Satu Minggu kepergian Bapak, membuat diri ini tidak lagi berani untuk menggapai impian. Dulu Bapak lah yang menuliskan impian-impian ku. Menceritakan masa kecilnya yang tidak pernah memakan bangku sekolah, dan dari itu Bapak belajar, bahwa pendidikan itu penting. Terlebih di zaman seperti ini. Aku selalu ingat impian Bapak, namun aku takut untuk menatap masa depan.

Hari demi hari ku lalui dengan kehampaan, hati menahan linang air mata. Sebab Aku harus terlihat kuat dan tegar di depan Dik Salwa, dan ada Ibu yang harus ku kuatkan dan ku jaga. Hanya merekalah satu-satunya keluarga yang ku miliki di kota ini. Aku tahu setiap malam Ibu menangisi kepergian Bapak. Namun, ibu berusaha tegar demi kami.

Setiap pagi, Ibu bangun lebih awal dari biasanya. Waktu itu Aku pernah terbangun ketika mendengar gemericik air mengucur, melirik ke atap rumah, apakah itu hujan? ternyata bukan. Itu adalah suara air yang di pakai Ibu untuk berwudhu. Ku lihat dari celah dinding geribik, Ibu sedang mengangkat tangan dan menyebut namaku. Membesarkan namaku dalam doanya, meminta kebaikan segalanya untuk ku dan Dik Salwa, membuat hati ku pilu, aku manangis saat itu. Kembali masuk ke kamar, sebelum Ibu menyadari anaknya sedang berdiri dibalik dinding bambu.

Malam itu ku sadari, doa Ibu memang benar-benar tiada tandingannya, tidak seharusnya aku menggantung impian Bapak, membuangnya jauh-jauh dalam fikiran. Ku putuskan hari itu juga, bahwa Aku akan semangat mengejar impianku.

***

Selama pandemi Covid 19, Aku memanfaatkan media online untuk memasarkan menu masakan Ibu. Walaupun selama satu Minggu belum juga terlihat ada pembeli yang mau membeli. Aku tetap gencar untuk mempromosikan masakan Ibu, mulai dari teman, tetangga desa, sampai guru-guru sekolah. Bermodalkan sepeda motor tua yang Almarhum Bapak beli waktu mendapat proyek lumayan lama, Aku ingat betul Bapak benar-benar menabung untuk membelinya dan Aku orang pertama yang di ajak Bapak untuk menaikinya.

Seiring berjalanya waktu, masa-masa duka setelah kepergian Bapak kini sudah tertinggal di belakang. Ibu benar, kita harus ikhlas atas ketetapan yang telah ditentukan, bersyukur masih bisa di beri umur panjang, namun itu semua harus kita manfaatkan. Selagi nyawa masih bersemayam di dalam tubuh, kita harus terus menebarkan kebaikan dan Semangat.

Terbukti dengan selalu berusaha dan diiringi dengan doa, hasil akan mengikuti. Pembeli memberikan respon positif kepada masakan Ibu, tidak jarang membeli dengan jumlah banyak. Perlahan tapi pasti, menu masakan Ibu mulai bertambah, pun demikian ada yang memesan untuk hidangan pengajian, syukuran, dan acara arisan Ibu-ibu. Benar-benar di luar dugaan, Allah maha pemberi rezeki, Allah sebenar-benarnya penolong.

***

"Nduk, Aul, kamu daftar kuliah saja, Nduk, Ibu bisa kok sendirian. Ini udah waktunya pembukaan pendaftaran to?" jelas Ibu, mengingatkan soal kuliah yang memang menjadi impian Bapak. Bapak ingin sekali bisa menyekolahkan ku dan Dik Salwa setinggi mungkin

"Iya, Bu, nanti saja. Aul masih ingin bantu-bantu Ibu di warung. Ingin membesarkan warung Ibu dulu," Impian Bapak tidak pernah ku lupakan, Aku akan tetap kuliah, tapi apa salahnya menunda dulu sampai tahun depan. Aku mau nabung dulu, dan bantu Ibu di warung, ujarku dalam hati.

"Lebih baik, dari sekarang, Nduk. Untuk apa menunda, Ibu dan almarhum Bapakmu dulu sudah menabung di koperasi khusus untuk sekolah mu, Nduk."

"Benar, Bu?. Kalau gitu, pakai saja, Bu untuk modal warung kita," Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk menunda kuliah sampai tahun depan, tapi lagi-lagi ucapan Ibu yang sangat bertuah, mampu menembus dinding hatiku.

"Jangan, Nduk, suatu hal yang sudah kita niatkan apalagi itu  untuk kebaikan. Jangan kita rubah, Nduk. Jangan khawatir uang, itu masih bisa di cari. Namun kesempatan yang tidak akan datang dua kali."

Seiring berjalanya waktu, kata-kata Ibu masih saja ku fikirkan. Sambil tetap fokus menjalani kehidupanku. Sampai suatu hari, Ibu menceritakan perihal beasiswa. Awalnya Aku ragu sebab, apa pantas dan berhak aku mendaftar. Sampai guru sekolahku yang menjadi langganan Ibu, meyakinkan ku untuk mengambil beasiswa itu. Beliau membimbing dan mengarahkan langsung teknis pendaftaran beasiswa. Perlahan-lahan, timbul rasa cinta terhadap proses mendapatkan beasiswa ini. Aku mulai banyak membaca, dan mencari informasi sembari membantu Ibu.

Tidak terasa hari yang di tunggu-tunggu telah tiba, bersama Asih teman sekolah ku yang juga mengikuti test untuk mendapatkan beasiswa. Nyali ku ciut ketika melihat banyaknya peserta yang mengikuti test, apakah Aku akan mendapatkan Nya?

"Assalamualaikum, Bu Aisa,?

"Wa'alaikumussalam, Bu Retno. Aduh, maaf ya, Bu, belum semua terbungkus. Say tidak tahu kalo Ibu datang diawal waktu," ucap Ibu, sambil sesegera mungkin merampungkan bungkusan kue kering.

"Santai saja, Bu. Anu ... Bu, saya memang sengaja kesini pagi-pagi. Karena saya mau ngasih kabar baik, Bu untuk Aulia."

"Aulia, Bu? Kabar baik kan, Bu?" tanya Ibu, menelisik mencari tahu.

"Iya, Bu, kabar baik. Aulia lulus, keterima beasiswa di kampus. Jadi besok Aul, disuruh melengkapi berkas-berkas Bu."

"Alhamdulillah ...."

Aku yang saati itu, tengah mencuci piring dan sadar kedatangan Bu Retno membawa kabar baik, terkejut tanpa bisa berkata-kata. Hanya ucapan Alhamdulillah, sebagai bentuk rasa syukur ku kepada Allah SWT.

Terima kasih atas doa-doa dan motivasinya Bu.

 

 

Bab 18

Terdampar

                                               Arianita yulianingsih

 

Sebut saja laki-laki itu, Hendrik Wijaya, anak dari seorang saudagar kaya, di salah satu pulau, tepatnya di pulau Buton. Pak Narto dan ibu Sarminah adalah sepasang suami istri yang terkenal kaya raya dan dermawan.

Memiliki rumah mewah di tengah pulau, kapal pribadi, dan terdapat usaha lain di bidang penerima ikan dari para nelayan. Hendrik ingin sekali merantau dan berkeinginan menjadi pelaut.

Dia pun mendapatkan kesempatan itu.  Tanpa pikir panjang, Hendrik langsung minta izin kepada ke dua orang tuanya dan kepada saudaranya.

“ Ibu! Hendrik pamit dulu ya bu? Pak? Restuin Hendrik untuk bekerja di kapal itu, ini adalah kesempatan Hendrik untuk bekerja dikapal. “ pamit Hendrik pada orang tua dan keluarganya.

“ Hati-hati ya nak ! Doa ibu selalu menyertaimu, bapak pun juga begitu. Yang penting, selalu ingat nasehat kami dan jangan tinggalkan shalatmu di sana”

Terlihat rawit wajah ayah, dan tak berucap sedikit pun melihat kepergian ku. Hanya diam, tapi tatapannya itu banyak arti, seakan tak mengizinkanku pergi, saat itu. Hendrik pun melangkah beriringan dengan orang tuanya dan beberapa keluarga nya yang ada saat itu. Perlahan aku melangkah menaiki kapal, dari atas kapal terlihat mereka tak henti melambaikan tangannya pada Hendrik.

“ Hen, kalau bisa jangan pergi nak! Akan ada yang terjadi, bapak mohon, Astagfirullahallazim... Ya Allah SWT! Jauhkan lah firasat buruk ini Ya Allah! “ ucap bapak dalam hati tapi tak mampu dia ucapkan, seperti pita suara nya tertahan oleh sesuatu, ingin sekali dia melarang buah hatinya untuk pergi berlayar.

Di kapal, Hendrik sangat menikmati pekerjaannya. 3 bulan berlalu, Hendrik tak kunjung memberi kabar pada keluarganya.

“Pak’e ke mana toh! Putra mu? Udah 3 bulan nggak ada kabar? Kenapa ibu nggak enak hati begini ya pak?” tutur ibu dengan suara yang selalu lembut.

“Wong sabar, toh buk! Kita doakan Hendrik baik-baik saja.” jawab bapak menenangkan ibu yang merasa gelisah.

 

           Di tempat lain, persis di tengah laut melintasi pulau Sumbar. Kapal pun berhenti, Tersandarnya kapal, dengan cepat mendatangkan segerombolan orang yang menggunakan kapal kecil, satu per satu naik ke dek kapal dan dengan cepat menguasai kapal kami. Wajah yang tampak sangar menakutkan dan membawa beberapa barang-barang yang berbahaya naik ke atas kapal dengan brutal.

Walaupun ini adalah kapal yang besar namun, beberapa ABK kapal tak mungkin bisa melawan orang-orang menyeramkan ini. Ya! Bisa dibilang mereka adalah bajak laut yang ingin menguasai kapal.

Beberapa orang mencoba melawan bajak laut itu, hal hasil, malah nyawa mereka yang melayang, dengan sadis mereka menusuk para ABK kapal tanpa hati nurani.

Dengan cepat perumahan darah terjadi di atas kapal pesiar itu. Dengan rasa takut, Hendrik berusaha untuk bersembunyi di antara tiang-tiang kapal, dari belakang ada yang menarikku dengan cepat.

“Dewo? Kamu?” tutur Hendrik dengan kaki yang gemetaran.

Shuuutt... Ayo ikut aku?” ajak Dewo, Hendrik pun mengikuti langkah Dewo ke dalam sebuah ruangan, ternyata di dalam ruangan itu terdapat sekitar 10 orang lagi, mereka selamat.

“Untuk sementara, kita diam di sini dulu! Kita harus berusaha untuk bisa menyelamatkan diri dan kabur dari kesadisan mereka.” Dewo berusaha mencari jalan keluar agar bisa kabur dari kapal ini dan dari kebrutalan para pembajak laut itu.

Sampai akhirnya, mereka memutuskan untuk menjatuhkan diri ke laut lepas, berusaha sekuat tenaga untuk berenang jauh dari kapal yang telah dikuasai oleh para pembajak itu.

Sayangnya kami berada di laut lepas, nggak akan mungkin rasanya kami bisa berenang dengan selamat sampai kedaratan dengan berbekal pelampung seperti ini. Hendrik, Dewo, Syahrul dan beberapa orang yang berhasil kabur, dengan sebisa mungkin untuk berenang, walau pun rasa mustahil tapi harus tetap berusaha dan memohon pertolongan dari yang maha Agung, dan selalu meyakinkan diri doa ibu selama ini bisa menolong ku keluar dari kesulitan ini. 1 har 1 malam mereka berusaha berenang hingga kedaratan, tapi sayang, beberapa diantara mereka nggak sanggup bertahan dan mati kedinginan.

Akhirnya sampai juga, mereka berenang hingga ke pulau kecil yang tak berpenghuni, yang terlihat hanya ada bintang-binatang melata dan pohon besar tanpa berbuah, itu pun hanya ada pohon kelapa yang menjulang tinggi hanya bisa berharap buah itu jatuh dengan sendirinya.

“Syahrul, kita ada dipulau apa ini?” pertanyaan Hendrik yang tak ada satu pun temannya bisa menjawab.

“Entah lah Hen! Aku juga baru lihat dan baru ke sini!” jelas Syahrul.

“Yang penting kita tak akan bernasip sama kayak teman-teman kita yang lain.”

“Apa kamu yakin? Kita bisa bertahan hidup di tempat seperti ini?” ucap Dewo yang sepertinya sudah mulai panik.

“Sudahlah, jangan terlalu panik, ini kehendak Allah SWT. Walau pun kita harus mati perlahan-lahan di sini? Ikhlas kan diri saja. Mungkin ini adalah takdir kita berenam.

Sebisa mungkin, mereka bertahan dengan memakan apa pun yang ada di dekat mereka. Mencoba mencari ikan, minum dengan air asin atau air dari tampungan lobang batu dari embun malam atau kalanya di saat hujan datang.

Tak ada yang bisa dimakan, mereka bertahan hanya untuk hidup dan berharap suatu keajaiban datang menolong mereka. Sampai lah 4 bulan terakhir, Hendrik kehilangan satu per satu teman nya hingga tinggal 3 orang yang tersisa termasuk Hendrik.

Di Pulau Buton, sang ibu dan bapak sudah kebingungan karena mendapat kan kabar dari pusat, bahwa kapal layar yang ditumpangi putranya n sekaligus bekerja di kapal itu, dikabarkan tenggelam, karena para pembajak itu sengaja memutuskan kontak ke pusat agar tak terlacak lagi dari pusat.

Seminggu ibu dan bapak melakukan tafakur dan shalat istiqharah meminta petunjuk dari Allah SWT.

Suatu malam, bapak mendapatkan mimpi, didalam mimpi sang anak berada dalam satu lobang dan mnjerit meminta pertolongan. Dengan cepat bapak memerintahkan anak buahnya, untuk menyiapkan kapal pribadi milik nya. Bapak dan beberapa anak buah nya segera bersiap-siap berlayar ke suatu pulau, selang 1 bulan lebih bapak dan para pengikutnya menelusuri perairan yang dia lihat dalam mimpinya.

***

Di pulau itu, Hendrik, Dewo, Syahrul, sudah terbaring lemas dipinggir pantai.

“Rul! Hendrik! Kalau selama bersama kalian saya banyak menyusahkan kalian saya minta maaf ya?” ucap Dewo pasrah.

“Apa, yang kamu ucapkan wa? Kita harus yakin cepat atau lambat, kita bisa keluar dari tempat ini! “Hendrik berusaha untuk memberi semangat kepada temannya, walau pun dia sadar dia sudah tidak kuat lagi.

Dua minggu sebelum kapal bapak datang, satu per satu Hendrik kehilangan teman-temannya. Dia tetap bertahan, tubuh seakan sudah menempel di atas pasir pantai, sudah tak bertenaga lagi. apa pun, saat itu yang melintas didepan nya dia lahan bagaikan zombie, demi bertahan hidup yang sudah mulai kritis. Tubuh telah tampak menyedihkan bagaikan tulang dibalut kulit, telah menempel di atas pasir.

Setengah sadar, Hendrik melihat wajah bapaknya ada dihadapan dia, antara mimpi atau kenyataan. Dia berusaha membuka matanya yang hampir tertutup.

“Ya Allah SWT...! Bapak! Itu benar bapak?” dengan sigap orang-orang terpercaya bapak langsung membawa Hendrik pulang.

Enam bulan bertahan dengan makan dan minum yang tidak layak dikonsumsi, itu adalah hal yang mustahil bisa hidup dan selamat. Tapi balik lagi pada kekuasaan Allah SWT tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, atas izin Allah SWT.

Hendrik pun selamat walau pun, dia terbaring koma setengah bulan sampai akhirnya, dia sembuh dan dapat beraktivitas seperti biasa lagi, Dan menjadikan dia lebih sukses dari yang sebelumnya. Keyakinan diri dan doa ibu selalu menyelamatkan kita dari segala keburukan.

Bab 19

Secarik Kisah

Arti Nur Hayati

Di ruang kerjanya. "Mbak ada masalah sama komputernya, ini gimana ya?" ucap Aya pada Nur. "Oh Aku panggil faizal, dia mahir ginian," Nur pergi meninggalkan Aya.

Karena ruangan mereka berbeda maka Aya menunggu, setelah lama Aya menuggu akhirnya Nur datang bersama Faizal.

"Mana yang bermasalah," ucap Faizal singkat. "Oh Aku nggak ngerti ini," ucap Aya spontan, sedangkan Nur langsung kembali ke mejanya, Aya dan Faizal masih sibuk dengan masalah komputer. Tanpa waktu yang lama akhirnya Faizal dapat membereskan masalah dalam waktu 15 menit saja, padahal saat Aya mencoba tadi dia begitu bingung dan frustasi karena banyak data yang penting.

"Terima kasih sudah membantu padahal Kamu juga sedang sibuk, sebagai gantinya Aku traktir makan saat nanti pulang kerja bagaimana? Oh iya kenalin Aku Aya," menyodorkan tangan kanan namun Faizal menolak dengan cara halus dan untungnya Aya faham sehingga ia menarik tangannya. "Oh santai aja kebetulan kerjaanku juga sudah selesai, tidak perlu Aku tulus membantu kok terima kasih tawarannya. Kenali Aku Faizal salam kenal, yasudah Aku balik dulu," pergi menjauh namun terhenti saat seseorang berbicara. "Aku akan menunggu di depan kantor, Aku harap kamu datang," kembali fokus pada pekerjaannya tanpa menunggu jawaban dari Faizal. Sedangkan Faizal terdiam sebentar walau pada akhirnya ia pergi tanpa memberikan jawaban pada Aya.

Sore puntiba akhirnya para pekerja kantoran pulang namun tidak dengan Aya pada hari ini karena dia harus membayar hutang budi atas bantuan dari Faizal itu. Cukup lama ia berdiri di depan gedung kantor mungkin hampir 30 menit. Matanya selalu tertuju pada pintu keluar beharap orang yang ia tunggu datang. Orang yang ia tunggu pun akhirnya datang, tanpa pikir panjang Aya mendekat.

"Hai Faizal mari makan di warung *******. Ayo cepat keburu habis nanti," ucap Aya sepontan. "Hai kamu nungguin aku dari tadi? Aku sudah bilang nggak usahkan," heran.

Akhirnya pun Faizal menuruti kemauan Aya, pada awalnya ia menolak keras ajakan Aya bahkan mereka sempat berdebat panjang sampai dilihat banyak orang.

"Maaf ya Faizal Aku mengajakmu di tempat seperti ini tapi disini makanannya enak jadi Aku memberanikan pilih tempat ini dan jangan cemberut dong Aku jadi nggak enak," wajah memelas. "Huh iya nggak papa Aku nggak masalah," menghela nafas panjang karena kesal Aya memaksanya.

Setelah memesan mereka pun menyantap makanan masing-masing. Di meja makan itu hanya terdengar suara garpu dan sendok. Tidak ada pembicaraan antara mereka namun kebisuan itu buyar saat Aya menjatuhkan sendok.

Klutak

"Ah maaf, yah bajuku kena noda deh Aku ke toilet dulu ya," bangun dari tempat duduk dan hanya diangguki Faizal. Setelah selesai dengan masalah bajunya itu Aya kembali ke meja. "Ini keringakan bajumu itu, lihat masih basah," memberikan tisu. Aya melihat bajunya itupun langsung mengambil. Tak lama terdengar suara yang membuyarkan konsentrasi mereka.

Nguk nguk nguk

"Ya hallo, apa?? Bagaiaman bisa terjadi!! yasudah Aku akan segera kesana!" menutup telepon. "Maaf, apa terjadi sesuatu?" Tanya Aya ikut panik. "Maaf Aku harus segera pergi karena nenekku jatuh dan sekarang ada di RS. Maaf saya permisi dan terima kasih traktiranya," pergi. Aya hanya bisa menganggukkan kepalanya dan berharap nenek faizal baik-baik saja.

"Ah sial kenapa harus bocor sekarang sih!!" frustasi. Aya kaget melihat Faizal masih ada di depan warung saat ia keluar. "Lho kok masih disini Faizal?" Kaget. "Ban mobilku bocor Aya, nunggu ojol bakal lama," makin kesal. "Yaudah Faizal, naik mobilku aja ayo buruan" menarik tangan Faizal tanpa sadar.

Akhirnya pun Faizal mengikuti saran dari Aya, dalam mobil hanya ada keheningan karena Faizal fokus mengendarai sedangkan Aya tidak berani bertanya pada Faizal karena takut membuatnya semakin panik. Dengan kecepatan cukup tinggi akhirnya Faizal Sampai di RS, dengan lari ia mencari ruang UGD dengan perasan tidak karuan dan wajah pucat. Sedangkan Aya hanya bisa diam mengikuti Faizal, ia tidak tega meninggalkan Faizal dengan kondisi seperti itu.

Sampailah ia di UGD, dia hanya bisa menatap neneknya yang terbaring di tempat tidur itu dengan perasaan terpukul dari balik pintu yang bagian atasnya ada kaca transparan sehingga ia dapat melihat kondisi neneknya. Aya yang sedari tadi masih setia menunggu dari kejauhan pun juga ikut merasa sedih, setelah agak lama Aya mencoba mendekati Faizal yang masih kalut dalam kesedihannya.

"Yang sabar yang Faizal, moga nenekmu lekas membaik. Kamu harus yakin nenekmu kuat dan berdoa terus Faizal," dengan suara lirih. Faizal hanya terdiam tanpa menangapi ucapan Aya. Aya hanya bisa terdiam dengan reaksi yang ditunjukan Faizal, namun saat ia hendak menjauh dari Faizal tiba-tiba Faizal mengeluh pusing dan hampir jatuh. Untungnya Aya berhasil menangkapnya sebelum jatuh. Setelah Aya meminta Faizal duduk tiba-tiba Faizal menangis tersedu tanpa memperdulikan kesehatannya. Aya yang panik langsung memegang pundaknya agar Faizal tidak begitu bersedih. Suara dari seseorang membuat Aya terkejut.

"Aya? apa kau tau kenapa Aku sebegitu sedihnya dan terpukul akan kondisi nenekku sekarang," suara serak. "Hemmm, kenapa Faizal? Aku akan mendengarkan katakanlah apa yang sedang kamu rasakan," mengengam tangan sendiri.

"Dulu masa kecilku tidaklah bahagia Aya karena keberadaanku sebenarnya tidaklah diharapkan oleh ibuku," tanpa sadar menyandarkan kepalanya di bahu Aya. "Lalu apa yang selanjutnya Faizal?" sempat kaget dengan tindakan Faizal namun melihat Faizal dalam kondisi kalut ia pun membiarkannya.

Faizal menceritakan masa kecilnya pada Aya tanpa ragu padahal ia belum pernah menceritakan masalah pribadinya atau pun kisah masa kecilnya kepada siapa pun. Faizal pun menceritakan bahwa ia adalah anak dari hasil perbuatan orang bejat yang memperkosa wanita yang masih berusia 19 tahun hanya untuk kepuasan nafsunya. Ibu dan neneknya tidak berdaya untuk melaporkan si pelaku dan memilih menutup rapat-rapat kejadian itu, karena hal memalukan itu ibunya sempat ingin mengugurkan kandungannya namun dicegah oleh neneknya karena tindakan itu melanggar agama, negara dan merebut hak hidup dari si janin. Ibunya tetap nekat mengugurkan kandungannya itu dengan berbagai cara dan dilakukan secara diam-diam agar nenek tidak mencegahnya. Namun takdir berkehendak lain sehingga ia pun lahir, walau begitu ada harga yang mahal yang harus dibayar untuk kehidupannya yaitu dengan meninggalnya ibunya. Di detik-detik terakhir ibunya berpesan pada nenek bahwa dia harus menjaga cucunya dengan segenap hati dan semua yang terjadi padanya bukanlah salah dari bayi mungil itu. Dan benar saja nenek merawatnya dengan menjadi ayah, ibu, sekaligus menjadi nenek karena itu Faizal takut kehilangan beliau. Aya menjadi teringat keluarganya dan ia meneteskan air mata. Setalah itu Aya pamit pulang dengan perasaan tak rela dan sesampainya ia langsung memeluk Ayah dan Ibunya seraya mengucap kata terima kasih dan maaf berkali-kali, melihat Aya seperti ini mereka bingung. Kisah hidup Faizal membuat Aya sadar akan penting dan seberapa berharganya sebuah keluarga, disaat itu ia pun berjanji akan menjaga dan membahagiakan orang tuanya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab 20

Mendekap rindu

Asfyasma

 

Nana membolak-balikkan foto yang tergeletak di atas meja belajarnya. Diamati dalam-dalam gambar Ayah dan ibunya, di sampingnya ada Ridho, kakaknya, dan Abdi, adiknya yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Sudah satu semester ia tidak pulang ke rumah semenjak liburan semester lalu. Baru beberapa jam kakaknya menelepon, Ia justru semakin rindu.

Ia pun tak sabar menunggu liburan semester ini. Kegiatan di kampus yang padat, serta jarak Yogyakarta-Semarang yang cukup jauh membuatnya selalu menunda kepulangan.

Tak ingin mengikuti jejak Ridho kuliah bisnis, Nana memilih untuk menjadi dokter. Sejak kecil Ia memang lebih tertarik dengan dunia kesehatan. Demi mewujudkan impiannya, gadis berusia 20 tahun itu belajar dengan sungguh-sungguh tentang ilmu kedokteran dan tak pernah melewatkan kesempatan bergabung menjadi anggota PMR waktu SMA, sampai akhirnya ia diterima di sebuah Universitas di Yogyakarta melalui jalur Beasiswa dari pemerintah.

Nana senang bukan main, walaupun sempat beradu pendapat dengan kedua orang tuanya saat itu. Ayah dan ibunya tidak setuju jika Ia kuliah di Yogyakarta, mereka ingin Nana tetap kuliah di Semarang seperti kakaknya.

Sebagai kakak, Ridho ingin membantu mewujudkan mimpi dan cita-cita Nana, Ia pun mencoba berbicara kepada kedua orang tuanya, dan memberi pengertian kepada mereka sampai akhirnya Nana di izinkan kuliah di Yogyakarta.

“Nana kan sudah dewasa, dia paham mana yang menurutnya baik, mana yang menurutnya buruk. Jangan sampai keinginan Ayah dan ibu menghalangi cita-citanya. Kalau Nana berhasil, Ayah dan ibu banggakan?” ujar Ridho memberi pengertian kepada kedua orang tuanya.

“Tapi Ayah keberatan membiarkan Adik kamu jauh dari keluarga. Kalau terjadi sesuatu dengannya, siapa yang mau menjaga? “

“InsaAllah Nana bisa jaga diri, Yah.” Sahut Nana yang sejak beberapa saat lalu hanya bungkam duduk di samping kakaknya.

Nana kembali meletakkan fotonya, Tiba-tiba terdengar HP-nya berdering, ia segera mengangkat telepon dari kedua orang tuanya.

“Assalamualaikum Bu,” sapa Nana setelah membaca nama yang meneleponnya.

“Waalaikumsalam Kak, ini Abdi.”

“Oh, Abdi adik Mbak sayang, apa kabar?

Mbak kangen banget sama kamu. Ayah dan Ibu mana?”

“Lagi pergi Kak. Aku sama kak Ridho.”

Nana dan Abdi mulai mengobrol, sesekali terdengar suara Ridho yang nimbrung ikut bicara.

“Dik, kamu apa kabar?” tanya Ridho.

“Alhamdulillah baik-baik aja, Kak.” Sahut Nana.

“Jaga kesehatan terus ya, jangan sampai sakit. Jangan bikin Ayah dan ibu khawatir. Uang saku kamu masih ada kah?”

“Em, masih kok, Kak.”

“ Bagus lah kalau begitu, berarti Kakak nggak perlu kirim lagi, takutnya kamu nggak butuh, nanti malah mubazir, kan?” gurau Ridho disertai tawa yang membuat Nana cemberut.

“Iiih, Kakak... “

“Kak Nana kapan pulang? Suara Abdi kembali terdengar.

“Sabar ya, mungkin liburan nanti kakak pulang. Tunggu kakak, ya? “

“Kak Nana kalau pulang, aku dibawain mainan sama roti yang manis ya, Kak.” Suara polos Abdi selalu membuat Nana merasa rindu. Ia jadi teringat moment bermain dan bercanda bersamanya, ditambah lagi kakaknya yang humoris selalu membuat suasana rumah semakin ramai. Laki-laki berusia 24 tahun itu selalu memiliki cara berkesan untuk membahagiakan kedua adiknya.

Hampir 30 menit mengobrol, Nana kemudian menutup telepon setelah berjanji akan membawakan Oleh-oleh untuk adiknya.

Kejadian beberapa waktu yang lalu tiba-tiba melintas di pikirannya. Saat Ia mendapat cibiran dari teman-temannya dan juga senior di kampus karena dituduh menjadi selingkuhan Dosen barunya.

Nana dan pak Radit memang cukup akrab, namun hanya sebatas dosen dan mahasiswa.

Suatu hari, Mereka tak sengaja bertemu di sebuah Rumah makan, saat itu beliau sedang membelikan makan siang untuk istrinya. Karena sudah cukup akrab, mereka pun makan siang bersama satu meja. Pak Radit juga membelikan makanan untuk dibawa pulang oleh Nana, Dosen muda itu memang cukup dermawan soal memberi. Namun, beberapa mahasiswa selalu salah paham dengan sikapnya terhadap Nana.

“Diam-diam ternyata buaya” sindir salah satu mahasiswa yang iri dengannya. Mahasiswa yang lain justru ikut mengompori.

“Emang ada, buaya menggonggong. Ha..ha..ha..”

Gelak tawa mereka menyakiti hati Nana. Namun gadis itu tak pernah sekalipun membalas cibiran mahasiswa yang merendahkannya, bahkan ketika semua orang tidak ada yang peduli dengan perasaannya, Nana lebih memilih diam, Ia selalu mengingat keluarganya. Bagaimana Ayah dan ibunya memeluk erat saat ia akan berangkat ke Yogyakarta, Kakaknya yang selalu menjadi pendorong semangatnya dan juga Abdi yang masih kecil selalu membuatnya kuat karena kepolosannya.

Masa-masa bersama keluarga memang tak semua tentang tawa, perdebatan dan perselisihan terkadang tak bisa dihindari. Namun, kasih sayang yang tulus serta ikatan darah yang mengalir tak akan pernah bisa ditukar oleh apa pun. Bahkan harta sekalipun.

Nana menyadari, Ayah dan ibunya tak lelah berdoa untuk masa depannya, Ia tak mau mengecewakan mereka.

Hidup di perantauan, dengan beragam masalah yang dihadapi mengajarkan Gadis itu tentang makna kehidupan. Tidak semua masalah bisa Ia ceritakan kepada keluarganya yang nantinya hanya akan menambah beban, namun setiap masalah pasti hadir dengan jalan keluarnya.

“Apapun yang terjadi dalam hidup kamu, hadapilah! Jangan lari dari masalah. Jika memang kamu yakin dengan mimpimu, kejarlah! Lakukan yang terbaik. Belajarlah  dengan sungguh-sungguh. Ayah dan Ibu hanya bisa mendoakanmu”. Nana tak kuasa menahan air mata setiap ayahnya berkata seperti itu. Ia selalu ingin dekat dengan keluarganya. Namun jarak dan waktu yang memisahkan, membuatnya harus bertahan dalam kerinduan.

Tiba saat liburan akhir semester, Nana tak sabar ingin segera pulang ke Semarang. Rasanya semua masalah hilang seketika, saat ia mengingat keluarganya. Benar kata orang, rumah adalah surga. Tempat ternyaman, tempat kembali pulang.

Tak lupa dengan janjinya kepada Abdi, Nana membelikan mainan untuknya, serta beberapa makanan khas Yogyakarta yang menjadi favorit keluarganya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab 21

Kembali PadaMu

                                                          Zerura

"Besok-besok jilbabnya jangan terlalu panjang kaya gini, Ra! Kamu jadi keliatan kayak ibu-ibu."

"Azura, kamu kalo lagi jalan sama aku dandan, dong, biar gak keliatan pucet gitu."

Itulah beberapa komentar Bintang-pacarku, saat ia mengajakku jalan. Kami menjalani hubungan jarak jauh, atau biasa orang bilang LDR. Ketika kami bertemu, Bintang selalu menuntut agar penampilanku seperti yang diinginkannya.

Aku mengenalnya dari Sarah-sepupunya yang juga sahabatku di bangku kuliah. Bintang itu anak basket yang sangat modis, sedangkan aku hanya seorang kutu buku yang lebih banyak menghabiskan waktu di perpustakaan. Sekarang hubungan kami sudah masuk tahun kedua, dia kuliah di salah satu Universitas Swasta di Depok, sementara aku dan Sarah kuliah di salah satu Universitas Negeri di Bandung. Biasanya Bintang ke rumahku sebulan sekali, kami menghabiskan waktu bertiga bersama Sarah dengan berjalan-jalan ke tempat wisata atau sekadar pergi ke mal.

"Assalaamu'alaikum," ucap Bintang dan Sarah bersamaan.

"Wa'alaikumsalam, masuk aja, Nak Bintang, Nak Sarah. Sebentar ya, Azuranya lagi siap-siap," ucap Ibu mempersilakan mereka masuk.

Mendengar suara mereka, aku bergegas keluar kamar dan menghampiri mereka di ruang tamu. “Ayo kita berangkat!” kataku penuh semangat. Rencananya kami ingin pergi mal.

"Kamu yakin mau pake baju itu?” tanya Bintang.

“Emang kenapa?” kataku balik bertanya.

“Ga ada yang lain? Itu terlalu biasa, Ra," protes Bintang kepadaku.

Untuk kesekian kalinya, Bintang mengatur caraku berpakaian. Aku menolak untuk mengganti bajuku karena warna baju ini adalah warna kesukaanku. Bintang hanya terlihat pasrah dengan wajah yang ditekuk.

Di sepanjang perjalanan, Bintang diam saja dan fokus menyetir.

"Nanti kita mampir ke toko buku, kan?" tanyaku berusaha memecah keheningan.

Kulihat Sarah mengangguk mengiyakan, sedangkan Bintang hanya berdehem tanpa menoleh ke arahku. Sangat menyebalkan!

Sesampainya kami di mal, Bintang mengajak kami untuk pergi ke toko baju wanita. Katanya dia ingin membelikanku sebuah baju, aku hanya menurut dan mengikuti langkahnya menuju toko itu.

“Iih Bintang, kok yang mau dibeliin baju Azura doang. Akunya nggak?” goda Sarah. Bintang tak menanggapi, ia terus melangkahkan kaki melihat-lihat baju yang ada di dalam toko.

Bintang menghentikan langkahnya di jejeran atasan wanita, dia meminta kepada SPG yang ada di sana untuk mengambilkan baju yang ia pilih yang seukuran dengan badanku.

"Baik, Pak. Saya ambilkan dulu."

Tidak lama kemudian, SPG datang dengan baju yang diminta Bintang. Sarah pun tak mau kalah, ia ikut mengambil salah satu baju untuk dicobanya.

Bintang menyuruhku mencoba baju itu di ruang ganti bersama Sarah yang juga mau mencoba baju yang ia pilih.

Selesai mengganti baju, aku melihat pantulan diriku di cermin. Aku hanya diam sambil terus menatap pantulan diriku. Rasanya aneh, aku seperti melihat orang lain. Aku dengan pakaian yang hampir memperlihatkan bentuk tubuhku, juga hijabku yang sangat pendek.

“Azura, kamu kenapa, kok malah nangis?” tanya Sarah mengagetkanku. Suaranya menyadarkanku dari lamunan, bahkan air mata pun tak terasa kini sudah membasahi pipi. Aku hanya diam tak menjawab. Merasa kecewa dengan diri sendiri, mengapa dengan bodohnya aku menuruti semua perintah Bintang untuk mengubah penampilanku? Begitupun dengan Sarah. Dia sahabatku, tapi malah ikut andil membuatku seperti ini.

"Ra, udah belum nyoba bajunya?" suara Bintang mengalihkanku. Aku segera menghapus air mata, melihat ke arah cermin untuk memastikan keadaan wajahku. Aku mengambil bedak tabur dari dalam tas, sedikit menepuk-nepukkannya ke wajahku dan memoles sedikit gincu di bibirku

"Wah … bagus Ra, cantik. Oke, aku bayar dulu ya, bajunya," kata Bintang. Namun aku menolaknya karena aku tidak suka dengan model bajunya yang terlalu pas di tubuh. Aku merasa malu memakainya.

Mendengar penolakkanku, Bintang terlihat sedikit kesal. Dia pergi begitu saja ke arah kasir.

“Sar, mana baju kamu? Jadi mau dibayarin gak, nih?” tanya Bintang dengan nada yang ketus. Sarah menggandengku ke arah kasir dan memberikan bajunya untuk dibayar.

Keluar dari toko baju, kami pergi ke Restoran Jepang untuk makan siang. Setelahnya kami mampir ke toko buku. Aku ingin membeli buku untuk mata kuliah, Sarah memilih pergi ke rak di mana novel-novel fiksi berada. Sedangkan Bintang hanya menunggu di kursi yang disediakan sembari bermain game di ponselnya.

Setelah membeli buku, kami langsung pulang. Aku meminta mereka untuk menurunkanku sampai depan rumah saja. Aku beralasan kalau aku lupa dalam waktu dekat ada acara penting di tempatku bekerja, jadi aku harus meyiapkannya dari sekarang. Setelah mobil mereka pergi, aku masuk ke dalam rumah untuk membersihkan diri dan mendinginkan otak.

•••••

Saat tengah malam, aku terbangun dari tidurku. Aku menatap lurus ke arah dinding, memikirkan kejadian tadi siang saat di ruang ganti. Entah mengapa hatiku sangat gusar dan merasa tidak tenang. Rasanya seperti ada sesuatu yang mengganjal di hati. Aku beranjak dari tempat tidur dan kupaksakan diri untuk melakukan salat malam.

Dalam salat, aku merasa sangat dekat dengan Allah. Tanpa terasa, air mataku menetes dan tangisku pun pecah dalam sujud yang panjang. Aku menangis dalam setiap gerakan salatku. Hingga aku mengucapkan salam, aku masih belum bisa menghentikan tangisku. Di keheningan malam itu, semua keresahan hatiku, aku ungkapkan pada Allah. Aku benar-benar menyerahkan semua padaNya. Aku baru tersadar, ternyata sudah begitu lama aku tak bermunajat seperti ini. Terakhir kali yang kuingat saat menjelang aku UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri).

Aku berdoa kepada Allah agar diberikan pentunjuk dan kemudahan untuk semua urusanku, apa pun yang terjadi nantinya, aku memohon agar diberikan yang terbaik. Selesai berdoa, aku kembali naik ke atas ranjang. Tiba-tiba aku teringat pada Mbak Okta, Seniorku di ROHIS SMA. Dari beliaulah, aku mengenal Islam lebih dalam. Tentang bagaimana menjadi muslimah yang sesungguhnya. Berawal dari kekagumanku pada wanita shalihah itu, akhirnya Allah memberiku kesempatan untuk hijrah. Aku mulai mengenal hijab dan mengikuti kegiatan keagamaan di SMA.

Aku mengambil ponsel di atas nakas, membuka room chat Mbak Okta dan mengetikkan kata-kata di sana. Mulai dari bertanya kabar hingga mengajaknya bertemu. Aku juga menceritakan semua kegalauanku selama ini, termasuk masalahku bersama Bintang. Setelah dirasa cukup, aku pun tertidur dengan hati yang tenang.

***

 Allahu akbar  … Allahu akbar ….

Samar-samar kudengar suara Azan Subuh. Aku terbangun dan bergegas ke kamar mandi untuk mengambil air wudu.

Ibu mengetuk pintu kamarku dan mengajak Salat Shubuh bersama. Selesai salat berjamaah, aku sempatkan untuk mengobrol bersama Ibuku. “Ra, Ibu perhatikan akhir-akhir ini kok, kamu agak murung dan kurang bersemangat? Apalagi kalo ada Bintang sama Sarah,” tanya Ibu sambil mengusap kepalaku dengan lembut.

Tiba-tiba saja air mataku mengalir. Ibu terlihat bingung dan khawatir melihat ku menangis. Beliau bertanya, ada apa denganku? Aku hanya menggelengkan kepala sebagai jawaban, dan akhirnya Ibu membiarkan ku menangis di dalam pelukannya.

 

Setelah tangisku mereda, aku bercerita pada Ibu bagaimana tertekannya aku harus menjadi orang lain, aku merasa selama ini Bintang sepertinya tidak benar-benar tulus padaku. Ibuku pun akhirnya mengatakan isi hati terdalamnya bahwa sebenarnya dia kurang suka jika aku bersama Bintang. Karena Ibuku melihatku banyak berubah. Aku jadi lebih sensitif dan penampilanku jadi tidak natural lagi. Beliau memintaku untuk bisa menjadi diri sendiri dan bersikap bijak. Namun jika dirasa aku sudah tidak nyaman maka lebih baik berpisah dengan baik-baik, agar dikemudian hari masih bisa tetap bersilaturahmi. 

***

Ting! HP-ku berbunyi, tanda ada pesan yang masuk. Aku membuka aplikasi chat-ku, ternyata ada pesan dari Mbak Okta. Kubaca isinya, Masyaa Allah sangat menyentuh hati. Ada beberapa pesan yang masuk dari Mbak Okta, selain menanyakan kabarku sekarang dan menerima tawaranku untuk bertemu. Ada satu pesan yang begitu mengena dihatiku dan membuatku semakin yakin untuk mengambil keputusan.

 

Isi pesannya adalah [Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; barangsiapa niat hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya." (H.R. Bukhari)]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab 22

Waktu untuk Pulang

Paseutel

 

Awan kelabu bergumul di langit bulan Agustus yang akrab dengan kemarau. Seakan-akan turut membawa lara hanya untuk menghujam hati anak manusia.

 

Buntara Adisatya—atau yang akrab disapa Tara—menghembuskan asap pekat dari batang nikotin yang dihisapnya pagi ini. Di atas salah satu rooftop bangunan tempatnya mengadu nasib, ia membagi kegundahannya bersama satu pack rokok dan sebuah korek api. Semilir angin dibarengi kelamnya suasana mendung di pagi hari, membuat pikiran Tara berkecamuk. Berkelana ke berbagai kenangan pahit yang seharusnya ia lupakan sejak lama.

 

Tara menghisap rokoknya dalam-dalam sembari memejamkan mata. Lalu, perlahan ia menghembuskan asap nikotin itu entah untuk kesekian kalinya. Ia menjatuhkan batang rokok yang hanya tersisa filter-nya, lalu menginjaknya. Kemudian, ia kembali memejamkan matanya perlahan.

 

Kenangan-kenangan itu terus menghujam pikiran Tara, memaksanya untuk terus mengingatnya. Tara benar-benar tak diberi sedikitpun kesempatan untuk melupakannya.

 

Tak tahan, Tara akhirnya membuka mata. Dan betapa terkejutnya ia ketika tiba-tiba dirinya sudah duduk di sofa ruang tamu rumahnya dulu. Sebelum ia memilih untuk menetap di suatu tempat.

 

Bohong jika Tara tidak rindu. Bahkan sekarang, matanya berkaca-kaca saat menelisik sekeliling ruangan ini. Dinding-dinding yang penuh dengan pigura foto, sofa berwarna abu-abu kesukaan Tara, atau bahkan almari kaca yang penuh dengan piala dan medali kejuaraan yang digeluti Tara sejak dulu.

 

“Tara! Gimana bisa kamu dapat nilai 89?” bentakkan seorang wanita membuat Tara refleks berdiri. Ia membalik badannya hanya untuk melihat seorang wanita muda—bunda Tara yang tengah menyeret anak laki-laki berseragam merah putih dengan wajah murka. Tara geming. Cukup lama sebab antara percaya tak percaya, bocah laki-laki itu adalah Tara kecil.

 

“M-maaf, Ma ….” Tara kecil berkata lirih nyaris berbisik. Bukannya mengudang belas kasih sang Bunda, ia malah mendapatkan kata-kata pedas dengan nada tinggi.

 

“Maaf? Kamu itu, ya!” Bunda Tara mengangkat tangannya, bersiap untuk menghadiahi Tara kecil karena nilai ulangan matematikanya itu.

 

Tara jelas langsung memejamkan mata. Kenangan ini terlalu sakit untuk kembali ia lihat. Apalagi, tanpa bisa melakukan apa-apa. Beberapa detik kemudian, ia kembali membuka matanya. Hanya untuk mendapati dirinya kembali berada di ruangan yang berbeda dari sebelumnya.

 

Dinding abu-abu gelap ini … jelas kamar Tara. Dulu, saat ia masih tinggal bersama keluarganya.

 

Di ruangan ini, Tara melihat dengan jelas, bagaimana Ayahnya menghujami seorang remaja laki-laki dengan pukulan-pukulan brutal. Remaja laki-laki itu adalah Tara remaja. Beberapa jam setelah pengumuman kelulusan SMA diumumkan. Juga sehari sebelum Tara memutuskan untuk angkat kaki dari neraka berkedok keluarga itu.

 

Kali ini, Tara memilih untuk tetap membuka mata. Hingga mata kelamnya berakhir dengan tetesan air mata yang mengalir deras. Kedua tangannya mengepal, sarat akan rasa kecewa juga dendam yang selama ini selalu tersimpan dalam pikirannya.

 

Buntara Adisatya sudah mendeklarasikan bahwa ia benar-benar membenci dua manusia yang disebutnya orang tua.

 

Tara terdiam dengan segala emosi yang menggerogoti jiwanya. Sampai bayangan akan kenangan di depannya itu memudar berganti dengan wajah sendu orang tuanya saat tak sengaja bertemu dengan Tara di salah satu pusat perbelanjaan di Bandung.

 

“Tara, maafin Ayah sama Bunda. Maafin semua perlakuan kami sama kamu selama ini, Tar,” ujar sang Ayah dengan nada yang paling dibenci oleh Tara.

 

“Liat perut Bunda. Kamu bakal jadi abang, Tara. Pulang, ya, Nak?” bujuk sang Bunda yang membuat Tara muak setengah mati dan memutuskan untuk segera pergi dari tempat itu. Meninggalkan kedua orang tuanya yang meneriaki namanya—memintanya untuk kembali.

 

Tanpa sadar air mata Tara menetes. Mengingat hal iti, itu membuat Tara merasa telah menjadi anak yang sangat kurang ajar. Tak tahu balas budi.

 

Bahkan kehidupannya setelah menjadi arsitek seperti impiannya pun terasa begitu hampa. Tara seperti kehilangan hidupnya. Rumah tempatnya untuk pulang dan sekedar melepas lelah jauh berbeda dari sebelumnya. Kelewat tenang, nyaris kesepian. Hanya sunyi yang mengisi kehidupan Tara selama ini.

 

Tara terisak. Ia memejamkan mata untuk lebih merasakan lara dalam hatinya. Merasakan penyesalan yang teramat dalam hidupnya. Karena sebuah peringatan telah menghampirinya hanya untuk membuatnya sadar bahwa yang dirinya butuhkan sekarang adalah pulang. Pulang ke rumah yang sesungguhnya. Pulang untuk kembali meraup kasih sayang dari keluarganya.

 

Tepat ketika Tara membuka mata. Sadar bahwa dirinya tengah bermimpi dengan air mata yang berderai. Tara bertekad dalam hati, mebisikkan pada pikirannya bahwa inilah saatnya. Saat yang tepat untuk kembali ke masa lalu yang selalu berusaha ia singkirkan. Inilah waktunya, Buntara.

 

Waktunya untuk kembali pada kehidupanmu yang sesungguhnya

 

 

 

 

 

Bab 23

Go Home, Son

                                                   Asri Safitriyani

“Sesibuk apa pun kamu, sejauh apa pun kamu pergi, keluarga merupakan tempat pulang. Uang dan popularitas tak mampu membayar kebersamaan dengan keluarga.”

Malam ini adalah malam yang pekat nan lekat. Purnama telah menjauh ke barat, menunggu giliran untuk kembali berevolusi ke timur lalu, ke barat lagi Naira menatap ke angkasa, gelap dan menakutkan. Ia hanya melihat segelintir bintang kecil yang berkelap-kelip seakan memanggil Naira untuk mendekat, memetiknya.

"Udah dua bulan aku nganggur, gimana nasib aku ke depannya. Kosan juga belum di bayar," keluh Naira.

Naira menatap kosong ke langit malam itu, memikirkan nasibnya yang begitu-begitu saja. Ia kembali bergumam sendiri. "Padahal dulu dari kampung niat banget mau tinggal di kota, mau punya duit sendiri, sampai rela ninggalin Ibu dan adik-adik."

Naira mengembuskan napasnya pelan. "Sekarang malah kehilangan kerjaan yang udah aku tekuni hampir dua tahun ini."

Naira, gadis desa yang merantau ke kota demi memenuhi kebutuhannya. Sudah hampir 2 tahun ia tinggal di kota yang dijuluki Kota Kembang itu, bekerja di sebuah pabrik yang cukup terkenal. Walaupun hanya sebagai buruh biasa, tapi gajinya cukup untuk memenuhi kebutuhan remaja seusianya.

Saat itu, setelah ia lulus SMA. Naira terpaksa meninggalkan Ibu dan ke dua adiknya. Kehidupan teman-temannya yang mewah mendorong Naira untuk mengikuti trend anak remaja pada umumnya, tapi ia bukan berasal dari keluarga kaya. Ibunya hanya bekerja serabutan, sedangkan ayahnya entah kemana. Sejak kecil Naira tak pernah mendapat kasih seorang Ayah. Hal itulah yang membuat dia tumbuh menjadi gadis yang susah diatur dan kurang bersyukur.

"Ibu, lepasin. Ira mau berangkat sekarang, ibu jangan kaya gini," ujar seorang gadis yang tengah berusaha melepaskan pelukan seorang wanita paruh baya yang tampak lusuh itu.

Wanita itu tampak menangis tersedu-sedu. Mencoba membujuk anaknya agar tidak pergi. "Jangan, Nak. Jangan tinggalin ibu sama ke dua adikmu." Bu Iyem mengusap air matanya pelan. "Ibu akan berusaha memenuhi keinginan Ira, tapi ibu mohon sama Ira, jangan tinggalin kampung ini. Kalau Ira mau kerja, kerja di sini aja sama Ibu," ujarnya, masih menangis.

"Maafin, Ira, Bu. Tapi Ira harus pergi. Ira gak bisa menjamin kehidupan Ira kalau sama ibu di sini."

Naira menghembuskan napasnya, mencoba menahan agar air matanya tidak jatuh. Jika Ibunya seperti ini terus akan sangat sulit untuknya meninggalkan kampung.

"Bu, Ira pengen kaya temen-temen Ira. Punya hp bagus, baju bagus barang-barang bagus. Kenapa Ira harus lahir di keluarga ini? Bahkan, Ayah sendiri, Ira enggak tahu." Air mata yang ia tahan sedari tadi akhirnya jatuh, ketika ia menumpahkan segala emosi yang mengganjal di hatinya selama ini. Bu Iyem hanya bisa menangis tak bisa menjawab pertanyaan anak gadis satu-satunya itu.

"Maafin, Ibu, Nak. Bukan keinginan Ibu kita hidup kaya gini. Ira hanya kurang bersyukur, coba Ira lihat. Banyak orang yang hidupnya gak seberuntung Ira."

"Maaf, Bu, tapi Ira bener-bener harus pergi sekarang. Ira janji bakalan ngasih kabar ke Ibu. Ira gak bakal lupain Ibu."

Tapi sangat disayangkan, Naira mengingkari janjinya sendiri, ia terlalu sibuk dengan dunianya yang baru. Bahkan untuk sekedar menelepon pun Naira tidak punya waktu.

***

Sudah hampir dua bulan lamanya Naira menganggur, selepas ia di-PHK tempo hari lalu, sampai sekarang masih belum juga menemukan pekerjaan baru.

Pandemi yang semakin hari kian parah di negeri ini membuat banyak pihak dirugikan, termasuk para pengangguran seperti Naira. Banyak perusahaan dan toko-toko gulung tikar apalagi saat peraturan PPKM diberlakukan. Jangankan untuk membuka recruitmen, menggaji karyawan yang ada saja sebagian perusahaan sudah tak sanggup. Hingga terjadilah gelombang PHK besar-besaran dibeberapa perusahaan. Bahkan mereka para pengusaha yang nakal memilih kabur ke negaranya guna menghindari pemberian upah PHK.

Saat ini, Naira hanya bisa pasrah meratapi nasibnya. Harus ke mana ia sekarang? Bahkan tempat yang ia tinggali sekarang pun milik orang lain, sewaktu-waktu ia bisa diseret keluar oleh bu Ana—pemilik kosan. Satu kata yang teringat di kepalanya saat ini 'Keluarga' Iyapp, Naira masih punya keluarga. Keluarga yang ia lupakan dan telantarkan. Keluarga yang selalu ada disaat Naira membutuhkannya, walaupun sering kali ia mengacuhkan mereka. Dengan tangan yang bergetar dan isakan tangis, gadis itu mengambil gawai di nakas samping tempat tidur. Mencoba menghubungi sang ibu di kampung.

Ada perasaan ragu ketika Naira ingin berbicara, takut ibunya tak mau menerima dia kembali. Takut jika ibunya telah membenci dirinya. Tapi ini jalan satu-satunya.

"Ha--hallo ...,” ujar Naira terbata-bata.

"Hallo, Ira, apa kabar kamu, Nak?" jawab bu Iyem di sebrang sana.

Naira menggigit bibir dalamnya. “Ibu ... Maafin Ira. Ira banyak salah sama Ibu. Ira nyesel, Bu."

Bu Iyem menjawab dengan perasaannya yang campur aduk, sedih, senang dan juga kecewa. "Ira kenapa, sayang? Coba cerita, Ibu selalu ada buat Ira."

"Ira kehilangan kerjaan, Bu," lanjut Naira dengan tangisnya.

Bu Iyem terdiam. Ada perasaan senang ketika putrinya masih menganggap dia ada, tapi di sisi lain dia juga kecewa. Sikap putrinya belakangan ini sedikit menorehkan luka yang cukup dalam bagi seorang ibu. Dia paham, mungkin putrinya ini hanya khilap, mungkin putrinya ini hanya terobsesi dengan uang dan popularitas. Dan sekarang Naira kehilangan semua itu. Karena uang bukan segalanya.

Ibu mana yang tega melihat anaknya menderita, sekalipun sang anak telah mengecewakan, ibu tidak kan pernah meninggalkan. Walaupun sang anak keras kepala dan kadang sering membuatnya menangis, tapi percayalah ... Seorang ibu tak pernah menyesal karena mencintai anaknya.

"Nak, Ibu selalu menantikan kamu pulang. Sudah hampir dua tahun, Ibu belum melihat wajahmu lagi di dalam kamarmu ini. Kadang, untuk mengobati rindu, Ibu mengambil baju dalam lemari dan mencucinya. Rutinitas yang masih ibu lakukan sampai saat ini."

"Pulanglah, Nak barang sejenak saja. Sapalah istana kecilmu ini yang sudah lama tak tersentuh. Pintunya selalu terbuka buat kamu, Nak."

Tangis Naira semakin pecah, tatkala ibunya berucap demikian. Naira kira ibu akan membencinya karena sikap dia yang seolah tidak memiliki keluarga. Tapi ibunya mau menerima di kembali. Naira menyesali perbuatannya.

"Iya, Bu, Ira akan kembali, tungguin Ira di rumah, Bu," lirihnya masih tersedu-sedu.

***

Mungkin rumah Naira bukan bangunan yang megah, tetapi di dalamnya tersimpan banyak kisah yang tak ternilai. Banyak kenangan indah tercipta saat berada di samping ibu dan adik-adiknya. Ibu Naira bukan orang kaya, tetapi ia selalu mencoba membahagiakan anak-anaknya dengan berbagai cara.

Sekarang Naira paham, keluarga selalu menjadi tempat ternyaman baginya. Sejauh apa pun Naira pergi, seindah apapun tempat yang ia kunjungi, keluarga akan tetap menjadi tempatnya kembali.

Saat dia terjatuh, akan ada ibunya yang selalu memeluk dan menangkan. Saat dia gagal, akan ada adik-adiknya yang senantiasa memberi dukungan untuk berjuang kembali.

Maka, saat dia bahagia, ada ibu dan adik-adik yang harus ia bahagiakan. Keluarga adalah segalanya.

Karena sebaik-baiknya tempat berlabuh adalah keluarga.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab 24

RENO

Sanggemintang

 

Reno, pemuda energik yang memiliki segala hal yang diinginkan orang-orang. Ia tampan, kaya, memiliki kecerdasan di atas rata-rata, kemampuan retorika yang menawan, dan pandai menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Kehidupan penuh kemewahan sudah dirasakannya sejak dalam kandungan sang ibu hingga kini ia beranjak dewasa.

Di sekolah, Reno menjadi primadona. Namanya seharum parfum yang digunakannya. Ah, dari jarak 2 meter saja semua orang dapat mengetahui koridor mana yang dilalui Reno.

Walau segala kesempurnaan seolah dimilikinya, Reno tak pernah bangga dengan semua itu. Ia merasa ada kehampaan di sudut hatinya. Tetapi, ia tak tahu dengan pasti apa yang membuatnya merasa hampa.

Layaknya seorang pelajar yang disibukkan dengan persiapan ujian masuk perguruan tinggi, Reno pun disibukkan dengan segala bimbingan belajar dan pemantapan. Soal demi soal dilahap hingga tak bersisa, seiring kesiapannya menghadapi ujian yang semakin mantap.

Hari ujian masuk perguruan tinggi pun dimulai. Reno dengan segala persiapannya mengerjakan soal ujian dengan lancar. Waktu ujian seakan-akan bergulir cepat hingga tak terasa alarm tanda ujian berakhir menggema di sepanjang koridor tempat Reno melaksanakan ujian. Para peserta ujian kemudian serentak menghentikan aktivitasnya dan bersegera pulang dengan penuh harap.

Beberapa bulan kemudian, Reno mengecek website kelulusan ujian masuk perguruan tinggi. Ia terlonjak girang melihat hasil ujian karena berhasil masuk ke perguruan tinggi yang diidamkannya. Ibunda dan keluarganya pun turut berbahagia atas keberhasilan Reno tersebut. Setelah pengumuman itu, ia pun disibukkan dengan segala persiapan masuk perguruan tinggi; tak terkecuali ibunya. Walaupun ibunya seorang janda yang ditinggal mati dan woman entrepreneur yang sukses sekaligus sibuk, ibunya tetap mendampingi Reno menyiapkan segala keperluan sebagai mahasiswa.

***

Beberapa bulan setelah resmi menjadi mahasiswa...

Bugh!  Terlihat dua pemuda bertabrakan.

“Aduh! Maaf,’’ ujar pemuda tinggi berkacamata. Ia mendongak melihat pemuda lain yang sempat bertabrakan dengannya seraya menyesali karena terlalu fokus menunduk memikirkan tesisnya.

“Kamu ...?” tanya pemuda tinggi berkacamata itu lagi. Netranya seketika membulat melihat sosok pemuda di depannya. Blink! Ia akan jadi pemuda hebat. Selintas pikiran berkelebat di benak pemuda tinggi berkacamata.

“Aku, Reno.” pemuda itu menjawab sambil mengulurkan tangannya hendak berjabat tangan.

“Hai, Reno. Aku, Kamil.” pemuda tinggi berkacamata itu pun mengulurkan tangannya. Kedua pemuda itu kemudian berjabat tangan dan berbincang seolah-olah dunia di sekitar mereka senyap seketika. Tak lama berselang, suara azan berkumandang.

“Eh, udah azan. Salat di masjid, yuk!“ ajak Kamil pada Reno. Ajakan Kamil disambut Reno dengan sukacita. Sejak menjadi mahasiswa di perguruan tinggi ini, Reno merasa nyaman untuk ke masjid tiap waktu salat. Tak disangka, hari ini ia bertemu dengan Kamil, mahasiswa yang mengambil program pascasarjana di fakultas yang sama dengannya dan aktif juga di komunitas keislaman pascasarjana.

Sejak hari itu, Kamil dan Reno menjadi sahabat. Reno menganggap Kamil layaknya seorang kakak sekaligus guru. Kamil dengan sabar membimbing Reno di beberapa mata kuliah dan tak segan diajak berdiskusi tentang Islam. Reno mengakui keluarganya tak terlalu rajin beribadah. Reno dapat menghitung berapa kali ia dan keluarganya melakukan salat dalam setahun. Itu pun hanya di hari-hari besar keagamaan. Namun setelah bertemu dengan Kamil, Reno belajar banyak hal tentang Islam; termasuk belajar salat. Ketika Kamil mengatakan salat adalah tiang agama Islam, Reno sempat bergetar ketakutan. Jika salat tak tegak, maka bangunan agama akan hancur. Setinggi apapun capaian dunia seseorang, jika tanpa menegakkan salat di kehidupannya, maka semua itu tak bernilai apapun di hadapan Tuhan. Sejak saat itu, Reno belajar melaksanakan salat tepat waktu dan perlahan belajar khusyuk setiap salat.

Perubahan Reno diketahui oleh sang ibunda. Alhasil, Reno diminta pulang ke rumah di hari libur kuliah.  Ibundanya tidak mempermasalahkan akademik sebab akademik Reno selalu memuaskan, bahkan mendapat beasiswa. Yang dipermasalahkan adalah perubahan Reno ke arah yang radikal karena bergabung dengan lembaga keislaman dan aktif di masjid. Sebenarnya, Reno tidak hanya aktif di lembaga keislaman dan masjid. Tetapi, Reno telah menjelma menjadi aktivis di badan eksekutif mahasiswa, himpunan mahasiswa, bahkan menjadi asisten di laboratorium. Mengetahui ibunya sangat menentang perubahan dirinya, Reno tetap menyampaikan keberatannya melepaskan aktivitasnya terkait Islam dan masjid. Reno dan ibunya pun beradu argumen. Sebagai seorang anak, Reno selalu berusaha menjaga intonasi dan mimik wajahnya setiap menyampaikan argumen pada sang ibu karena dalam Islam berbakti dan berbuat baik pada orang tua merupakan kewajiban seorang anak. Namun, ibunya tetap bersikeras agar Reno menjauh dari segala aktivitas keislaman dan masjid.

“Baiklah. Jika kamu tidak mau menghentikan aktivitasmu di sana, maka Ibu akan mogok makan sampai kamu berhenti!” ancam ibunya. Reno mendesah pelan, kemudian berkata: “Wahai Ibu, Reno menemukan nilai-nilai berharga setiap kali Reno mendalami agama kita. Di masjid itu, Reno dibimbing agar mampu mengaplikasikan nilai-nilai tersebut. Tak hanya di masjid, tapi di setiap detak jantung Reno. Nilai itu seolah sudah menjadi jantung kebahagian Reno, Bu.” Reno diam sejenak menatap lembut wajah ibunda tercinta. “Reno tetap akan berbakti pada Ibu. Tapi Reno pun tak mampu hidup jika jantung Reno harus dicabut.” ujar Reno kemudian bersimpuh di hadapan ibunda tercinta. “Maafkan Reno, Bu. Reno tak mampu melepas kebahagiaan Reno sebagai aktivis masjid.” lanjut Reno seraya mencium telapak kaki ibunya sembari terisak. Amat berat bertentangan dengan wanita yang sangat ia hormati dan sayangi. Namun, seruan Tuhannya untuk menyerukan Islam ke setiap jiwa lebih agung. Karena sejatinya, sebelum menjadi apapun setiap orang adalah penyeru di jalan agamanya.

“Jika kamu masih bersikeras, maka Ibu akan cabut semua fasilitas yang Ibu berikan padamu. Mulai detik ini juga!” Ibunya kemudian berlalu dengan amarah berkecamuk sekaligus kesedihan yang amat mendalam. Reno menatap nanar punggung ibunya. “Maafkan Reno, Ibu.”

***

Setelah pertemuan dengan sang ibu, Reno kembali disibukkan dengan agenda akademik di perguruan tinggi. Tak ada yang berubah dengan kepribadian dan prestasi Reno. Satu hal yang sangat berubah---menurut orang-orang di sekitar Reno, adalah seorang Reno yang identik dengan fasilitas lengkap nan mewah itu sudah tiada. Setelah sang ibu menghentikan segala sokongan dana dan semua fasilitas, Reno menjadi mahasiswa sangat sederhana. Ia harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hariannya. Hal ini membuatnya semakin disiplin dalam manajemen waktu. Walaupun Kamil menawarkan banyak bantuan, Reno menolak dengan santai. Biaya kuliah sudah aman karena Reno mendapatkan beasiswa tiap semester. Ia pun bisa tinggal di asrama yang disediakan oleh kampusnya demi menghemat biaya hidup. Walau kehidupannya menjadi serba terbatas, Reno tetap bersyukur dan berbahagia. Ia merasa kehampaan di hatinya hilang begitu ia mengenal Tuhan dan agamanya. Ia memiliki keluarga baru di komunitas agamanya di lingkup perguruan tinggi, Keluarga Mahasiswa Islam. Keluarga tempatnya kembali setiap letih berjibaku dengan tugas kuliah dan juga pekerjaan. Tempatnya beraktivitas menajamkan bakatnya. Tempatnya diingatkan akan misi sucinya, menyeru dan mengajak manusia kembali pada Tuhannya.

Walaupun ibunda tercinta tetap menutup hati dan juga pintu rumah untuk Reno. Namun, Reno tetap menunaikan bakti pada orang tua. Ia secara rutin mengirimkan kabar melalui pesan elektronik pada ibunya terkait kondisinya, perkembangan prestasinya, aktivitasnya, pekerjaannya dan segala curahan hati anak pada ibunya. Selain itu, Reno pun selalu memanjatkan doa untuk ibunya. Bumi menyaksikan setiap tetes air mata yang tumpah dari matanya. Angin menjadi penyambung bisikan-bisikan doanya. Semesta pun menjadi saksi atas setiap aksi Reno menjemput ridho Tuhannya. Akhirnya, Tuhan Yang Maha Lembut pun berkenan melembutkan hati ibunda tercinta.

***

Reno lulus dengan predikat cumlaude sekaligus lulusan tercepat di angkatannya. Walaupun sibuk bekerja, Reno tetap berusaha menjaga prestasi akademiknya. Hari bahagia itu lengkap ketika ia mengetahui ibu dan keluarganya datang. Reno segera berlari ke dalam pelukan sang ibu. Mereka berpelukan dan menangis melepas rindu. Berkali-kali, ibunya menciumi Reno yang terlihat gagah dengan jubah dan toganya. Putra semata wayang ibundanya itu telah menjelma menjadi pemuda yang berilmu dan rendah hati.

“Maafkan ibu terlambat, Nak.” ujar ibu seraya menghapus air mata yang membasahi pipi putranya. Reno menggelengkan kepalanya sembari berkata, “Terima kasih sudah datang, Bu.”  Ibu dan anak itu pun kembali berpelukan.

Kamil yang mendampingi Reno ikut terharu melihat kejadian itu. Ia yang sudah lebih dulu lulus dan wisuda, sengaja hadir mendampingi Reno wisuda. Ia menyangka Reno akan sendirian tanpa kehadiran keluarga. Syukurlah, kekhawatirannya tak terjadi.

Setelah puas melepas rindu, Reno mengenalkan Kamil pada ibu dan keluarganya. Reno sangat bersyukur dipertemukan dengan Kamil, seseorang yang sudah dianggap sebagai keluarga sekaligus sosok yang mampu memberikan jawaban atas kehampaan yang dirasakannya selama ini. Reno memahami bahwa keluarga adalah tempatnya melabuhkan diri sehingga ia ingin menciptakan surganya di dunia. Lebih jauh lagi, ia ingin menjadikan surga dunianya menjadi surganya kelak di sisi Tuhannya. Karena, ia meyakini bahwa segala yang ada di sisi Tuhan adalah lebih baik dan kekal.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab 25

Telah Pergi

Arima Yanti Saragih

 

Lagi, kaki ini melangkah kembali kesini. Penghuni rumah di hadapanku ini sungguh luar biasa. Aku ragu mengetuk pintu."Sepertinya aku pulang saja," gumamku seraya menghela napas dengan berat. Aku pun meninggalkan rumah sederhana itu dengan langkah enggan.

Air mata menggenang di pelupuk mata, kemudian perlahan membasahi pipi yang mulai keriput akibat terpaan matahari. "Ya allah," rintihku.

"Ingot!"

Terdengar suara dari belakang, dan aku pun menoleh. Dadaku berdebar melihat Bapak dan Emak setengah berlari menghampiri.

"Ya Allah Nak! ini berenan Ingot?" Wanita paruh baya itu menghambur kepelukanku. Beliau terisak, membuatku tak kuasa menahan tangis.

"Akhirnya, anak Bapak pulang," lirih bapak sembari mengusap kepalaku. Kulihat bola matanya memerah, mungkin tak kuasa menahan haru. Namun, sepertinya beliau sekuat tenaga menahan agar tidak meneteskan air mata seperti emak dan aku.

"Kami merindukanmu, Anakku," ujar Emak di sela isaknya.

"Ingot juga rindu, Mak," aku tergugu.

Mereka mengajakku masuk, tetapi aku ragu melangkah membuat mereka heran lalu menatapku.

"Bukankah Ingot tidak boleh menginjak rumah ini," jelasku sendu, kening mereka berkerut.

"Dulu Ingot bersumpah tidak akan menginjakkan kaki lagi dirumah ini," ujarku terisak, menyesali ucapanku dulu.

Bapak mengelus punggungku." Sumpah itu tidak berlaku bagi kami selagi darah kami mengalir di tubuhmu, Nak."

"Emak sama Bapak sudah memaafkan Ingot, jauh sebelum Ingot pergi meninggalkan rumah," tutur Ibu.

Seketika aku langsung bersimpuh di hadapan mereka. Memeluk erat kedua kaki pasangan suami istri ini." Ya Allah ampuni Ingot! Ingot sungguh menyesal Mak. Pak," isakku.

Suara kokok Ayam membangunkanku, aku mengerjapkan mata menghalau rasa ngantuk. Saat kantuk hilang, mata imi berkelana  dan baru menyadari kamar ini masih seperti terakhir kali aku tempati. Tidak berubah sedikit pun.

Aku bergegas keluar kamar, suasana sepi tidak ada Emak dan Bapak." Udah keladang kali yah, tapi biasanya kan, habis solat subuh berangkat."

Isi rumah terlihat berantakan. Aku heran. Padahal, Emak tidak suka rumah tidak rapi.

"Mungkin Emak buru-buru yah?" aku sibuk menduga-duga.

Tikar banyak terhampar di ruang tamu, membuatku berpikir keras berusaha untuk mengingat kejadian kemarin. Akan tetapi hasilnya nihil."Sebanyak itu yang datang kerumah untuk melihatku pulang?" tanyaku.

Merasa aneh dengan keadaan sekitar, ada baskom berukuran sedang di pojok ruangan, tertutup sehelai kain berwarna hitam. Lekas kuperiksa, ada beras dan banyak lembaran uang pecahan. Tak cukup sampai disitu, halaman rumah juga kuperhatikan. Banyak kursi berserakan. Kain berwarna hijau dibentangkan membentuk persegi empat di samping rumah.

Kemarin aku tidak melihat pemandangan seperti ini, dengan cepat kuberbenah ingin menanyakan keanehan ini pada Emak.

***

Kupegang erat rantang di tangan, membayangkan dua paruh baya itu memuji hasil masakanku. Tinggal melewati satu ladag milik orang lain, maka sampailah ke ladang Emak.

Aku berselisihan dengan namboru Bune, ia begitu kaget bertemu denganku.

"Nak Ingot yah? Udah makin cantik aja. Kapan pulang nya gadis?" tanyanya haru.

       "Kemarin sore, Namboru," jawabku dengan senyum tipis.

      "Namboru turut senang kamu baik-baik saja Boru, ngapain lah kau ke juma?" tanyanya heran.

"Mau ngantar rantang ini sama Emak Bapak Namboru, tadi pagi belum sempat makan."

Perempuan setengah abad itu terhenyak mendengar penjelasanku, netranya berkaca-kaca membuatku bingung.

"Istigfar, Boruku. Istigfar. Ya Allah!" serunya, sembari mengelus punggungku.

"Maaf ya Namboru! Ingot buru-buru udah ditunggu," pamitku, merasa tidak suka dengan orang yang baru saja menyapaku. Apa yang harus di-istigfar-kan dari perkataanku?

Wanita paruh baya itu membisu, bingung bagaimana menyadarkan lawan bicaranya."Semoga engkau jadi anak yang kuat dan sabar,"lirihnya, seraya menatap iba.

Setelah menempuh perjalanan yang lumayan jauh, kini aku sudah sampai di gubuk. Duduk di andar melepas penat. Bola mata bergulir mencari keberadaan Emak dan Bapak. Lelah menunggu ditambah angin sepoi-sepoi membuatku mengantuk, aku naik ke atas gubuk lantas membaringkan tubuh. Perlahan mata ini terlelap.

"Nak bangun, hari sudah sore."

Sontak aku terbangun mendengar bisikan Emak."Mak. Pak. Maaf. Ingot ketiduran." Sembari mengucek mata.

"Tidak apa-apa--- makasih yah Nak untuk makanannya," Emak tersenyum bahagia, sesekali Bapak yang duduk di samping istrinya mengangguk-angguk.

"Mulai sekarang Ingot janji bakalan selalu masak buat Emak dan Bapak," ujarku, untuk menebus kesalahanku karena membantah perintah mereka. Melampiaskan kemarahan dengan kabur dari rumah.

Mereka hanya tersenyum simpul, ada gurat kesedihan di mata mereka.

"Boleh kami tau apa saja keseharian Ingot di rantau sana?"tanya Bapak.

Mendadak aku membisu, ragu untuk menceritakannya. Kutatap wajah keriput mereka satu persatu-satu. Ekspresi wajahnya mereka menyiratkan kasih sayang.

"Ingot ... jadi kupu-kupu malam Mak. Pak," cicitku. Mataku memerah.

"Bahkan aku sudah menjadi istri simpanan. Sekarang sudah diceraikan dan diusir. Tidak tau harus kemana. Jadi Ingot memberanikan diri untuk pulang,"jelasku tergugu, karena rasa penyesalan menghantuiku.

Aku tidak berani mengangkat wajah, dan siap menerima segala konsekuensi. Tapi Emak dan Bapak menangis sambil memelukku dengan erat. Tubuhku membeku karena tidak siap menerima perlakuan mereka yang tidak terduga.

"Maafkan kami yang tidak bisa mendidikmu. Tidak bisa merawatmu. Tidak bisa pula menjagamu," rintih Bapak. Baru kali ini kulihat beliau menangis.

"Apapun kesalahan anak, itu merupakan kesalahan orang tua ... yang tidak bisa menjalankan tanggung jawabnya. Ya Allah! Ampuni kami."

"Sejauh manapun Ingot nanti pergi, jika hendak pulang, pulang lah Nak! Keluargamu selalu menantimu." Emak mengecup keningku. Beruntungnya aku memiliki orang tua sesabar mereka.

"Nak, boleh kami meminta sesuatu?" Ucap Emak terdengar lirih, aku mengangguk cepat.

"Tolong perbaiki dirimu Nak, bantu kami menjalankan tanggung jawab terhadapmu yang belum terlaksana." rintihnya.

"Di ruangan sempit dan dingin itu kami kesakitan, Nak." Bapak memohon.

      Suara burung Elang membangunkanku dari tidur. Hari sudah beranjak sore, membuka rantang yang kubawa. Tidak tersentuh sama sekali, semua sudah dingin.

"Di ruangan sempit dan dingin ... bukankah itu kuburan?" Aku tertawa sumbang, menertawai kebodohanku. Emak dan Bapak sudah meninggal dua hari yang lalu. Aku terjebak dalam mimpiku, seolah-olah itu adalah nyata.

Aku memutuskan pulang. Tiba dihalaman rumah, pandanganku tertuju pada kain hijau di samping rumah. Itu adalah tempat memandikan mayat.

"Pelabuhanku telah pergi, kini aku harus berlabuh pada pelabuhan sendiri."

Selesai

 

Catatan kaki:

Boru: Panggilan untuk anak perempuan

Namboru: Bibi (Panggilan kepada saudara perempuan ayah kita, juga terhadap perempuan yang keturunan semarga yang urutannya setingkat dengan ayah kita.

Andar: Sisi, pinggir

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bionarasi

 

*    Bab 1 Kun Marátussalihah

Rr Syarifah Hani’ah, S.Pd.I. Cilacap, 12 September 1979 kegiatan sehari-hari Ibu Rumah Tangga, ASN, Herbalis, Aku terlahir dari pasangan RH Ali Abdurrahman alatas dan Yuchanidz Ali, Guru madrasah dari tahun 1998 sampai kini, Kini Aku tinggal di Perum Griya Jembar Lestari no 15 gumilir cilacap Utara, email: flanelsyarifah@gmail.com HP 087763543547. Sampai hari ini Aku baru tergugah membuat 12 antologi, 1 karya solo yang berjudul “Kerajaan Numeric   

 

*    Bionarasi Bab 02 Shadow

 Perkenalkan penulis bernama Junah, nama yang begitu sangat singkat, terkesan jadul, tetapi menurut penulis itu membawa keberkahan. Lahir di Kota Serang, Banten pada tanggal 02 Meli 1986. Seorang ibu dari empat anak. Disela mengurus rumah tangga dan bekerja sebagai guru sekaligus dosen. Killing time untuk penulis adalah dengan menulis dan berjualan online. Penulis sekarang berdomisili di daerah Jonggol, Kampung Ceger RT 02 RW 06 Desa Sukamaju, Kabupaten Bogor. Motto dalam menulis adalahharus dengan hati karena akan mengukir prestasi sejarah dalam diri. Tetap semangat Literasi! Semangat menulis untuk kaum emak-emak.                                                                                                               

*      Bab 03 Beban menjadi kebanggaan keluarga

@Salman.M.S.A, lelaki pegagum senja. Kelahiran 9 januari 2000 kini memiliki Hobi menulis buku yang ia tekuni akhirnya membuahkan buku berjudul, “Aku dan Senjaku” dan “Habis ujian terbitlah keberkahan”. Saat ini ia sedang berkuliah di Institut Agama islam Negeri Manado dengan mengambil jurusan ilmu Al Qur’an dan Tafsir.

*      Bab 04 Keluarga Satria

 

Seorang Bapak dengan seorang istri dan seorang putri dan putra. Yang hobi mendengarkan ceramah KH. Zainuddin MZ. Setelah banyak berkecimpung di masyarakat kini tumbuh kecintaannya pada dunia tulis-menulis. Berharap dari hasil karyanya dapat menginspirasi dan memotivasi masyarakat lebih baik. Dapat dihubungi di email saminfarizky3476@gmail.com  atau fb @Samin Farizky

 

*      Bab 05 Beban Orang Tua

Namaku Rosikhatul Baroroh, lahir pada tanggal 29 April 2001 tepatnya di sebuah desa di kabupaten Tangerang. Aku anak bungsu dari 9 bersaudara, dan kini aku masih melanjutkan pendidikan di Universitas Swasta di Tangerang. Sedikit bangga dengan diri sendiri karena bisa kuliah tanpa harus menggunakan uang orang tua.

*      Bab 06 Mama’s Wonderfull child

Rofianti Devi. Putri bungsu dari tiga bersaudara dengan nama pena Tifa Noir, anagram dari kata Rofianti. Hobi membaca, baik bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. No day without reading. Tertarik dengan mental issues dan cerita dengan genre fantasi, aksi, petualangan, misteri, dst. Menulis untuk berekspresi, bebas dan tanpa terganggu kehidupan pribadi.

*      Bab 07 Sayap untuk Orang Tua

Rizky Nur Aini adalah yang menulis cerita ini, penulis lahir dari ibu yang bernama Sri Mulyani dan ayah yang bernama Eka Jaka Sugiyarto dengan empat bersaudara. Penulis dilahirkan di Sragen, pada tanggal 16 April 1998. Penulis berdomisili di desa Ngrampal, RT 31 RW 10 Kebonromo, Sragen. Penulis menempuh pendidikan dimulai dari taman kanak-kanak di TK Pertiwi Kebonromo 4. Lalu, sekolah dasar di SDN Kebonromo 3, setelah itu di sekolah menengah pertama di SMP N 3 Sragen dan dilanjutkan di sekolah menengah atas di MA N 1 Sragen. Setelah lulus SMA, penulis melanjutkan di perguruan tinggi IAIN Surakarta selama 3 tahun sembilan bulan dengan jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah. Sekarang penulis terjun ke dunia pendidikan dengan mengajar di MI Al Husna Tangen, Sragen.

 

*      Bab 08 Tidak Ingin Mengecewakan

Rita Anggraeni atau biasa dipanggil Rita Tatha, perempuan kelahiran 13 Oktober 1994 di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah ini, memiliki hobi membaca dan menulis sejak remaja, kini dia mulai aktif menggeluti bidang kepenulisan.

Facebook: Rita Anggraeni (Tatha)

instagram @tathabeo

Email: anggraenirita349@gmail.com

 

*      Bab 09 Perjuangan menjadi yang terbaik

Namaku Risnilasari Jamaluddin, lahir di Sungguminasa pada tanggal 15 Mei 2000. Aku anak ke 3 dari 4 bersaudara, sekarang saya sedang menempuh pendidikan di Universitas Muhammadiyah Makassar untuk Program S1 dan Ma’had Al-Birr Unismuh Makassar untuk Program I’dad Lughowy. Banyak perjuangan dan suka duka selama saya menempuh pendidikan di Jenjang perkuliahan sampai akhirnya bisa merasakan jadi yang terbaik

*      Bab 10 Tak Cukup Sampai Disini

Rizki Suryadi, dilahirkan di Tangerang. Putra bungsu dari lima bersaudara. Hobi basket dan saat ini bersekolah di SMKN 5 Jember. Pernah mengikuti lomba internet of think tingkat provinsi dan nasional, serta pernah mengikuti lomba marchingband tingkat internasional.

*      Bab 11 Melawan Arus

Binar Sendu, nama pena milik Atifa Nur Nazira. Gadis yang lahir di Jakarta pada tanggal 06 Mei 2004. Anak bungsu dari dua bersaudara yang sedang mencari jati dirinya. Gadis yang memiliki cita-cita penulis sejak di bangku sekolah menengah pertama. Jejaknya bisa ditemukan di akun instagramnya @atifannz.               

*      Bab 12 Romantika Kehidupan

Suwarti Solehah dengan nama pena Artysays adalah seorang ibu dengan empat buah hati. Di sela ruitinitas bekerja dan mengurus keluarga mencoba hal baru di dunia literasi dengan harapan bisa menghasilkan tulisan yang bermanfaat. Baginya usia bukan penghalang untuk terus mengasah talenta menghasilkan karya luar biasa. Berdomisili di Kendal. Untuk mengenal lebih jauh bisa add FB : Artysays, Ig : @artysays.  Terima kasih.

*      Bab 13 Pulang kembali

Aulia Kurniasih Cahyati atau kerap disapa Aul/Lia. Seorang gadis kelahiran Bandung 9 juli 2005. Mempunyai moto hidup ‘Walaupun aku terjatuh aku akan terus belari menuju impianku’. Mempunyai hobi menulis dan membaca novel. Menulis baginya adalah hobi yang di mana membuat dirinya menumpahkan segala perasaan yang ia rasakan lewat sebuah tulisan. Saat ini ia tercatat sebagai siswa di SMAN 1 Pangalengan. Jejaknya bisa ditemukan di akun Instagram @aulia.ul_

 

*      Bab 14 Pada Mereka Kulabuhkan Segala Rasa

ghu_ARoba’ adalah nama pena dari pemilik nama asli Arniyati Arifuddin. Lahir di Kambara, pada 01 November 1992. Seorang konsultan kesehatan yang hobi membaca, menulis, dan traveling. Bercita-cita menjadi penulis hebat dan menginspirasi banyak orang, yang karyanya tidak hanya di minati masyarakat Indonesia. Malainkan bisa menembus pasar internasional. Fin her on instagram : @Arniyati Arifuddin and my second account @ghu_aroba

*      Bab 15 Rahasia Jalanan

Nira Tamara adalah nama pena dari Arintha Nuril Ammara. Lahir di Pekanbaru, 18 Maret 2007. Seorang pelajar yang hobi membaca, berujung menjadi hobi menulis dan menghayal. Bercita cita menjadikan karyanya bermanfaat bagi banyak orang dan dikenal banyak orang. Find her on instagram @nira.tamara

 

*      Bab 16 Pulang

Dipa1_3 adalah nama pena milik Arya Karuna. Lahir di Sukabumi, 13 Oktober 2000. Seorang laki-laki yang mulai menyukai menulis semenjak bangku kuliah. Bercita-cita menjadi seorang yang berguna di masa depan. Temukan saya di Instagram @Dipa1_3 atau @akph04

*      Bab 17 Bersama kesulitan datang pula kemudahan

Ayu Ainun Mardiyah adalah nama asli dari penulis. Lahir di Lampung dan saat ini sedang menempuh pendidikan perguruan tinggi di IAIN Metro Lampung. Mempunyai banyak karya dan bisa diterbitkan merupakan salah satu impian penulis sejak SMA. Dan kini penulis sudah menulis beberapa karya antologi bersama KMO. Jejak bisa diikuti melalui sosial media Instagram dan KBM  @Ainunwhd dan email ukasall12@gmail.com.

*      Bab 18 Terdampar

Nafira adalah nama pena saya, yang memiliki nama asli Arianita yulianingsih, lahir pada tanggal 04 oktober 1993, di Batam. Saat ini ingin memulai mencoba terjun di bidang kepenulisan dengan bermodalkan hoby menonton film dan mengkhayal, berharap dengan menulis bisa memberikan karya yang terbaik. Sambil berbagi pengalaman melalui tulisan. Untuk berbagi cerita bisa temui akun instagram saya @Arianita786.

 

 

*      Bab 19 Secarik Kisah

Perkenalkan namaku Arti Nur Hayati, asal dari Klaten Jawa Tengah. Walau begitu aku tinggal di solo. Hal yang aku suka selain menulis adalah jalan-jalan dan kadang sering sepedaan di sawah. Itu hal kecil tentang aku.

 

*      Bab 20 mendekap Rindu

Asmaul Mufi. Lahir di Purworejo, 19 April 1997.Anak pertama dari 3 bersaudara. Tinggal di sebuah desa di Purworejo. Orang tuanya seorang buruh tani. Aktivitas sekarang sedang bekerja di sebuah toko di Purworejo. Lulus SMK muhammadiyah 1 Lendah, Kulonprogo, Yogyakarta pada tahun 2015.

Berawal dari hobi membaca, suka mencari tahu profil penulis dari sebuah buku yang di kagumi, dari sana terinspirasi untuk membuat karya. Pengalaman hidup yang penuh perjuangan dan pelajaran membuatnya termotivasi untuk mengabadikan lewat tulisan.

*      Bab 21 Kembali PadaMu

Zerura adalah nama pena milik Ayesha Ransi. Yang memiliki arti surga dalam bahasa Basque. Penulis memiliki harapan jika kelak karyanya bisa memberikan manfaat untuk banyak orang, sehingga bisa membawa nya ke surga. Lahir di Jakarta, pada 08 Oktober 2006. Saat ini penulis bersekolah di Home Schooling Permata Sunnah, yang berada di Kranggan, Bekasi. Dan duduk dibangku SMP kelas 3. Find me on Instagram Ayransi_95

 

*      Bab 22 Waktu untuk Pulang

Paseutel adalah nama pena dari seorang gadis bernama Arianti Salamatul Firmania. Gadis penyuka sastra dan musik Korea. Gadis yang bermimpi untuk membahagiakan orang disekitarnya. Gadis yang bisa kalian kenal lebih dekat di Ig : @paseutel

 

*      Bab 23 Go Home, Son

Asri Safitriyani, Lahir 18 tahun yang lalu, tepat tanggal 12 Februari di kota dodol, Garut. Alumni Madrasah Aliyah Al-Khoeriyah, jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial. Aktif dalam kepengurusan komunitas dan organisasi lantas tak membuatnya lupa akan hobi dan impiannya. Selain menulis, ia sangat suka dunia luar, menjelajah alam, mendengarkan musik, menghayal, dan membaca novel, cerpen, serta puisi. Menulis adalah menjejak aksara dan berbagi cerita pengalaman sehingga ia akan terus menulis. Menulis itu indah, kata-kata juga indah. Sekalipun ia kadang suka kurang ajar dan kasar.

 Kalian bisa lebih mengenal Asri lewat akun media sosialnya, Instagram @sftryniasr1202, Twitter @lamunansenja, Facebook @Asri Safitriyani dan Wattpad @sftryni serta situs blog miliknya @Sftryni012.blogspot.com

 

*      Bab 24 Reno

Sanggemintang adalah nama pena milik Arum Amalia. Lahir di Banjarmasin pada 31 Desember. Seorang ibu rumah tangga yang hobi membaca, menulis, dan menggambar. Bercita-cita menjadi penulis inspiratif dan produktif berkarya. Akun Instagram yang dapat dikunjungi @sanggemintang atau @amalia_rum

 

*      Bab 25 telah Pergi

Hai! Salam kenal yah. Namaku Arima Yanti Saragih, Asli suku Batak Simalungun. Anak dari pasangan Saelan Saragih dan Rosmida Purba. Ada nama penanya juga, Pecandu Rindu. Kelahiran 2003, anak ketujuh dari sembilan saudara. Asal dari Siboras Hulu, salah satu desa dari Kota Tebing Tinggi, Medan. Punya akun sosial media: Facebook @Pecandu Rindu, Instgram @arimasaragih, Whatsapp/Telegram 082277206708

Tidak ada komentar:

Posting Komentar